Jakarta, 17 Maret 2023. Greenpeace berkolaborasi dengan Papua Itu Kita–forum solidaritas Papua yang berfokus pada HAM serta pusat informasi dan kajian–menggelar Festival Ranipa – Suara Jernih Papua. Acara ini bertujuan memperkenalkan kepada masyarakat, khususnya masyarakat perkotaan, mengenai kekayaan alam serta keanekaragaman hayati Tanah Papua yang bersatu padu dengan kearifan lokal budaya masyarakat adatnya.

Festival ini menghadirkan rangkaian acara seperti diskusi publik, instalasi seni dan foto, tari tradisional, MOP Papua, serta pertunjukan musik. Melalui berbagai rangkaian acara ini, pengunjung dapat merasakan pengalaman memahami dan menjelajahi keindahan serta kekayaan alam dan budaya di Papua. Charles Toto, chef asal Papua yang mengkampanyekan perlindungan lingkungan melalui kuliner lokal  juga turut hadir dalam acara ini. 

Kehidupan masyarakat adat Papua sangat erat dengan sumber daya alam yang dikelola dengan kearifan, dan diwariskan dari generasi ke generasi untuk memenuhi kebutuhan harian, mulai dari bahan pangan hingga ragam kerajinan. Namun, ekspansi industri perkebunan monokultur seperti sawit serta pembangunan masif yang tidak bertanggung jawab telah mengancam masyarakat adat Papua dan budaya mereka.

Analisis Greenpeace menyebut lebih dari 20% daratan Tanah Papua telah dibebani perizinan industri ekstraktif berbasis lahan, seperti pertambangan, hutan tanaman industri (HTI), hak pengusahaan hutan (HPH), maupun perkebunan kelapa sawit. “Setidaknya 2,7 juta hektar dari total 35 juta hektar tutupan hutan alam di Tanah Papua (41 kali luas DKI Jakarta) terancam deforestasi karena berada dalam konsesi kelapa sawit, hutan tanaman industri maupun pertambangan,” papar Nico Wamafma, Juru Kampanye Hutan Papua Greenpeace Indonesia [1]. Deforestasi juga mengancam budaya asli Papua hilang di tanah asalnya.

Dalam Festival ini, Greenpeace dan Pusat Studi Melanesia, Universitas Cenderawasih akan merilis hasil riset mengenai ancaman keberadaan industri pangan yang cenderung meminggirkan pangan lokal. Hal ini juga mengancam keberadaan unsur-unsur budaya masyarakat adat. Hasil riset yang dilakukan di dua kawasan menunjukkan kondisi berbeda. Di Kampung Dabe II, masyarakat adat masih melakukan pengolahan pangan lokal dan melestarikan budaya pangan asli Papua. Sementara di kampung Asiki masuknya industri pangan telah menggerus pangan lokal sehingga mereka lebih banyak mengkonsumsi beras yang dibeli dari pasar.

Festival Suara Jernih Papua ingin mengajak semua pihak mengenal lebih dekat Tanah Papua yang kaya akan sumber daya alam, kearifan lokal dan budaya serta pangan lokal yang patut dilestarikan. Pelestarian hutan dan pengakuan hak masyarakat adat Papua adalah solusi penting untuk keluar dari krisis iklim.

Catatan editor:

Dokumentasi foto dapat diunduh di tautan berikut: https://media.greenpeace.org/shoot/27MZIFJLSLL33

Informasi lebih lanjut kunjungi https://www.greenpeace.org/indonesia/festival-ranipa/ 

[1] Perhitungan ini mengeluarkan HPH (hak pengusahaan hutan) dari analisis data, jika dimasukkan maka akan ada 7.7 juta hektar hutan berpotensi terdeforetasi berdasarkan data https://nusantara-atlas.org/

Narahubung Media: 

Nico Wamafma – Juru Kampanye Hutan Papua Greenpeace (082197585110)

Rahka Susanto – Juru Kampanye Komunikasi Greenpeace (08111098815)