Jakarta, 16 Agustus 2023. 

Di awal pidato, Presiden Joko Widodo menyinggung soal polusi budaya di tengah masyarakat Indonesia yang telah jauh dari budi pekerti dan keluhuran bangsa. Namun, Presiden luput menyebutkan polusi udara dan kebakaran hutan lahan yang saat ini mengancam kehidupan rakyat Indonesia. Pada beberapa minggu terakhir, Jakarta selalu menduduki peringkat atas kota paling berpolusi di dunia menurut data IQAir. Bahkan menurut Menparekraf Sandiaga Uno, Presiden menderita batuk-batuk belakangan ini yang diduga juga karena polusi udara. 

Bukan cuma warga Jakarta dan sekitarnya, warga di Kalimantan dan Sumatera di saat yang bersamaan  juga terancam kesehatannya akibat udara kotor dari asap karhutla. Padahal Presiden sudah dua kali digugat soal polusi udara dan dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Satu karena asap karhutla di Kalimantan, dua karena udara Jakarta. Tapi polanya sama, Presiden dan para menterinya tidak menaati putusan pengadilan dan justru banding. Selalu lepas tanggung jawab soal polusi udara dan asap.

Kabut asap dari polusi udara muncul di langit di atas kawasan bisnis di Jakarta. Kualitas udara semakin buruk akhir-akhir ini akibat tingginya polusi lalu lintas dan pembangkit listrik tenaga batu bara yang mengelilingi Jakarta.

Presiden juga tidak menyinggung krisis yang mengancam peradaban manusia saat ini, yaitu krisis iklim. Padahal Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon sebesar 31,89% tahun 2030 dengan kemampuan sendiri. Namun, kebijakan politik yang dihasilkan bertentangan dengan komitmen tersebut. “Disahkannya revisi UU Minerba, UU Ciptaker, dominasi penggunaan batubara pada rencana kelistrikan nasional, pembukaan lahan untuk tambang nikel (hilirisasi industri), target peningkatan produksi minyak bumi 1 juta barel/hari pada 2030, justru menciptakan kebijakan yang semakin membawa negara ini rentan terhadap dampak krisis iklim,” papar Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia. Pada September 2022, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan Indonesia berpotensi mengalami kerugian Rp 112,2 triliun akibat krisis iklim pada 2023. Bank Indonesia juga memprediksi ekonomi dunia bisa susut 11-14 persen dalam 5 dekade jika negara-negara abai pada krisis iklim.

Pada pidatonya, Presiden mengatakan bahwa ekonomi hijau dan hilirisasi sebagai window of opportunity bagi Indonesia untuk sebaik-baiknya memanfaatkan sumber daya alam, energi baru dan terbarukan. Padahal Indonesia masih terseok-seok dalam pengembangan energi terbarukan. Mengacu pada data pemerintah, porsi energi terbarukan baru mencapai 11.5% pada 2021, sementara targetnya 23% pada 2025. Selain itu, payung hukum utama transisi energi yaitu RUU EBT masih hilang arah karena memasukkan turunan batu bara sebagai jenis energi baru dan terbarukan. 

Kemudian Presiden juga menggadang-gadang bahwa investasi hilirisasi nikel 43 pabrik pengolahan nikel mampu membuka luas lapangan pekerjaan, dan menjadi komoditas baru yang bisa menggerakkan perekonomian tanah air. Nyatanya, kualitas nikel yang dihasilkan oleh Indonesia tidak bisa langsung diolah menjadi baterai. Menurut ekonom Faisal Basri, sebesar 90% hasil hilirisasi nikel dalam negeri justru lari ke Cina, sedangkan Indonesia hanya mendapatkan 10%.  Hilirisasi nikel juga mendorong deforestasi masif di Indonesia timur, hal ini membuktikan bahwa model pembangunan ekonomi Indonesia masih akan mengandalkan industri ekstraktif, tidak selaras dengan cita-cita pembangunan berbasis ekonomi hijau yang juga disinggung Presiden dalam pidato kenegaraannya.

Greenpeace Indonesia bersama para ekspertis mencoba membedahnya dari sudut pandang keberpihakan lingkungan. Yuk kita dengerin bareng pendapat pak Mahawan Karuniasa & bang Leonard Simanjuntak!

Kontak media:

Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia, +62 811-9696-217

Rahka Susanto, Juru Kampanye Komunikasi Greenpeace Indonesia, +628111-0988-15