Jakarta, 9 Maret 2023. Di tengah krisis pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina, sejumlah perusahaan raksasa agribisnis meraup keuntungan miliaran dolar. Penelitian Greenpeace International menemukan, sebanyak 20 perusahaan tersebut–terbesar di sektor biji-bijian (gandum, kedelai, dan lainnya), pupuk, daging, dan susu–membagikan US$53,5 miliar dividen untuk para pemegang saham mereka pada 2020 dan 2021. 

Keuntungan mereka cukup untuk membiayai kebutuhan dasar jutaan orang yang membutuhkan. Merujuk perkiraan Perserikatan Bangsa-Bangsa, dana sebesar US$51,5 miliar akan cukup untuk menyediakan makanan, tempat tinggal sementara, dan menunjang kehidupan 230 juta orang paling rentan di dunia.

Food Security and Inequality - PHOTOSHOP LAYERED PSD. © Mitja  Kobal / Greenpeace
File beresolusi tinggi berisi semua lapisan grafik & teks (PSD). File beresolusi lebih rendah adalah JPG. Dunia menghasilkan makanan yang cukup untuk 12 miliar orang. Tapi makanan didistribusikan secara tidak merata di seluruh dunia, yang merupakan salah satu dari banyak gejala rusaknya sistem pangan. Ada 7,5 miliar orang di dunia. 800m kurang gizi. 1,9 miliar kelebihan berat badan atau obesitas.

“Ketidakadilan sistem pangan global ini sangat berdampak ke Indonesia, yang merupakan salah satu importir besar pupuk dari Rusia dan gandum dari Ukraina. Ketika terjadi perang antara kedua negara itu, suplai pangan Indonesia sangat terimbas,” kata Syahrul Fitra, Juru Kampanye Hutan Senior Greenpeace Indonesia.

Laporan Greenpeace International menganalisis keuntungan 20 korporasi agribisnis di seluruh dunia selama 2020-2022–periode terjadinya pandemi Covid-19 dan invasi Rusia ke Ukraina. Riset ini menunjukkan bagaimana perusahaan-perusahaan itu mengeksploitasi krisis global untuk meraup keuntungan fantastis, menjerumuskan jutaan orang ke dalam kelaparan, dan memperkuat kendali mereka atas sistem pangan global, demi keuntungan jumbo para pemilik dan pemegang saham mereka.

Empat perusahaan besar, yakni Archer-Daniels Midland, Cargill, Bunge, dan Dreyfus, mengontrol 70 persen perdagangan biji-bijian dunia. Cargill juga merupakan importir kedelai terbesar di Indonesia. Pada 2012, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyebut Cargill dan satu perusahaan lainnya menguasai 74 persen pasar impor Tanah Air.

Namun, perusahaan-perusahaan itu tak punya kewajiban untuk mengungkap apa yang mereka ketahui tentang pasar global, termasuk stok mereka sendiri. Ketiadaan transparansi tentang stok ini–terutama selepas invasi Rusia ke Ukraina–merupakan faktor utama yang memicu spekulasi harga pangan.

Situasi ini jelas berpengaruh ke Indonesia mengingat masifnya intervensi makanan dari luar ke dalam negeri. Data Badan Pusat Statistik mencatat, jumlah impor gandum dan pupuk ke indonesia relatif meningkat setiap tahunnya. Impor pupuk yang dikuasai perusahaan-perusahaan skala besar juga merugikan para petani kecil, yang sudah tergantung dengan pupuk kimia.

“Kita sedang berhadapan dengan ancaman krisis pangan karena krisis iklim. Apa yang dilakukan perusahaan-perusahaan itu menambah kerentanan pangan yang mengintai kita semua,” kata Syahrul.

Di Tanah Air, kerentanan ini juga diperparah dengan upaya penyeragaman pangan, seperti yang dilakukan pemerintah lewat program lumbung pangan atau food estate. Riset Greenpeace Indonesia sebelumnya menemukan, proyek itu justru mengancam sistem budaya pangan lokal yang beragam dan bergizi.

Greenpeace mendukung pergeseran menuju model kedaulatan pangan, sebuah sistem pangan yang kolaboratif dan komunal, yang memungkinkan komunitas lokal memiliki kekuatan dan kontrol terhadap produksi pangan mereka sendiri. Kedaulatan pangan ini mencakup hak atas pangan lokal, seperti sagu untuk masyarakat Papua, yang eksistensinya terancam oleh pembangunan yang tak berkelanjutan.

“Pemerintah di level internasional, nasional, dan lokal memiliki peran kunci untuk mengakhiri kontrol dan monopoli korporasi, serta memastikan transparansi demi keadilan pangan,” ujar Syahrul.

Catatan Editor:

Baca laporan baru lengkapnya di sini. 

Kontak Media:

Syahrul Fitra, Juru Kampanye Hutan Senior Greenpeace Indonesia, ‪+62 819-1989-0505‬

Budiarti Putri, Juru Kampanye Media Greenpeace Indonesia, +62 811-1463-105