Suyuran tomat yang rusak di lahan pertanian milik warga akibat kekurangan suplai air di lingkungan Batu Lapisi Dalam, Kelurahan Malino, Kecamatan Tinggi Moncong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

Jakarta, 6 Desember 2023. Krisis iklim sudah sampai di meja makan kita. Tema tersebut merupakan tema yang diusung oleh Greenpeace, Iklimku, dan Sejauh Mata Memandang, dalam sebuah acara bertajuk “Berhenti Basa Basi Buat Bumi”. Kegiatan ini digelar bertepatan dengan konferensi iklim dunia, COP 28 yang berlangsung di Dubai. Selain sebagai sebuah respon terhadap konferensi dan komitmen pemimpin dunia di COP, kegiatan ini bertujuan untuk menceritakan kepada publik, melalui media foto dan tulisan, bahwa dampak krisis iklim sudah sampai ke komoditas pangan, yang kita konsumsi sehari-hari.

Seperti biji kopi misalnya, perkembangannya sangat terpengaruh oleh cuaca. Jika terlalu banyak hujan, biji kopi akan mudah gugur, dan sulit untuk berkembang menjadi biji kopi yang berkualitas. Dalam sebuah riset yang dipublikasikan oleh Kew Royal Botanic Garden, 60% spesies kopi akan punah di 2050 akibat krisis iklim yang semakin memburuk. 

Hal senada diungkap oleh Farida Dwi, petani kopi asal Banjarnegara, Jawa Tengah. “Karena efek curah hujan yang tinggi, dan kena panas terus maka hasil kopinya akan seperti ini, hitam sama banyak sekali lumut yang menempel di dahan kopi, dan sangat merusak sekali pohon kopi sehingga tidak bisa produksi dengan bagus”, ungkapnya saat tim menemui Mba Wiwi, di kebun kopinya. 

Kisah beras pun bernasib sama. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Kompas, tiap kenaikan suhu Bumi 1 derajat celcius, Indonesia kehilangan sebanyak 4.572 ton gabah kering untuk beras – atau setara dengan jatah beras untuk 35.000 orang per tahun. Petani kini banyak mengeluhkan, sulit untuk menentukan waktu tanam, waktu semai karena anomali cuaca. Ilmu bercocok tanam yang dahulu diturunkan dari leluhur sudah tidak efektif untuk digunakan. 

“Melalui foto dan tulisan, Iklimku mencoba untuk memberikan gambaran yang jelas akan dampak krisis iklim terhadap bahan pangan sehari-hari”, ucap Ulet Ifansasti, Editor dari Iklimku. “Banyak cerita dari para petani beras, garam, kopi, hingga sayur memberikan kesaksian yang serupa, bahwa perubahan cuaca ekstrem sangat berpengaruh pada hasil panen mereka, baik secara kualitas maupun kuantitas”, ujarnya. 

Kehilangan dan kerusakan akibat krisis iklim akan semakin banyak dialami oleh mereka yang mengandalkan mata pencaharian dari komoditas pangan seperti petani dan nelayan. Baru-baru ini Kompas merilis bahwa sekitar satu juta petani dan nelayan akan berkurang di 2030. Peningkatan intensitas dan frekuensi anomali iklim berdampak pada penurunan hasil panen petani dan tangkapan nelayan. Banyak dari mereka kemudian memilih untuk beralih profesi, karena sumber pendapatan tidak bisa lagi mengandalkan dari hasil bertani. 

Laju krisis iklim terus berjalan, dampaknya makin nyata kita rasakan, tak ada waktu untuk menunda lagi. Berdasarkan ENDC Indonesia, sektor energi diproyeksikan akan menjadi penyumbang emisi GRK terbesar di tahun 2030, yaitu 58%. “Oleh karena itu diperlukan aksi iklim yang lebih agresif, khususnya di sektor energi. Hal ini dapat dilakukan dengan mengakselerasi transisi energi, yaitu dengan mengakhiri penggunaan energi batu bara dari sumber listrik kita, dan segera beralih ke energi terbarukan, secara cepat dan masif”, ungkap Adila Isfandiari, Pengkampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.

Dalam pidatonya pada World Climate Action Summit COP 28 di Dubai, Presiden Jokowi  mengatakan akan mempercepat transisi energi menuju energi baru terbarukan. Faktanya pengembangan energi terbarukan di Indonesia masih belum beranjak di angka 12,3% dari target 23% di 2025. Pemerintah Indonesia juga belum bersedia berkomitmen, sesuai ajakan Uni Eropa,  untuk melakukan peningkatan kapasitas energi terbarukan sebesar tiga kali lipat. Selain itu, komitmen iklim Indonesia juga akan semakin sulit tercapai di saat Pemerintah masih memberi ruang terhadap solusi palsu yang dimasukkan dalam RUU EBET seperti co-firing, gasifikasi batubara, batubara cair, CCS (carbon capture storage), dan energi baru seperti nuklir. 

Untuk menghindari dampak terburuk perubahan iklim, dunia perlu menghentikan penggunaan bahan bakar fosil dan meningkatkan penggunaan energi terbarukan dengan cepat. Indonesia memiliki peranan penting dalam kesepakatan iklim global. Meskipun sebagai negara yang menduduki peringkat 10 penghasil emisi terbesar, namun Indonesia memiliki potensi untuk mengimplementasikan solusi iklim dengan pemanfaatan masif energi terbarukan seperti matahari dan angin. 

Dalam rangkaian acara Berhenti Basa Basi Buat Bumi, terdapat pameran foto oleh Iklimku yang memberikan gambaran bagaimana petani pangan saat ini berhadapan dengan ancaman krisis iklim. Selain itu, melalui balutan seni, Sejauh Mata Memandang juga menghadirkan pameran WarNas (Warung Nasib Kita di Masa depan) dan Warung Kopi Tinggal Kenangan. Pameran ini akan menggambarkan bagaimana kondisi bahan pangan yang telah terancam oleh krisis iklim melalui berbagai tampilan audio visual yang menarik. 

Seluruh kegiatan Berhenti Basa Basi Buat Bumi dapat diakses melalui tautan ini. 

Kontak media:

Adila Isfandiari, Pengkampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, +62 811-155-760

Ulet Ifansasti, Iklimku, +62 811-2538-194

Rahma Shofiana, Pengkampanye Media Greenpeace Indonesia, +62 8111- 461- 674