Jakarta, 10 November 2022. Pidato Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin dalam pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim atau COP27 di Sharm el-Sheikh, Mesir, menunjukkan bahwa pemerintah masih terjebak dalam sederet solusi palsu yang belum menjawab masalah krisis iklim. Dalam pidato tersebut, Wapres menyampaikan peningkatan target penurunan emisi Indonesia dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution yang telah diserahkan kepada sekretariat Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB (UNFCCC). Target penurunan emisi dengan kemampuan sendiri naik dari 29 persen menjadi 31,89 persen, sedangkan dengan bantuan internasional ditingkatkan dari 41 persen menjadi 43,20 persen. 

Wapres menyebut peningkatan itu selaras dengan kebijakan pemerintah ihwal perluasan konservasi dan restorasi alam, penerapan pajak karbon, target FOLU (forest and other land uses atau pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan) Net Sink 2030, pengembangan ekosistem kendaraan listrik, serta inisiasi program biodiesel B40. Wapres juga menyinggung perlunya dukungan internasional untuk investasi transisi energi, pasar karbon yang efektif dan adil, dan pendanaan aksi iklim.

Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia, Kiki Taufik mengatakan, komitmen menaikkan target penurunan emisi dalam Enhanced NDC di satu sisi menunjukkan bahwa krisis iklim menjadi perhatian pemerintah. Sektor FOLU bahkan menargetkan emisi negatif sebesar 15 juta ton dengan bantuan internasional. 

“Namun, dokumen Enhanced NDC tersebut masih mencatat akan terjadi deforestasi di Indonesia, baik terencana maupun tidak terencana,” kata Kiki. Laju deforestasi untuk business as usual (BAU) 2021-2030 diasumsikan 0,820 juta hektare/tahun, dengan skenario upaya sendiri menjadi 0,359 juta hektare dan 0,175 juta hektare untuk skenario dengan bantuan asing. 

Ihwal perluasan konservasi dan reservasi alam, Kiki mengatakan hal tersebut harus diikuti komitmen perlindungan terhadap hutan alam yang terancam deforestasi karena dimasukkan ke dalam wilayah konsesi. Data tahun 2020 mencatat ada 6,3 juta hektare area hutan yang berada dalam kawasan konsesi, baik hutan tanaman industri (HTI) maupun hak guna usaha (HGU).

Restorasi dan perlindungan lahan gambut juga krusial dilakukan demi mencegah kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Hampir saban tahun, karhutla terjadi di lahan gambut akibat kerusakan lanskap tersebut. Namun pemulihan lahan gambut selama ini masih bersifat sektoral dan cenderung demi mengakomodasi industri perkebunan berskala besar yang beroperasi di area tersebut. Pemerintah dalam NDC menargetkan restorasi gambut seluas 2 juta hektare pada 2030. Namun di sisi lain, masih ada 1 juta hektare lahan gambut yang terancam oleh konsesi, baik HGU maupun non-HGU. 

Fakta menunjukkan bahwa kebakaran hutan dan lahan gambut masih menjadi ancaman bagi Indonesia dalam dua tahun terakhir. Luas karhutla hampir 300 ribu hektare pada 2020 dan lebih dari 350 ribu hektare pada 2021. Meskipun, pemerintah mengklaim angka ini sebagai keberhasilan mengatasi kebakaran hutan, yang menurun 80 persen dari 2015. “Akan tetapi perlu diingat dalam tiga tahun terakhir kita berada pada periode La Nina, sehingga curah hujan memang tinggi dibanding periode El Nino seperti tahun 2015 dan 2019,” ujar Kiki.

Selanjutnya, Kiki menilai target FOLU Net Sink 2030 masih memberikan ancaman terhadap hutan alam dan keanekaragaman hayati di Indonesia. Program ini masih mengaburkan fakta kemungkinan terjadinya konflik dengan masyarakat adat dan komunitas lokal, serta hilangnya biodiversitas akibat potensi deforestasi seluas 10 juta hektare.

Program biodiesel B40, yang disampaikan Wapres Ma’ruf Amin di COP27, pun berpeluang menaikkan laju deforestasi dan memicu defisit stok kelapa sawit (CPO). Biodiesel B30 saja sudah diprediksi memicu defisit sebesar 40 juta ton pada 2025, sehingga diperlukan tambahan lahan baru seluas 5,2 juta hektare jika pemerintah ingin melanjutkan program ini.

Bila pemerintah menerapkan skenario tambahan campuran B40-B50 sebesar 50 persen, maka defisit stok CPO bisa mencapai 100 juta ton dan akan membutuhkan tambahan lahan seluas 9 juta hektare pada 2025. “Program ini juga memakan banyak subsidi yang akhirnya memotong jatah peremajaan sawit rakyat. Pada 2021 saja, ada Rp 51,86 triliun subsidi untuk menghasilkan 9,18 juta kiloliter biodiesel,” kata Kiki.

Setengah Hati di Sektor Energi

Peningkatan target pengurangan emisi gas rumah kaca dalam Enhanced NDC memperlihatkan kesadaran pemerintah terhadap dampak krisis iklim dan urgensi untuk memulai transisi hijau . Namun peningkatan komitmen  tersebut masih jauh dari memadai dan highly insufficient menurut analisis Climate Action Tracker.

Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Tata Mustasya mengatakan, Indonesia harus meningkatkan pengurangan emisi gas rumah kaca menjadi sebesar 62 persen dengan usaha sendiri dan 75 persen dengan bantuan internasional (di luar kegiatan penggunaan lahan, alih fungsi lahan dan kehutanan atau LULUCF) agar selaras dengan Perjanjian Paris yang ingin membatasi kenaikan temperatur global pada 1.5°C. 

Tata melanjutkan, ketergantungan Indonesia terhadap batu bara juga menghambat transisi energi dan pencapaian target nol emisi pada 2050. Kecenderungan ini bisa dilihat dari kebijakan pemerintah yang masih mengizinkan penggunaan batu bara minimal 25 persen pada 2050.

“Keberadaan solusi palsu berbasis batu bara dalam NDC, seperti co-firing PLTU dan clean coal technology hanya menjadi alasan pemerintah memperpanjang masa operasi batu bara dan mengalihkan Indonesia dari transisi energi yang sebenarnya,” ujar Tata. Padahal, panel ilmiah PBB  untuk  perubahan iklim (IPCC) menegaskan bahwa setidaknya dunia harus menutup 80 persen PLTU batu bara pada 2030, serta meninggalkan batu bara secara total di 2040 jika tak ingin terjebak krisis iklim. 

Tak adanya rencana pensiun dini PLTU dalam Enhanced NDC juga makin mempersulit pengembangan energi terbarukan di tengah situasi kelebihan pasokan listrik. Penggunaan kendaraan listrik dan kompor listrik, kata Tata, hanya akan terlihat sebagai upaya pemerintah menyerap kelebihan pasokan listrik. “Bukan sebagai aksi mitigasi seperti yang tertulis dalam NDC.”

Tata melanjutkan, penundaan pemberlakuan pajak karbon, khususnya pada PLTU batu bara, hingga tahun 2025 semakin memperlihatkan bahwa Indonesia masih setengah hati melakukan transisi energi dan melakukan aksi iklim. Untuk memastikan pengurangan emisi gas rumah kaca secara signifikan, pemberlakuan pajak karbon juga mesti disertai penyusunan peta jalan yang menggambarkan peningkatan tarif pajak dan batas atas yang saat ini masih sangat longgar.

Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak, mengatakan Indonesia harus berani melakukan aksi iklim yang lebih nyata dan ambisius. Konferensi iklim COP27 mestinya menjadi momentum yang krusial bagi Indonesia untuk mengajak para pemimpin dunia menyepakati komitmen yang lebih konkret untuk mengurangi dampak krisis iklim. Apalagi, seperti dikemukakan Wapres Ma’ruf Amin dalam pidatonya, Indonesia menjadi Presidensi KTT G20 pada tahun ini. 

“Upaya memerangi krisis iklim memerlukan kerja sama global. Para pemimpin dunia, baik yang berkumpul di COP27 maupun G20 nanti perlu menempatkan kepentingan seluruh penduduk dunia di atas kepentingan nasional masing-masing, dan bersama-sama menyepakati aksi nyata untuk mengatasi krisis iklim yang mengancam kemanusiaan,” kata Leonard.

Kontak Media:

Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia, +62 811-9696-217

Kiki Taufik, Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia, +62 811-8706-074 

Tata Mustasya, Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, +62 812-9626-997 

Budiarti Putri, Juru Kampanye Media Greenpeace Indonesia, +62 811-1463-105