Greenpeace/Mas Agung Wilis Yudha Baskoro

Jakarta, 15 Mei 2024 – Sejumlah aktivis mengenakan topeng berlogo bank-bank internasional, beraksi di depan Raffles Hotel, tempat rapat umum pemegang saham Adaro dilaksanakan. Diketahui bank-bank tersebut seperti BNP Paribas, OCBC, DBS, dan Standard Chartered akhirnya memutuskan hubungan dengan Adaro karena bisnis Adaro yang masih didominasi batubara tidak sejalan dengan komitmen dan kebijakan perusahaan tersebut untuk berhenti mendukung industri kotor. 

“Tujuan kami adalah ingin menyerukan kepada Adaro, jika ingin kembali mendapatkan kepercayaan dari perusahaan global, baik perbankan maupun pembeli, lakukanlah transisi keluar dari batu bara secara sungguh-sungguh, bukan hanya pencitraan hijau semata,” ucap Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia. 

Di saat tren global beramai-ramai meninggalkan bisnis batu bara dan beralih kepada energi bersih, Adaro justru memiliki rencana untuk melakukan ekspansi tambang batu bara di Kalimantan Tengah, bahkan di Kalimantan Selatan, tambang Adaro berpotensi menggusur komunitas Dayak Pitap. Tak hanya itu, Adaro diketahui akan membangun PLTU batu bara baru di Kalimantan Utara. Namun, hal ini diklaim sebagai citra hijau karena mendukung produksi baterai mobil listrik yang masuk ke dalam kategori industri hijau. 

Adaro sekarang dipaksa menghadapi konsekuensi dari aktivitas bisnis yang merusak iklim mereka dan kebijakan diversifikasi mereka yang lemah saat ini membuat Adaro kehilangan Hyundai. 

Greenpeace/Mas Agung Wilis Yudha Baskoro

“Tanpa rencana transisi kredibel yang mencangkup pembatasan ekspansi batu-bara, Adaro harus menghadapi risiko keuangan yang meningkat dan menghadapi fakta bahwa lebih banyak investor akan meninggalkan perusahaan kotor ini,” sebut Nabilla Gunawan, Juru Kampanye Energi dan Keuangan dari Market Forces. Nabilla menambahkan bahwa investor dan Hyundai telah mengirim sinyal kuat bahwa Adaro harus transisi keluar dari batu-bara konsisten dengan skenario net zero di tahun 2050. 

Belum lama ini, analisis Dirty 30 oleh Toxic Bond Initiative menempatkan Adaro Energy Indonesia sebagai salah satu penerbit obligasi terkotor sedunia, bersama jajaran perusahaan bahan bakar fosil raksasa lainnya, seperti Exxon dan Shell. Adaro memiliki obligasi sebesar US$750 juta yang akan jatuh tempo di bulan Oktober tahun ini. 

“Dengan sumber daya besar yang dimiliki Adaro saat ini, sudah saatnya Adaro mencapai prestasi yang lebih baik untuk bisa keluar dari Dirty 30, serta peduli terhadap generasi muda dan masyarakat terdampak, dan segera bertransisi ke energi yang bersih dan berkeadilan,” ucap Reka Maharwati, Koordinator Enter Nusantara.

Meskipun Adaro sudah mengeluarkan pernyataan akan mencapai net zero di tahun 2060, namun rencana tersebut tidak mencangkup pembatasan ekspansi batu-bara termal maupun metalurgi. Berdasarkan skenario International Energy Agency untuk meminimalisir dampak malapetaka krisis iklim, dunia harus berhenti membangun PLTU batu-bara baru dan ekspansi tambang batu-bara, termasuk metalurgi dan termal, di tahun 2023 dan segera mengimplementasi net zero di tahun 2050. 

Sejak tahun 2022 dan hingga sekarang, Adaro telah ditinggalkan bank multinasional seperti Standard Chartered dan DBS karena banyak bank mengadopsi kebijakan coal exit. Belum lama ini, Hyundai juga telah membatalkan perjanjian pembelian aluminium dengan anak usaha Adaro. Smelter aluminium tersebut akan mendapatkan listrik dari  PLTU batu-bara sebesar 1.1 GW di Kalimantan Utara. 

Kontak media : 

Nabilla Gunawan, Juru Kampanye Energi dan Keuangan Market Forces, +62 811-9890-068

Reka Maharwati, Koordinator Enter Nusantara, +62 812-9199-1203

Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, +62 811-8188-182