Montreal/Jakarta, 17 Desember 2022. Delegasi pemerintah Indonesia yang hadir dalam Konferensi Keanekaragaman Hayati PBB atau CBD COP15 di Montreal, Kanada, diketahui bertemu dengan petinggi Sinar Mas, salah satu konglomerat dan produsen minyak sawit terbesar di Indonesia. Di sisi lain, delegasi RI yang dipimpin Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Alue Dohong, hingga kini belum juga bersedia meluangkan waktu untuk menemui perwakilan masyarakat adat dari Papua dan Papua Barat yang hadir di Montreal.

Great March led by Indigenous leaders for Biodiversity and Human Rights during COP15.
Pada tanggal 10 Desember, ratusan Quebec dan organisasi masyarakat sipil internasional yang dipimpin oleh delegasi masyarakat adat mengirimkan sinyal yang kuat ke negara-negara yang saat ini berkumpul di Montreal untuk COP15 untuk merundingkan Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global berikutnya. Kesepakatan internasional utama ini akan membentuk upaya global untuk melestarikan ekosistem selama dekade berikutnya. Di garis depan tuntutan ini adalah melindungi hak asasi manusia, termasuk melindungi masyarakat adat dan mengembalikan hilangnya keanekaragaman hayati.

“Wakil Menteri LHK dan delegasi Indonesia tidak mau bertemu untuk mendengarkan pandangan masyarakat adat. Ini sungguh menyakiti dan tidak menghormati para pemimpin adat Papua yang melakukan perjalanan ke Montreal. Selain itu, sikap tersebut juga menunjukkan bahwa mendengarkan perusahaan besar lebih penting ketimbang masyarakat adat yang telah merawat dan melindungi keanekaragaman hayati di Indonesia selama ribuan tahun,” kata Sekar Banjaran Aji, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.

Pada Oktober 2022, Greenpeace Canada merilis laporan yang mengungkap bagaimana Sinar Mas terhubung dengan produsen pulp kayu terbesar di Kanada, Paper Excellence. Sinar Mas selama ini ditengarai terlibat deforestasi di Indonesia. Pada 2020, terungkap pula bahwa mereka telah mengoperasikan perkebunan ilegal di dalam kawasan hutan dan kawasan konservasi.

Tak jelas apa agenda Sinar Mas di COP15. Namun hampir tak mungkin kehadiran mereka untuk mendukung konservasi dan perlindungan keanekaragaman hayati, mengingat Sinar Mas membangun sebagian besar kerajaan bisnis mereka dari perusakan keanekaragaman hayati di Indonesia demi perkebunan.

Pada Jumat, 16 Desember 2022 siang waktu Montreal, Wakil Menteri LHK Alue Dohong berpidato dalam forum tingkat tinggi CBD COP15. Namun Alue Dohong sama sekali tak menyinggung peran masyarakat adat dan komunitas lokal. Padahal, Indonesia adalah rumah bagi 70 juta masyarakat adat–seperempat dari jumlah penduduk. Indonesia juga termasuk satu dari 17 negara kaya keanekaragaman hayati. Artinya, negara ini memiliki peran penting dalam melindungi biodiversitas global.

“Ini pertanda buruk bahwa Indonesia berencana untuk terus meninggalkan masyarakat adat dalam perumusan kebijakan keanekaragaman hayati. Langkah ini berbahaya dan mematikan untuk perlindungan hak masyarakat adat dan keanekaragaman hayati,” ujar Sekar.

Hingga Agustus 2022, sebanyak 17,7 juta hektare wilayah adat yang telah dipetakan masih belum mendapatkan pengakuan. Adapun yang telah diakui baru 3,1 juta hektare, atau 15 persen dari total luas wilayah adat yang sudah dipetakan. Masyarakat adat yang tanahnya diakui pun masih harus berjuang secara hukum untuk menolak konsesi perusahaan demi mempertahankan hak-hak mereka.

KLHK masih menganggap 70 persen tanah adat yang telah dipetakan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) sebagai kawasan hutan nasional, kendati putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 menyatakan sebaliknya.

Pada 2021, Persatuan Pembela Masyarakat Adat Nusantara melaporkan terdapat 13 kasus perampasan tanah terhadap masyarakat adat, yang berdampak pada 103.717 orang dan sekitar 251.000 hektare lahan. Jumlah kasus yang tak dilaporkan bisa jadi jauh lebih banyak.

Indonesia sebenarnya telah menandatangani Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat. Namun, sistem hukum negara ini masih tak mengakui masyarakat adat sesuai konvensi internasional. Pemerintah Indonesia juga tak pernah meratifikasi Konvensi ILO tentang Masyarakat Adat Nomor 169.

Indonesia punya sejarah panjang mengabaikan hak-hak masyarakat adat, baik secara pengakuan maupun perlindungan hukum untuk wilayah adat. Sudah berkali-kali anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah menjanjikan pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat. Namun pembahasannya mandek sejak 2009.

Kontak Media:

Sekar Banjaran Aji, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, +62 812-8776-9880 Budiarti Putri, Juru Kampanye Media Greenpeace Indonesia, +62 811-1643-105