Tim pesepeda (kiri ke kanan) Eko Satrio Purnomo, Fanisya Ramagianti, Kania Yuthika, Iman ‘Dayak’ Sulaeman, dan Rafii Puji Berkah dalam kick-off etape pertama tur bersepeda Jakarta-Bali Chasing The Shadow (CATS) di Jakarta pada Sabtu, 16 Oktober 2022.

Jakarta, 15 Oktober 2022. Chasing The Shadow atau perjalanan kesaksian tentang cerita krisis iklim di berbagai wilayah melakukan kick off pada Minggu (16/10). Sebanyak tiga pesepeda, kemudian ditambah enam pesepeda lain yang melakukan estafet di perjalanan selanjutnya, memulai perjalanan mereka di leg pertama yaitu Jakarta-Bandung. Peluncuran kegiatan Chasing The Shadow diadakan di Cibis Park, Cilandak dengan berbagai acara menarik seperti pameran foto dan workshop tentang krisis iklim, diskusi santai bersama Bike 2 Work dan LBH Jakarta, lomba postcard dan puisi.

Di Jakarta, sebagai kota pertama untuk memulai perjalanan tersebut, tim akan menyambangi dua lokasi yaitu Muara Baru dan Marunda. Di Muara Baru, tim akan berbagi cerita bagaimana warga di sana bertahan dari gempuran banjir rob setiap tahunnya. Menurut data dari Dinas Sumber Daya Air Provinsi DKI Jakarta pembangunan tanggul setinggi 4,8 m dilakukan sebagai antisipasi menahan kenaikan muka air laut yang berpotensi menenggelamkan Jakarta. Sementara di Marunda, tim akan berbagi pengalaman, bagaimana debu dan polusi batubara menjadi makanan sehari-hari bagi warga Marunda, akibat adanya aktivitas bongkar muat batubara di lokasi tersebut. 

Menurut penelitian Greenpeace Asia Timur kenaikan permukaan laut yang ekstrim dan banjir pesisir di tujuh kota besar di Asia pada 2030 berpotensi menurunkan produk domestik bruto (PDB) senilai US$ 724 miliar. Laporan tersebut memperkirakan pada tahun 2030 sebanyak 15 juta orang di tujuh kota tersebut akan tinggal di daerah yang berisiko banjir. Analisis ini termasuk salah satu yang pertama dari analisis sejenis yang menggunakan data resolusi spasial tinggi untuk memprediksi area di setiap kota yang berisiko terkena banjir, sebagai dampak langsung krisis iklim.

Jakarta masuk ke dalam kota yang berpotensi mengalami ancaman ganda. Ancaman tersebut berasal dari kenaikan permukaan laut dan tenggelam. Hampir 17% dari total luas daratan Jakarta berada di bawah elevasi air laut jika banjir 10 tahunan terjadi pada tahun 2030, yang membawa potensi kerugian terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) sebesar US$ 68 miliar, setara dengan 1.045 triliun rupiah. Angka ini sekitar sepertiga PDRB Jakarta di tahun 2021. Sekitar 1,8 juta warga Jakarta berisiko terdampak banjir tersebut. Daerah yang berpotensi terkena banjir antara lain bangunan perumahan dan komersial, Monumen Nasional dan Balai Kota Jakarta, serta pusat perbelanjaan di sepanjang pantai.

Tak hanya terancam tenggelam, udara Jakarta sudah semakin tidak sehat, karena dikepung polusi yang berasal dari dua sektor utama, yaitu transportasi dan PLTU-PLTU batubara yang beroperasi di sekitar kota Jakarta. Dalam laporan Greenpeace yang bertajuk Pembunuh Senyap Di Jakarta, PLTU Batubara di sekitar Jakarta dapat menyebabkan 10.600 kematian dini dan 2.800 kelahiran dengan berat lahir yang rendah per tahunnya di mana hampir setengah dari dampak ini berada di Jabodetabek. 

Bahkan Data Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta mencatat ada 139 Hari dengan level ISPU (Indeks Standar Pencemaran Udara) TIDAK SEHAT sepanjang tahun 2021 lalu, sementara dari Januari hingga Agustus 2022 tercatat ada 115 hari dengan level ISPU TIDAK SEHAT. Dilansir dari data World Air Quality Report, Jakarta pernah menempati peringkat ke-5 sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia pada 2019. 

Dalam laporan IPCC ditegaskan bahwa setidaknya dunia harus menutup 80% PLTU batubara pada 2030, dan meninggalkan batubara secara total di tahun 2040, jika tidak ingin terjebak dalam krisis iklim. Negara-negara di seluruh dunia harus segera meninggalkan energi fosil dan melakukan transisi energi untuk menekan laju perubahan iklim. Sayangnya, di saat tren global melakukan transisi energi secara masif, Indonesia masih tak bisa lepas dari ketergantungan batubara. Transisi energi yang dilakukan juga masih setengah hati dengan tetap membangun 13,8 GW PLTU batubara baru. Dominasi batubara menunjukkan bahwa relasi kekuasaan dan pebisnis telah berkelindan, dan menghasilkan kebijakan-kebijakan politik yang hanya menguntungkan sekelompok elite.

Krisis iklim bukanlah isapan jempol belaka, warga utara Jakarta menjadi saksi sunyi bahwa ancaman ini sudah mengetuk pintu rumah mereka. “Pilihan-pilihan kita akan gaya hidup, energi dan juga sistem ekonomi telah berdampak pada lingkungan, sosial serta cara hidup kita saat ini. Namun, solusi nyata juga nampak di depan mata”, ucap Didit Wicaksono, Jurukampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia. Indonesia memiliki potensi energi bersih dan terbarukan seperti surya, angin dan air yang melimpah dan biayanya semakin murah. “Tak ada alasan bagi pemerintah Indonesia untuk tidak mempercepat transisi energi yang berkeadilan sebagai solusi untuk keluar dari krisis iklim”, tutupnya. 

Catatan editor: 

Chasing The Shadow atau CATS adalah sebuah perjalanan kesaksian tentang bagaimana dampak krisis iklim mengancam sejumlah wilayah di Indonesia. Kami akan bersepeda dari Jakarta-Bandung-Semarang-Surabaya-Bali, berbagi cerita dan membawa pesan solusi nyata untuk iklim.

Kontak media:

Didit Wicaksono, Jurukampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, +62 813-1981-5456

Rahma Shofiana, Jurukampanye Media, Greenpeace Indonesia, +62 811- 1461-674