Siaran Pers Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua

Jakarta, 6 September 2023. Pejuang lingkungan hidup sekaligus pemilik tanah adat dari suku Awyu menyambut gembira putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang menolak gugatan dua perusahaan sawit, PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama, terhadap Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Putusan yang memenangkan Menteri LHK (tergugat) dan masyarakat adat suku Awyu (tergugat intervensi) ini diumumkan lewat sistem e-court Mahkamah Agung pada Selasa, 5 September 2023.

Putusan ini menyelamatkan 65.415 hektare hutan hujan asli dari konsesi PT MJR dan PT KCP. Perusahaan tidak boleh melakukan deforestasi dalam area tersebut dan hanya boleh menjalankan bisnis dalam 8.828 hektare lahan hutan milik masyarakat adat yang telah dibuka oleh pemegang kedua konsesi.

Awyu Tribe Testifies at Administration Court in Jakarta. © Muhammad Adimaja / Greenpeace
Mahasiswa dan aktivis Greenpeace bersama Gregorius Yame dari Masyarakat Asli Papua Suku Awyu (kiri) bersolidaritas saat menghadiri sidang kasus pencabutan izin kawasan hutan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Jakarta. Hendrikus Frangky Woro dan Gregorius Yame menjadi saksi bagi terdakwa terkait gugatan yang diajukan dua perusahaan perkebunan kelapa sawit di kawasan Boven Digoel, PT. Kartika Cipta Pratama (KCP) dan PT. Megakarya Jaya Raya (MJR) melawan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) atas Pencabutan Izin Kawasan Hutan.

“Ini putusan yang kami tunggu-tunggu. Cukup sudah, perusahaan jangan ganggu hutan dan tanah adat. Ko (perusahaan) mau bikin apa lagi di tanah adat kami? Patuhi sudah putusan ini dan biarkan kami rawat sendiri tanah adat kami. Semoga dengan gugatan ini, KLHK tahu kalau perusahaan trada niat baik dan segera cabut sepenuhnya izin PT MJR dan PT KCP. Harapannya kami bisa dapatkan hutan adat lagi, biar bisa kami kelola untuk anak cucu suku Awyu,” kata Gergorius Yame, salah satu dari enam masyarakat Awyu yang menjadi tergugat intervensi dalam perkara tersebut.

PT MJR dan PT KCP mendaftarkan gugatan mereka ke PTUN Jakarta pada 10 Maret dan 15 Maret lalu. Lewat gugatan itu, kedua perusahaan mempersoalkan surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang penertiban dan penataan izin pelepasan kawasan hutan, yang isinya antara lain mensyaratkan agar tidak melakukan pembukaan lahan berhutan untuk kegiatan perkebunan kelapa sawit.

Adapun Gergorius Yame dan lima orang masyarakat adat Awyu lainnya mengajukan diri sebagai tergugat intervensi pada 9 Mei 2023. Dalam persidangan yang bergulir, masyarakat Awyu dan kuasa hukumnya berjuang menghadirkan bukti-bukti, saksi, hingga ahli, untuk mendukung Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menghadapi gugatan PT MJR dan PT KCP.

“Dengan mengajukan diri sebagai tergugat intervensi, masyarakat adat suku Awyu telah berdiri bersama pemerintah dan membantu Menteri LHK memenangkan gugatan ini. Sekarang saatnya bagi Menteri LHK Ibu Siti Nurbaya dan kolega-koleganya di pemerintahan, baik di tingkat nasional maupun lokal, untuk mempercepat pengakuan hak atas tanah adat suku Awyu. Masyarakat adat Awyu berhak untuk melindungi dan mengelola hutan adat mereka sendiri, demi penghidupan sehari-hari dan masa depan mereka,” kata Sekar Banjaran Aji, anggota tim kuasa hukum masyarakat Awyu.

Permohonan intervensi tersebut merupakan bagian dari perjuangan masyarakat suku Awyu untuk mempertahankan hutan adat mereka dari perampasan oleh perusahaan kelapa sawit–satu pola yang banyak terjadi di Tanah Papua, merujuk laporan Greenpeace Internasional ‘Stop Baku Tipu: Sisi Gelap Perizinan di Tanah Papua’. Selain di PTUN Jakarta, upaya litigasi untuk mempertahankan hutan adat juga ditempuh masyarakat Awyu di Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura. 

Pada 13 Maret lalu, Hendrikus ‘Franky’ Woro, pejuang lingkungan hidup dan pemimpin marga Woro–bagian dari suku Awyu, menggugat izin kelayakan lingkungan hidup yang dikeluarkan pemerintah Provinsi Papua untuk perusahaan sawit lainnya, PT Indo Asiana Lestari. Persidangan gugatan tersebut masih berjalan hingga kini. “Jarang sekali kami dapat berita baik, jadi kami berharap masih bisa dapat kabar baik dari gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim di Jayapura. Semoga di PTUN Jayapura menang lagi,” kata Hendrikus Woro.

Anggota tim kuasa hukum masyarakat Awyu, Tigor Gemdita Hutapea mengimbuhkan, perkara-perkara gugatan dan serangkaian persidangan ini makin membuktikan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus segera mengakui hutan adat. Pengakuan hutan adat sangat penting untuk menjauhkan komunitas adat dari konflik dengan perusahaan yang merampas ruang hidup mereka. “Dari persidangan ini, KLHK mestinya belajar bahwa Papua bukan tanah kosong. Tidak ada alasan menunda lagi, segera akui hutan adat!”

Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Pusaka Bentala Rakyat Papua, Greenpeace Indonesia, Satya Bumi, LBH Papua, Walhi Papua, Eknas Walhi, PILNet Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Perkumpulan HuMa Indonesia

Catatan Editor:

  • Gugatan PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama masing-masing teregistrasi dengan nomor perkara 82/G/2023/PTUN.JKT dan 87/G/2023/PTUN.JKT.
  • Foto dan video rekaman saat Gergorius Yame dan Hendrikus Frangky Woro memberi kesaksian pada persidangan PTUN di Jakarta, 11 Juli 2023.  

Kontak Media:

Sekar Banjaran Aji, Greenpeace Indonesia, +62 812-8776-9880

Tigor Gemdita Hutapea, Pusaka Bentala Rakyat, +62 812-8729-6684

Budiarti Putri, Greenpeace Indonesia, +62 811-1463-105