Jakarta, 30 Agustus 2023 – Greenpeace Asia Tenggara-Indonesia yang tergabung dalam Tim 9, koalisi masyarakat sipil yang fokus mendesak pelindungan awak kapal ikan migran yang lebih baik, bertemu dengan Direktur Pembangunan Manusia Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), Rodora Babaran, di Sekretariat ASEAN di Jakarta, Indonesia. Pembahasan utama dari pertemuan itu memperluas gerak masyarakat sipil untuk berkontribusi pada implementasi Deklarasi ASEAN untuk Penempatan dan Pelindungan Nelayan Migran.

Tim mengapresiasi ASEAN yang “mengakui bahwa nelayan migran adalah juga pekerja migran […] dan bahwa mereka memiliki hak dan pelindungan yang sama dengan pekerja migran lainnya”. Tim mendesak ASEAN untuk membawa deklarasi itu, yang telah diadopsi Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN pada Mei lalu, ke level berikutnya dengan menyusun panduan teknis yang lebih konkret.

“Lewat deklarasi itu, negara-negara anggota ASEAN telah menguatkan komitmen. Jadi, kita sudah berada di jalur yang benar. Pengembangan dari panduan teknis itu saat ini sudah berada di tahap pendahuluan dan kita bisa berharap [untuk diterbitkan] tahun depan,” kata Rodora.

Namun, selain dari panduan teknis yang merupakan substansi dari implementasi deklarasi itu, Tim 9 juga menyoroti pentingnya semua negara anggota ASEAN untuk meratifikasi Konvensi ILO 188 (K-188) tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan atau yang akrab disebut C-188–instrumen hukum internasional paling komprehensif yang fokus pada kondisi dan hak nelayan migran. Dari 11 negara anggota ASEAN, hanya Thailand yang sudah meratifikasi itu.

Terlepas dari keterbatasan ASEAN dalam campur tangan atas keputusan negara anggota untuk meratifikasi konvensi apa pun, Rodora menyebut asosiasi telah membentuk beberapa inisiatif tingkat regional yang secara prinsip telah sesuai dengan norma-norma dalam C-188 dan memanfaatkan isu-isu pelindungan tenaga kerja.

Untuk konteks Indonesia, Juru Kampanye Laut Greenpeace Asia Tenggara, Arifsyah Nasution, menyebut pihak otoritas juga sering mengatakan hal serupa. “Pemerintah Indonesia mengklaim bahwa hampir semua kebijakan yang berkaitan dengan nelayan atau pekerja perikanan migran sudah sejalan dengan norma C-188. Yang belum adalah keinginan politik mereka untuk mengimplementasi secara serius,” katanya.

Senada dengan Arifsyah, Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak, menyebut organisasinya akan terus menjaga komunikasi dengan semua pemangku kepentingan yang relevan, termasuk ASEAN, untuk terus berdiskusi soal keberlanjutan C-188.

“Buat kami, deklarasi itu juga berfungsi sebagai faktor pendukung untuk mengintensifkan pembahasan soal C-188 di Asia Tenggara. Pelindungan hak asasi manusia menjadi esensi yang termasuk dalam usaha kami membangun ekonomi Asia Tenggara yang lebih kuat. Pembangunan ekonomi tak ada artinya jika kita gagal melindungi manusianya,” kata Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) sekaligus anggota Tim 9, Hariyanto Suwarno, yang hadir dalam pertemuan itu.

“Saya punya mimpi semua negara anggota ASEAN meratifikasi C-188 dan bekerja sama melindungi nelayan migran,” kata Sekretaris Jenderal Serikat Awak Kapal Transportasi Indonesia (SAKTI) sekaligus Ketua Tim 9, Syofyan.

Tim 9 sendiri baru saja merampungkan laporan berjudul “Rekomendasi untuk Akselerasi Peta Jalan Ratifikasi Konvensi Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan, 2007 (K-188)”. Laporan ini berisi sembilan rekomendasi untuk pemerintah Indonesia mempercepat pembahasan peta jalan untuk meratifikasi konvensi itu.Sejak dirampungkan pada April lalu, laporan itu telah dikirim ke Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi, Kementerian Luar Negeri, dan sejumlah pemerintah daerah.

Sebelumnya, pada 2021, tiga organisasi ini bersama 19 organisasi masyarakat sipil lainnya menyerahkan laporan lainnya ke Sekretariat ASEAN berjudul “Kertas Arah atas Ratifikasi dan Implementasi Konvensi ILO 188 untuk Negara-Negara Anggota ASEAN”.

—-

Kontak Media : Vela Andapita, GPSEA Beyond Seafood Digital Communications Coordinator, +62 817 575 9449, [email protected]