Jakarta, 2 Juli 2020 – Pandemi COVID-19 telah berkembang lebih besar dari sekedar masalah kesehatan melainkan juga masalah ekonomi dan sosial. Banyak yang memprediksi pertumbuhan ekonomi akan menurun pada kuartal kedua tahun 2020, termasuk Kementerian Keuangan yang menyebutkan angka -3,8%. Kontraksi ekonomi menyebabkan hilangnya lapangan pekerjaan dan meningkatnya angka pengangguran. Angka PHK dan dirumahkan berdasarkan data Kadin mencapai 6,4 juta orang sedangkan berdasarkan data Kemenaker mencapai 3 juta orang. Lesunya kegiatan ekonomi berdampak pada efisiensi biaya bagi banyak perusahaan yang memaksa mereka untuk mengurangi produksi hingga jumlah pekerjanya, tidak sedikit juga yang melakukan pemotongan gaji. 

Solar Rooftop at Luang Suan Hospital in Thailand. © Greenpeace / Arnaud Vittet
Lapangan Kerja Hijau

Berkurangnya lapangan pekerjaan akan meningkatkan angka  pengangguran, sementara datangnya angkatan kerja baru akan membuat kompetisi semakin ketat di masa pasca pandemi. Mendorong sektor ekonomi baru yang menyerap lebih banyak tenaga kerja dapat menjadi salah satu solusi memulihkan perekonomian. 

Energi terbarukan merupakan salah satu sektor yang belum berkembang di Indonesia. Lemahnya kebijakan yang dapat menciptakan pasar menjadi salah satu faktor utama terhambatnya perkembangan energi terbarukan. Sebut saja UU Minerba yang baru-baru ini disahkan akan lebih memperkuat posisi batubara di pasar kelistrikan, sehingga energi terbarukan kurang memiliki daya saing. 

Namun, apabila didukung, teknologi energi terbarukan ini memiliki kelebihan dibandingkan dengan pesaingnya, batubara. Selain emisi yang rendah, energi terbarukan secara umum memiliki proses pembangunan hingga operasi yang cepat serta membuka lapangan pekerjaan yang lebih banyak dibandingkan dengan batubara. Kedua poin tersebut menjadi relevan pada masa sulit ini, terutama sebagai strategi recovery dari krisis yang tengah dihadapi. 

Vietnam merupakan salah satu contoh negara yang berhasil meningkatkan kapasitas terpasang energi terbarukan khususnya energi surya menjadi 5,5 GW dalam kurun waktu 2 tahun sebagai buah dari peraturan FiT yang dicanangkan. Padahal di tahun 2018 kapasitas energi surya Vietnam praktis masih sama dengan Indonesia dengan kapasitas yang sangat kecil, masing-masing 86 MW dan 53 MW menurut ASEAN Centre for Energy.

Studi yang dilakukan oleh Greenpeace East Asia dengan GreenID mengenai Vietnam, menyatakan bahwa lapangan kerja yang tercipta dari sektor energi surya di negara tersebut  adalah 3,55 pekerjaan per MW, sedangkan batubara hanya menyumbang 1,35 pekerjaan per MW. Dengan 5,5 GW yang telah terpasang, berarti Vietnam memiliki sekitar 20.000 pekerjaan di sektor energi surya dan diproyeksikan akan terus bertambah hingga sekitar 80.000 pekerjaan pada 2030. 

“Sementara Indonesia, yang saat ini masih mengutamakan batubara berdasarkan pada RUPTL 2019 lalu, hanya akan memiliki sekitar 3.900 pekerjaan di sektor energi terbarukan pada 2030”, ucap Satrio, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia. Kontribusi terbesar akan berasal dari sektor batubara, yaitu sekitar 57.000 pekerjaan pada 2030. Jumlah tersebut masih lebih sedikit dibandingkan Vietnam dengan skala perekonomian Indonesia yang sekitar empat kali lebih besar dari Vietnam. “Sebuah peluang yang akan terbuang sia-sia apabila pemerintah Indonesia sama sekali tidak memperhitungkan sektor ini”, tegasnya. 

Namun, Indonesia masih dapat mengejar ketinggalan dari Vietnam dan menjadi yang terdepan di Asia Tenggara, dengan catatan harus memiliki ambisi yang kuat untuk melampaui target 23% dan fokus pada jalur pengembangan energi terbarukan untuk mencapai target penurunan emisi menuju 1,5°C. 

“Pekerjaan white collar dan blue collar adalah masa lalu. Bagi Indonesia, masa depan adalah green collar, yaitu membuka sebanyak mungkin lapangan pekerjaan yang berdampak baik bagi lingkungan”, tambah pengamat kebijakan publik, Harryadin Mahardika. 

Pemerintah dapat memulai pengembangan energi surya dengan mengeluarkan kebijakan yang menghilangkan disinsentif bagi energi terbarukan. Berdasarkan proyeksi dari studi oleh Greenpeace East Asia dan GreenID mengenai Indonesia, karena kondisi konsumsi listrik turun dan kondisi over capacity yang terjadi saat ini, pengembangan energi terbarukan di Indonesia secara realistis baru akan mulai kembali pada tahun 2025. Apabila Pemerintah fokus pada pengembangannya untuk mencapai 50% bauran energi terbarukan yang sejalan dengan target 1,5°C oleh IPCC, maka pada tahun 2027 Indonesia dapat menyalip Vietnam dan menciptakan sekitar 120.000 pekerjaan di bidang energi surya pada tahun 2030. Angka ini hanya memperhitungkan lapangan pekerjaan dari tenaga surya skala pembangkit dan belum mencakup dari panel atap surya yang angkanya akan jauh lebih tinggi.

“Untuk menghidupkan kembali roda ekonomi yang lebih baik pasca pandemi, saatnya pemerintah Indonesia mulai melakukan perubahan mendasar,  termasuk di sektor energi. Tren global saat ini adalah beralih ke pengembangan energi terbarukan dan mulai meninggalkan batubara, dengan begitu pertumbuhan ekonomi akan merangkak naik serta target penurunan emisi akan tercapai. Pembangunan ekonomi berkelanjutan yang memperhatikan lingkungan hidup harus menjadi better normal setelah pandemi”, pungkas Satrio. 

Kontak media:

  • Satrio Swandiko, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, 0811-1701-504
  • Rahma Shofiana, Juru Kampanye Media Greenpeace Indonesia, 0811- 1416- 674