Jakarta, 13 Mei 2020. Semakin besarnya porsi wewenang pemerintah pusat dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil seperti yang termuat dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja (Omnibus Law) berpotensi menimbulkan ancaman terhadap ekosistem pesisir seperti kawasan mangrove, dan ruang hidup masyarakat di kawasan tersebut. 

“Permasalahan pada RUU CK terjadi karena banyak dihapus dan diubahnya pasal-pasal terkait pengendalian lingkungan hidup dan pengelolaan kawasan pesisir dan laut,” sebut Afdillah, Jurukampanye Laut Greenpeace Indonesia. Dalam hal perizinan usaha di pesisir dan laut, wewenang pemerintah daerah dihapus. Izin penyelenggaraan usaha juga tidak mewajibkan adanya Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL). Dalam pembuatan dokumen AMDAL, hanya terdapat ruang aspirasi bagi masyarakat terdampak saja, tidak ada kesempatan bagi pihak pemerhati lingkungan untuk memberikan masukan. Selain itu, semua kawasan konservasi yang ditetapkan sebelumnya, akan menjadi wewenang pemerintah pusat, tidak ada lagi kawasan konservasi perairan daerah (KKPD). 

Kewajiban pemerintah daerah dalam pengembangan rencana pengelolaan pesisir dan laut yang diamanatkan oleh UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil juga dihilangkan dan dialihkan ke pemerintah pusat. Catatan dari Koalisi NGO Untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (KORAL) [1], dari 22 provinsi yang telah mengesahkan Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K): sebanyak 12 provinsi yang memberikan pengakuan dan alokasi ruang terhadap permukiman nelayan, dan 10 provinsi lainnya tidak memberikan alokasi ruang permukiman nelayan. 

Dari 22 dokumen Perda, juga ditemukan ketimpangan luasan alokasi ruang, di mana luasan alokasi ruang antara permukiman berbanding terbalik dengan luasan alokasi ruang pertambangan, pariwisata dan pelabuhan yang sangat besar. Dengan kewenangan masih berada di daerah saja, aspirasi dan kebutuhan masyarakat belum banyak diakomodasi dalam dokumen, apalagi jika jarak sosial dan politik bertambah karena kewenangan ditarik ke pemerintah pusat. 

Dengan adanya RUU CK, kewenangan pemerintah pusat menjadi sangat besar dalam menentukan zonasi ruang laut dan pesisir, khususnya dalam RZWP3K. Selain adanya kewajiban konsultasi teknis kepada pemerintah pusat dalam penyusunan RZWP3K, pemerintah pusat juga punya kewenangan untuk menetapkan RZWP3K apabila dalam kurun waktu 3 bulan setelah mendapatkan persetujuan substansi, pemerintah daerah belum juga menetapkannya menjadi peraturan daerah. Hal ini tercantum dalam salah satu butir di Pasal 19 RUU CK. Pasal ini memperlihatkan dominasi pemerintah pusat dengan mengambil alih kewenangan pemerintah daerah, serta membatasi ruang gerak pemerintah daerah untuk melakukan pembenahan dan mengakomodir aspirasi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.

Keberadaan mangrove

© Ulet Ifansasti / Greenpeace

Sebagai pusat keanekaragaman hayati laut dunia, Indonesia memiliki 2,5 juta hektar terumbu karang dan 3,4 juta hektar mangrove. Menurut LIPI, hanya 5% terumbu karang dalam kondisi sangat baik. Untuk hutan mangrove, hanya sekitar 1,6 juta hektar hutan mangrove dalam kondisi baik, sisanya 1,8 juta hektar dalam kondisi rusak [2]. Ekosistem pesisir di Indonesia saat ini mengalami ancaman global (seperti peningkatan suhu permukaan laut dan pengasaman air laut) serta lokal (seperti polusi, perikanan merusak, dan pembangunan infrastruktur di wilayah pesisir). Ancaman lokal utama bagi terumbu karang adalah perikanan merusak, sedangkan bagi mangrove adalah konversi lahan. Tidak hanya itu, kawasan mangrove juga berada dalam ancaman tumpahan minyak mentah yang kerap terjadi, seperti baru-baru ini di lepas pantai Karawang, Jawa Barat [3.] Bila UU Cipta Kerja diterapkan, maka pengendalian kerusakan akibat aktivitas perikanan merusak dan konversi lahan akan semakin sulit.

Oleh sebab itu, terkait wilayah pesisir, KORAL mendesak pemerintah untuk: Pertama, mengembalikan ruang bagi publik untuk memantau dan menggugat kegiatan usaha yang berdampak pada ekosistem pesisir dan laut. Kedua, mengembalikan peran pemerintah daerah dalam pengelolaan dan konservasi ekosistem pesisir dan laut. Ketiga, mengevaluasi dan memantau implementasi RZWP3K dari masing-masing provinsi agar sesuai dengan daya tampung dan daya dukung lingkungan. Keempat, mengutamakan pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut pada 0-4 mil dari garis pantai untuk hak kelola masyarakat pesisir, adat dan mensejahterakan nelayan kecil, tidak untuk kepentingan industri ekstraktif. Kelima, mendukung pengelolaan akses perikanan oleh kelompok masyarakat, seperti masyarakat adat atau kelompok nelayan tradisional dan nelayan skala kecil. “Serta mempertahankan dan menjaga mangrove yang kondisinya masih baik dan merehabilitasi/memulihkan segera mangrove yang rusak dengan melibatkan masyarakat lokal,” tutup Wiro Wirandi, Ocean Program Manager EcoNusa.  

Catatan: 

[1] Koalisi NGO Untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (KORAL) terdiri dari Destructive Fishing Watch (DFW), EcoNusa, Greenpeace Indonesia, Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI),  Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Pandu Laut Nusantara, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan Yayasan Terangi. 

[2] https://ppid.menlhk.go.id/siaran_pers/browse/561 

[3] https://www.greenpeace.org/indonesia/siaran-pers/3536/pertamina-harus-mengungkapkan-penyebab-terjadinya-semburan-dan-tumpahan-minyak-di-karawang/ 

Link foto kegiatan KORAL: 

https://media.greenpeace.org/shoot/27MZIFJ8388AA

Link siaran streaming: 

Kontak media: 

  • Wiro Wirandi, Ocean Program Manager EcoNusa, 0812-3377-9998
  • Afdillah, Jurukampanye Laut Greenpeace Indonesia, 0811-4704-730
  • Ester Meryana, Jurukampanye Media Greenpeace Indonesia, 0811-1924-090
  • Regina Safri, Communication Coordinator Pandu Laut Nusantara, 0818-273-758