Siaran Pers Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua

Solidarity Protest on Awyu Tribe's Lost Lawsuit in Jayapura. © Ikbal Asra / Greenpeace
Students and activists of Papuan indigenous people hold a solidarity protest in support of the Awyu tribes after losing the lawsuit case against palm oil companies PT Indo Asiana Lestari (PT IAL) at Jayapura State Administration Court (PTUN) in Jayapura, Papua. © Ikbal Asra / Greenpeace

Jayapura, 14 Maret 2024. Perjuangan masyarakat adat suku Awyu mempertahankan hutan adat terus menemui rintangan. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Manado menolak banding gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim yang dilayangkan Hendrikus Woro–pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu. Putusan tertanggal 1 Maret 2024 tersebut menambah daftar panjang kabar buruk bagi masyarakat adat suku Awyu, setelah sebelumnya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura menolak gugatan yang sama.

Kendati mengalami kekalahan bertubi, Hendrikus Woro tak berhenti mencari keadilan demi mempertahankan hutan adatnya dari perusahaan sawit. Hari ini, Kamis, 14 Maret 2024, Hendrikus dan kuasa hukumnya mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, yang ditandai dengan penyerahan memori kasasi ke PTUN Jayapura. Sejumlah anak muda adat pun turut menggelar aksi damai di PTUN Jayapura untuk mengiringi penyerahan memori kasasi tersebut.

“Kasasi menjadi pertarungan selanjutnya bagi masyarakat adat suku Awyu untuk mempertahankan hutan adat mereka. Mahkamah Agung harus melihat gugatan ini dengan mengacu pada pedoman mengadili perkara lingkungan hidup yang mereka buat sendiri, agar dapat memberikan putusan yang adil bagi masyarakat adat Awyu,” kata Tigor Hutapea, anggota tim kuasa hukum suku Awyu.  

Sebelumnya, majelis hakim PTTUN Manado menolak gugatan lantaran menganggapnya sudah melewati batas waktu. Menurut majelis hakim, gugatan Hendrikus Woro ke PTUN Jayapura melebihi tenggat 90 hari sejak diketahuinya objek sengketa, yakni izin lingkungan hidup yang dikeluarkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terbuka Satu Pintu Pemerintah Provinsi Papua untuk perusahaan sawit PT Indo Asiana Lestari (PT IAL). Hendrikus Woro mendaftarkan gugatan di PTUN Jayapura pada 13 Maret 2023. 

Perhitungan hari oleh majelis hakim ini patut dipertanyakan sebab mengabaikan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup dan kalender khusus yang ditetapkan Gubernur Papua–yang memiliki libur Natal lebih panjang ketimbang kalender nasional. Gugatan juga telah melalui proses pemeriksaan dismissal di PTUN Jayapura, dinyatakan diterima, dan tak melewati batas waktu kedaluwarsa. 

Ihwal batas waktu pengajuan gugatan, Pasal 18 ayat 2 Perma 1 Tahun 2023 memuat frasa “atau sejak mengetahui adanya potensi atau terjadinya dampak lingkungan”. Artinya, sebenarnya ada banyak pilihan bagi majelis hakim untuk menafsirkan tenggat waktu pengajuan gugatan. Hakim tata usaha negara (TUN), merujuk Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2017, semestinya mengutamakan keadilan substantif daripada keadilan formal. Sebab, fungsi hukum formal atau hukum acara adalah untuk menegakkan kaidah hukum material/substantif.

Hendrikus Woro berasal dari Kampung Yare, Distrik Fofi, Boven Digoel, Papua Selatan–butuh hingga dua hari perjalanan untuk mencapai kampung ini dari Jayapura. Pemimpin marga Woro–bagian dari suku Awyu–ini pun telah menempuh banyak cara untuk mencari informasi tentang perizinan PT IAL, termasuk ke Komisi Informasi Publik, serta menolak keberadaan perusahaan sawit itu di hutan adatnya, sebelum akhirnya mengajukan gugatan ke PTUN Jayapura.

“Jika hakim benar memiliki perspektif lingkungan, seharusnya mereka memilih ketentuan yang paling membuka peluang akses keadilan lingkungan. Pilihan hakim menggunakan ketentuan yang paling mudah justru menutup peluang keadilan lingkungan dan menunjukkan posisi hakim yang tidak memiliki perspektif pelindungan lingkungan,” kata Sekar Banjaran Aji, anggota tim kuasa hukum suku Awyu. 

Bukan cuma tak memiliki perspektif pelindungan lingkungan, tak satu pun anggota majelis hakim PTTUN Manado yang mengadili perkara tersebut memiliki sertifikasi hakim lingkungan. Ini juga bertentangan dengan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 36 Tahun 2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup. “Ini artinya ada cacat formil dalam penanganan gugatan Hendrikus Woro, sebab seharusnya minimal satu dari tiga majelis hakim memiliki sertifikasi hakim lingkungan hidup,” kata Emanuel Gobay, anggota tim kuasa hukum suku Awyu dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua.

Catatan Editor:

Foto-foto pengajuan memori kasasi dan aksi damai dapat dilihat di tautan ini.

Kontak Media:

Tigor Hutapea, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, +62 812-8729-6684

Emanuel Gobay, LBH Papua, +62 821-9950-7613

Sekar Banjaran Aji, Greenpeace Indonesia, +62 812-8776-9880