Jakarta, 9 September 2020. Laporan ‘Membara’ yang dirilis hari ini oleh Greenpeace, mengungkap dampak pencemaran kabut asap dari kebakaran hutan dan deforestasi terhadap kesehatan manusia di daerah rawan karhutla. Laporan baru ini juga menyajikan bukti-bukti kuat yang menunjukkan bahwa laju dan tingkat keparahan infeksi dari Covid-19 dapat meningkat secara signifikan di kalangan masyarakat yang terpapar polusi udara tingkat tinggi.

Dua buah studi yang dilakukan oleh para peneliti dari Universitas Harvard di AS dan peneliti dari Universitas Birmingham dan Universitas Bern di Belanda, menemukan bahwa sedikit peningkatan polusi udara saja sudah cukup untuk menaikkan tingkat kematian akibat COVID-19. Studi dari tahun-tahun sebelumnya menunjukkan bahwa asap kebakaran hutan telah membahayakan kesehatan anak-anak di Indonesia dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengatakan bahwa buruknya kesehatan adalah penyebab tingginya kematian anak yang terinfeksi Covid-19.

Saat ini enam provinsi telah berstatus siaga darurat karhutla. Wabah Covid-19 dan karhutla berpotensi membawa penduduk di wilayah darurat karhutla ke jurang krisis kesehatan. Guru Besar Universitas Indonesia bidang Epidemiologi Pencemaran Udara dan Surveilans Kesehatan Lingkungan, Prof Dr Budi Haryanto mengatakan gangguan kesehatan yang disebabkan polusi udara dapat meningkatkan risiko kematian pada masa Covid-19 ini.

“Masyarakat yang setiap tahun terpapar kabut asap karhutla akan berisiko menderita gangguan fungsi paru dan penyakit-penyakit saluran nafas kronis, yang dapat memperparah dan bahkan menjadi fatal saat tertular dan menjadi pasien Covid-19,” ujar Budi.

Kalimantan Tengah adalah salah satu langganan provinsi yang tiap tahun menetapkan status darurat karhutla. Dr. Jeanette Siagian, ahli paru-paru dari RSUD Dr Doris Sylvanus Palangkaraya menghimbau agar masyarakat yang tinggal di wilayah rentan terpapar kabut asap karhutla untuk mengantisipasi bahaya polusi udara. “Bila asap karhutla muncul lagi di situasi pandemi ini, sebaiknya kita tetap diam di rumah, jaga kesehatan paru dengan menggunakan masker. Menerapkan standar pencegahan Covid-19 serta mengkonsumsi makanan bergizi. Paru yang terinfeksi Covid-19 bisa menyebabkan kerusakan permanen.” kata dr. Jeanette.

Tatkala sektor kesehatan dan kehutanan menjadi urgen untuk dibenahi, respons pemerintah pusat dan DPR justru bertolak belakang dengan kebutuhan masyarakat. Mereka bersikukuh melahirkan RUU Cipta Kerja yang memberi kelonggaran tanggung jawab korporat atas karhutla.

“Pembahasan RUU Cipta Kerja harus dihentikan sebab akan melemahkan aturan pertanggungjawaban korporasi terkait kebakaran. Bila ini dilanjutkan maka pemerintah dan DPR hanya berpihak kepada kepentingan perusahaan. Korporasi seolah-olah diberi karpet merah untuk merusak, dan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan secara konsisten tidak menunjukan empati terhadap kebutuhan riil masyarakat untuk menghirup udara dan lingkungan yang sehat,” tegas Rusmadya Maharuddin Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.

“Para pemegang kekuasaan terdahulu sampai sekarang telah sangat meremehkan skala dampak karhutla terhadap kesehatan manusia. Setelah musim kebakaran yang menghancurkan di tahun 2015, angka resmi untuk jumlah korban tewas mencapai 24 nyawa. Sebaliknya, ahli epidemiologi memperkirakan puluhan ribu orang mengalami kematian dini,” tutup Rusmadya.

***

Catatan:

  1. Ringkasan Laporan Membara: Dampak Kesehatan dari Kebakaran Hutan di Indonesia dan Implikasinya bagi Pandemi Covid-19;
  2. Laporan lengkap: http://act.gp/Membara2020KebakaranHutan
  3. Foto: https://media.greenpeace.org/collection/27MZIFJLXV1F4

Lindungi Hutan

Kebakaran hutan tidak hanya mengancam kehidupan manusia, tapi juga mengancam satwa liar asli Indonesia yang terancam punah. Bantu kami wujudkan Nol Deforestasi.

Ikut Beraksi