Yogyakarta, 11 Mei 2024 – Sektor ekonomi memiliki peran penting dalam mengatasi dan mencegah dampak lanjutan dari krisis iklim. Aktivitas ekonomi yang lebih ramah lingkungan bisa menjadi jawaban atas berbagai bencana hidrometeorologi yang ditimbulkan akibat krisis iklim saat ini. 

Aktivitas industri ekstraktif yang berfokus mengeruk sumber daya alam kerap digadang-gadang sebagai pendorong ekonomi yang mampu menguntungkan banyak pihak. Namun, industri seperti pertambangan dan perkebunan monokultur terbukti menimbulkan berbagai masalah lingkungan di wilayah sekitarnya. Di sisi lain, aktivitas ekstraktif tersebut juga belum mampu menjawab masalah ketimpangan antara wilayah perkotaan dan perdesaan, lantaran 70 persen uang hasil industri tersebut kembali ke para pemilik modal di Jakarta. 

Ekonom Senior Faisal Basri mengatakan, pemerintah sebagai regulator dan para pelaku industri ekstraktif kerap melupakan environmental cost alias ongkos lingkungan yang ditimbulkan industri ekstraktif. 

“Manfaat ekonomi dari hilirisasi lebih kecil dibanding biaya rehabilitasi lingkungan dan bencana yang timbul. Pengusaha besar dan pemodal diuntungkan di atas penderitaan rakyat yang timbul akibat industri ekstraktif,” kata Faisal dalam acara talkshow Economics Care Environment (ECAN) pada 11 Mei 2024. 

Acara yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomika dan BIsnis Universitas Gadjah Mada (BEM FEB UGM) yang didukung oleh Greenpeace Indonesia ini, bertujuan untuk mendorong diskursus akademik mengenai transisi ekonomi yang lebih inklusif dan melibatkan pelaku ekonomi lokal di sektor UMKM dan komunitas. 

Tata Mustasya, Senior Campaign Strategist Greenpeace International mengatakan, perlu ada konsep ekonomi yang inklusif yang menekankan keseimbangan antara kebutuhan manusia dan batasan-batasan Bumi. Hal ini bisa dijawab melalui konsep Doughnut Economy yang menerapkan prinsip-prinsip ekonomi hijau yang ramah lingkungan dan mengedepankan kesejahteraan manusia.

“Ekonomi hijau yang rendah karbon mampu mengalokasikan sumber daya yang efisien yang mampu menjaga kekayaan sumber daya alam dan lingkungan. Prinsip ekonomi hijau juga inklusif secara sosial karena mengedepankan pemenuhan kebutuhan seperti air, udara bersih, hingga akses kesehatan dan pendidikan untuk manusianya,” ujar Tata. 

Riset Greenpeace Indonesia dan Center of Economics and Law Studies (CELIOS) menunjukkan bahwa transisi ke ekonomi hijau mampu mengurangi ketimpangan ekonomi dalam 10 tahun penerapannya berkat pembangunan yang menyebar di daerah. Peralihan ini pun diprediksi mampu menyerap 19,4 juta tenaga kerja di sektor green jobs, meningkatkan pendapatan negara hingga tiga kali lipat, hingga mencegah korupsi di sektor ekstraktif. 

Untuk menjamin implementasi ekonomi hijau yang efektif, akademisi perlu berperan dalam mendidik masyarakat, terutama generasi muda, akan kesadaran lingkungan. 

“Kesadaran lingkungan perlu dibangun sehingga individu, kelompok, dan komunitas bisa menjadi agen perubahan dalam menjaga keberlanjutan lingkungan dan hidup kita sehingga mendorong pemerintah untuk bisa segera beralih ke ekonomi hijau,” ujar Sekar Utami Setiastuti, Dosen Ilmu Ekonomi UGM. 

Desakan ini diharapkan mampu mendorong pemerintah untuk bisa memiliki kemauan politik yang kuat untuk bisa beralih ke ekonomi hijau. Namun, menurut Direktur Climate Policy Initiative Tiza Mafira, transisi ke ekonomi hijau harus dibarengi dengan proses pembuatan kebijakan yang baik. 

“Kita tak hanya mencari keseimbangan antara lingkungan dan ekonomi. Ekonomi kuat mutlak perlu untuk ekonomi sehat. Namun, metrik keberhasilan kebijakan ekonomi tidak bisa dipisah dari metrik lingkungan,” kata Tiza. 

Senada, Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak mengatakan pemerintah harus memastikan transisi ke ekonomi hijau ini berjalan secara inklusif. Ia mengingatkan bahwa peralihan ini harus melibatkan semua lapisan masyarakat, terutama perempuan, masyarakat adat, dan komunitas lokal. 

Leonard mengatakan, pelibatan seluruh lapisan dan kelompok masyarakat dalam transisi ini mampu menjamin peralihan yang berkeadilan karena mampu mengakomodasi aspirasi dari berbagai kelompok, terutama kelompok yang paling terdampak dengan krisis iklim. 

“Kenaikan suhu Bumi semakin dekat menuju ambang batas 1,5 derajat celcius. Kita harus bergerak cepat untuk memperlambat kenaikan ini demi tempat tinggal kita satu-satunya,” tutup Leonard. 

Kontak Media:

Rahka Susanto, Pengkampanye Media dan Kepala Proyek Ekonomi Hijau Greenpeace Indonesia, +62 811-1098-815

Riska Rahman, Pengkampanye Media Greenpeace Indonesia, +62 821-1456-2039