Siaran Pers Tim Advokasi Selamatkan Hutan Adat Papua

Awyu Tribe Testify at Administration Court Jakarta. © Muhammad Adimaja / Greenpeace
Papuan Indigenous People of the Awyu Tribe, Hendrikus Frangky Woro (right) and Gergorius Yame (left) prepare to take part in the hearing on the case of revocation of forest area permits at the Administration Court (PTUN), Jakarta. Hendrikus Frangky Woro and Gergorius Yame became as witnesses for the defendant in relation to a lawsuit filed by two oil palm plantation companies in the Boven Digoel area, PT. Kartika Cipta Pratama (KCP) and PT. Megakarya Jaya Raya (MJR) against the Ministry of Environment and Forestry (KLHK) for the Revocation of Forest Area Permits., Sidang kasus pencabutan izin kawasan hutan

Jakarta, 12 Juli 2023. Dua anggota masyarakat adat suku Awyu dari Boven Digoel, Papua Selatan menjadi saksi dalam sidang gugatan yang diajukan dua perusahaan sawit terhadap Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada Selasa, 11 Juli 2023. Kesaksian di persidangan ini merupakan kelanjutan dari permohonan intervensi yang didaftarkan masyarakat Awyu sebelumnya–dalam upaya mempertahankan hutan adat mereka dari konsesi perusahaan sawit.

Dua wakil masyarakat Awyu yang menjadi saksi, Gergorius Yame dan Hendrikus Woro, mengenakan pakaian adat dan membawa sejumlah hasil hutan seperti sagu, cawat, motu (tas adat dari kulit kayu), dan pelepah nibung ke persidangan. Benda-benda tadi merupakan bukti bahwa hasil hutan sangat penting untuk kehidupan sehari-hari suku Awyu.

“Satu pohon nibung saja memiliki banyak kegunaan, belum lagi pohon-pohon yang lain. Pelepah nibung bisa menjadi tikar, lalu pucuknya bisa kami jadikan sayur dan garam Papua. Isi batangnya bisa menjadi obat batuk, batangnya menjadi lantai rumah, daunnya bisa kami pakai untuk membungkus sagu sampai membangun bivak,” kata Hendrikus Woro.

Hendrikus juga memaparkan relasi marga-marga dalam suku Awyu, yang di antaranya terlihat dari kerja sama mereka melakukan pemetaan partisipatif mengenai batas-batas wilayah adat antarmarga. Menurut Hendrikus, pemetaan itu dilakukan karena adanya perusahaan sawit yang mengancam hutan adat mereka.

Adapun Gergorius Yame menceritakan ihwal sungai di sekitar hutan suku Awyu yang masih sangat baik kondisinya. “Jadi setiap ke hutan kami tidak perlu memasak air sebagai bekal, tinggal timba air sungai dan langsung minum. Kami khawatir perkebunan sawit akan merusak sungai kami, karena kami sudah melihat Sungai Digoel rusak akibat perkebunan sawit,” ujar Gergorius.

Dalam persidangan di PTUN Jakarta ini, masyarakat Awyu menjadi tergugat intervensi dalam gugatan PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama terhadap Menteri LHK. Gergorius Yame menjadi saksi untuk gugatan PT MJR, sedangkan Hendrikus Woro bersaksi untuk gugatan kedua perusahaan. Adapun objek gugatan PT MJR dan PT KCP adalah surat keputusan Menteri LHK tentang penertiban dan penataan pemegang izin pelepasan kawasan hutan.

Greenpeace International menggunakan metodologi shining light on the shadows untuk menelusuri PT MJR dan PT KCP. Ini adalah sebuah metodologi untuk mengungkap struktur dan hubungan korporasi dengan grup-grup perusahaan. Lewat metodologi itu, ditemukan cukup bukti bahwa PT MJR dan PT KCP, yang konsesinya berdampingan, diduga pernah terkait dan mungkin masih terkait ke Hayel Saeed Anam Group dan para penerima manfaatnya–anggota keluarga Hayel Saeed.[1] Sebanyak 8.828 hektare lahan hutan milik masyarakat adat telah dibuka oleh pemegang kedua konsesi tersebut, tapi ada 65.415 hektare hutan hujan yang masih bisa diselamatkan.

Hendrikus Woro juga mengajukan gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim ke PTUN Jayapura pada 13 Maret lalu. Gugatan tersebut menyangkut izin kelayakan lingkungan hidup yang dikeluarkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terbuka Satu Pintu Provinsi Papua untuk perusahaan PT Indo Asiana Lestari (PT IAL), yang juga berlokasi di Boven Digoel, Papua Selatan.

“Persidangan hari ini sudah cukup membuktikan bahwa hutan Papua bukan tanah kosong. Perkebunan sawit berpotensi besar merusak hutan dan keanekaragaman hayati serta melanggar hak-hak masyarakat adat. Upaya litigasi ini merupakan bagian dari cara suku Awyu meneguhkan posisi mereka sebagai pemilik hutan adat, yang punya hak sepenuhnya untuk mengelola hutan tersebut,” ucap Sekar Banjaran Aji, salah satu kuasa hukum suku Awyu.

Catatan Editor:

Foto-foto persidangan dan aksi damai dapat dilihat di tautan berikut.

[1] Lihat rincian lebih lanjut termasuk tautan ke pernyataan HSA tentang isu ini pada halaman 82-85 dari laporan Hitung Mundur Terakhir yang diterbitkan Greenpeace International.

Kontak Media:

Sekar Banjaran Aji, Greenpeace Indonesia, +62 812-8776-9880

Tigor Hutapea, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, +62 812-8729-6684

Budiarti Putri, Greenpeace Indonesia, +62 811-1463-105