Jakarta, 25 Agustus 2020. Sebagian besar merek dan perusahaan pengalengan tuna belum memandang aspek tenaga kerja khususnya dalam kegiatan penangkapan ikan, sebagai salah satu aspek yang sangat penting. Berdasarkan laporan Peringkat Pengalengan Tuna Asia Tenggara 2020: Keberlanjutan dan Keadilan di Laut Lepas, yang rilis hari ini, hanya 20 persen merek tuna besar di Asia Tenggara yang memiliki kebijakan untuk mengatasi perbudakan modern di laut. [1] Padahal penindasan terhadap anak buah kapal, yang kebanyakan berasal dari negara berkembang seperti Indonesia dan Filipina, yang berakibat pada sakit hingga kematian, kerap terjadi di industri tuna. 

 

Dalam laporan keempat ini, Greenpeace mengevaluasi sembilan (9) merek tuna kaleng di Thailand, lima (5) perusahaan pengalengan tuna di Indonesia, dan enam (6) perusahaan pengalengan tuna di Filipina, berdasarkan tujuh (7) kriteria. Dalam kurun waktu lima tahun, perusahaan-perusahaan ini membuat kemajuan besar dalam mengupayakan aspek keberlanjutan dan ketertelusuran penangkapan tuna. Namun demikian, terkait dengan kriteria Legalitas dan Perburuhan, hanya ada satu perusahaan saja yang bisa masuk ke zona hijau, yakni Alliance Select Foods International dari Filipina. Dalam kriteria tersebut, Greenpeace mengevaluasi soal penghapusan kerja paksa di laut. 

“Perusahaan dan merek tuna kaleng harus menerapkan uji kelayakan terhadap hak asasi manusia dan keberlanjutan di industri penangkapan tuna, melebihi uji yang dilakukan oleh sektor industri lainnya, karena ini adalah industri yang sangat berisiko tinggi,” ujar Ephraim Batungbacal, Koordinator Riset Regional Kampanye Laut Greenpeace Asia Tenggara. “Perwakilan organisasi pekerja dan serikat buruh harus memberikan perlindungan maksimal kepada pekerja, dan perusahaan penangkapan ikan harus memperbolehkan anak buah kapal, terutama anak buah kapal (ABK) migran, untuk membentuk dan memimpin serikat mereka sendiri,” lanjut dia.

Berikut sejumlah temuan dalam pemeringkatan perusahaan pengalengan tuna tahun ini:

  • Sebanyak 13 dari 20 perusahaan (65%) secara terbuka mendukung Konvensi ILO-188 mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan, [2] dengan mendukung upaya advokasi dan implementasi sepenuhnya. 
  • Sebanyak 11 dari 20 perusahaan (55%) telah menetapkan langkah-langkah untuk mendeteksi secara dini dan mencegah terjadinya perbudakan modern di laut.
  • Hanya 8 dari 20 perusahaan (40%) menolak membeli tuna dari kapal yang meminta deposit jaminan dari kru kapalnya.
  • Hanya 7 dari 20 perusahaan (35%) membutuhkan manifes kru kapal.
  • Hanya 4 dari 20 perusahaan (20%) yang menyediakan nomor kontak (hotline) atau email untuk pelaporan bagi nelayan migran yang mengalami penindasan. 

“ABK ikan asal Indonesia kerap mengalami perbudakan modern. Tak sedikit mereka yang mengalami kerja paksa dan akhirnya meninggal dunia di atas kapal, kemudian jenazahnya pun dilarung. Oleh sebab itu, industri tuna harus menaruh perhatian besar terhadap pemenuhan hak tenaga kerja agar para ABK baik dari Indonesia dan negara berkembang lainnya, bisa bekerja secara layak,” ujar Afdillah, Jurukampanye Laut Greenpeace Indonesia. [3] 

Demi mengatasi perbudakan modern di laut, Greenpeace mendesak para pelaku industri tuna juga pemerintah untuk merumuskan kebijakan konkret dan dilaksanakan sesegera mungkin. Pemerintah Indonesia harus meratifikasi Konvensi ILO 188 dan mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang Pelindungan ABK Indonesia sesuai dengan amanat UU No. 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. 

“Pelaku industri perikanan pun harus menggunakan alat tangkap yang berkelanjutan seperti huhate, kapal jaring lingkar (purse seine) tanpa rumpon, dan menghormati serta memenuhi hak-hak para pekerja anak buah kapal menurut panduan dasar Persatuan Bangsa-Bangsa dalam hal Hak Asasi Manusia dan BIsnis, juga tidak melakukan alih muatan di tengah laut,” tegas Afdillah.  

Catatan: 

[1] Ringkasan eksekutif laporan Peringkat Pengalengan Tuna Asia Tenggara 2020: Keberlanjutan dan Keadilan di Laut Lepas bisa dilihat di sini. Untuk laporan lengkap bisa dilihat di sini.

[2] Konvensi ILO tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan No. 188 (2007) berlaku sejak 2017, dan mendorong usaha global untuk memastikan pekerjaan yang layak bagi 38 juta pekerja di industri perikanan global dengan menetapkan standar minimal untuk bekerja secara layak di industri perikanan. Lihat <https://www.ilo.org/global/about-the-ilo/newsroom/news/WCMS_596898/lang–en/index.htm

[3] Baca:  Laporan Kertas Investigasi SBMI dan Greenpeace Indonesia (Juli 2020)

Kontak media:

Afdillah, Jurukampanye Laut Greenpeace Indonesia, +62811-479-4730, [email protected]   

Ester Meryana, Jurukampanye Media Greenpeace Indonesia, +62811-1924-090, [email protected]