Jakarta, 14 Mei 2020. National Plastic Action Partnership (NPAP) Indonesia memuat sejumlah langkah progresif untuk menanggulangi permasalahan sampah plastik di Indonesia, khususnya untuk mencapai target 2025 dan 2040 [1], lewat sebuah Skenario Perubahan Sistem [2], tetapi ada beberapa hal yang perlu disikapi. 

Pertama, reduksi memang menjadi prioritas utama dalam rencana aksi yang disusun ini. Namun, langkah ini ternyata disebutkan akan diikuti dengan adanya substitusi material pengganti plastik yang lain, seperti kertas ataupun compostable materials lain. Padahal, mengganti plastik dengan bahan sekali pakai lainnya tidak akan menyelesaikan masalah tingginya timbulan sampah di dalam negeri. Terlebih, peningkatan konsumsi kertas sebagai kemasan berpotensi meningkatkan laju deforestasi.

PT RAPP Pulpwood Concession in Riau. © Ulet  Ifansasti / Greenpeace

“Reduksi ini perlu benar-benar diimplementasikan, mengingat regulasi yang mengaturnya belum memaksa produsen kebutuhan sehari-hari (fast moving consumer goods atau FMCG), untuk mengubah kemasannya dengan menghindari plastik sekali pakai,” ujar Muharram Atha Rasyadi, Jurukampanye Urban Greenpeace Indonesia.

Kegiatan audit merek yang diadakan Greenpeace Indonesia, September 2018.

Kedua, mendesain ulang (redesign) produk plastik seharusnya lebih berfokus untuk penggunaan kembali (reuse) ketimbang untuk daur ulang (recycle). Apalagi mengingat belum adanya sistem pemilahan ideal dalam sistem pengelolaan sampah nasional, serta tingkat daur ulang dalam negeri yang masih terhitung rendah, yaitu sekitar 10%. Ketiga, masalah pengelolaan sampah di hilir ini juga diperburuk dengan adanya usulan mengadopsi konsep waste to energy serta chemical recycling yang dapat menimbulkan masalah lain terhadap manusia dan lingkungan [3].

Keempat, masalah sampah plastik impor tidak menjadi perhatian. Pasalnya, sejak 2018 Tiongkok menutup pintunya untuk sampah plastik impor, dan Indonesia telah menjadi pengimpor sampah plastik yang akhirnya menambah sekitar 220.000 ton ke volume sampah nasional [4]. “Pemerintah harus menutup keran impor sampah plastik seperti negara Asia Tenggara lainnya. Pasalnya, sampah plastik impor ini didominasi sampah rumah tangga yang tidak bisa didaur ulang,” tegas Atha. “Bila kita masih menerima sampah dari negara lain, maka usaha kita untuk mengatasi sampah plastik di dalam negeri menjadi sia-sia.” Terakhir, keterwakilan masyarakat sipil yang minim dan dominasi oleh kalangan industri yang bisa menimbulkan kekhawatiran adanya kebijakan yang hanya menguntungkan industri. 

Catatan:

[1] Pemerintah Indonesia menargetkan untuk mengurangi sampah plastik di lautan sebesar 70% pada tahun 2025, dan mewujudkan Indonesia bebas sampah plastik pada 2040. 

[2] NPAP adalah turunan dari Global Plastic Action Partnership, sebuah inisiatif dari sejumlah pihak yang dipimpin oleh World Economic Forum. Dalam NPAP, dibentuk Skenario Perubahan Sistem (System Change Scenario) yang berisikan lima langkah untuk mencapai kedua target pada tahun 2025 dan 2040.  

[3] Baca laporan yang diinisiasi oleh Greenpeace Amerika Serikat (AS) berjudul Throwing Away the Future: How Companies Still Have It Wrong on Plastic Pollution “Solutions”

[4] Insight Report: Radically Reducing Plastic Pollution in Indonesia: A Multistakeholder Action Plan – National Plastic Action Partnership hal. 8. 

Kontak media:

  • Muharram Atha Rasyadi, Jurukampanye Urban Greenpeace Indonesia, [email protected], telp 0811-1714-083
  • Ester Meryana, Jurukampanye Media Greenpeace Indonesia, [email protected], telp 0811-1924-090