Jakarta, 28 September 2021— Badan-badan sektoral ASEAN dianggap masih gagal memberikan perlindungan kepada ABK asal Asia Tenggara yang bekerja di kapal asing. Sebuah laporan yang disusun dan didukung oleh 24 organisasi sipil di kawasan Asia Tenggara[1] menyebut bahwa badan-badan sektoral tersebut belum mengakui “ABK migran” sebagai “buruh migran” dan belum berkoordinasi dengan baik untuk menyelesaikan masalah para ABK.

Laporan berjudul “Briefing Paper on Ratifying and Implementing ILO Convention 188 in ASEAN Member States” atau “Laporan Rekomendasi tentang Ratifikasi dan Implementasi Konvensi ILO 188 oleh Negara Anggota ASEAN” ini menunjuk tiga badan sektoral di bawah ASEAN yang bertanggung jawab menjamin perlindungan ABK migran. Di antaranya adalah Komite untuk Pekerja Migran ASEAN (ACMW), Komisi Antar Pemerintah untuk HAM ASEAN (AICHR) dan Pertemuan Pejabat Tinggi ASEAN mengenai Kejahatan Transnasional (SOMTC).

Ketiganya dinilai belum berhasil menjamin hak-hak para ABK migran terpenuhi. Oleh karenanya, ketiganya diharapkan mampu lebih mendorong negara-negara anggota ASEAN untuk bekerjasama memberantas praktik perbudakan di laut. Salah satunya adalah dengan meratifikasi Konvensi ILO 188 dari Organisasi Perburuhan Internasional. Konvensi ini adalah instrumen internasional yang paling komprehensif mengatur perlindungan hak dan kondisi kerja ABK.

Nelayan di kapal ikan berbendera Tiongkok, FU YUANG YU 380

“Industri perikanan global sangat bergantung pada pekerja migran dari negara-negara yang minim lapangan kerja dan pekerjanya bisa dibayar murah. Itu sebabnya, ABK asal Indonesia yang bekerja di kapal asing sangat rentan dieksploitasi dan menjadi korban tindak pidana perdagangan manusia,” ujar Hariyanto Suwarno, Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI). 

“Dengan meratifikasi Konvensi ILO 188, akan ada peningkatan komitmen oleh negara-negara ASEAN untuk melindungi hak ketenagakerjaan para ABK. Keselamatan ABK kita masih terancam, dan ini adalah langkah mendesak yang perlu diambil untuk memutus rantai perbudakan di industri perikanan.”

Sejauh ini, baru Thailand yang telah meratifikasi Konvensi ILO 188. Jika lebih banyak negara ASEAN mengikuti jejak Thailand, akan lebih banyak pula negara yang memperbaiki mekanisme perekrutan ABK dan mekanisme pengaduan guna menyelesaikan kasus-kasus kekerasan atau kecelakaan yang dialami para ABK di kapal asing.

“​​Peningkatan laporan kasus kekerasan hingga kematian yang dialami ABK asal Asia Tenggara selama beberapa tahun terakhir[2] mengindikasikan langgengnya praktik kerja paksa dan perdagangan manusia di industri perikanan,” kata Annisa Erou, salah satu penulis laporan dari Greenpeace Asia Tenggara. 

“Apabila diimplementasikan dengan baik, ratifikasi Konvensi ILO 188 bisa menjadi langkah nyata  dalam memberikan perlindungan terhadap ABK untuk mengurangi kasus perbudakan dan kecelakaan yang terjadi di kapal asing serta meningkatkan kesejahteraan ABK Indonesia.”

Laporan ini diserahkan kepada Sekretariat ASEAN pada Selasa, 28 September 2021. Sejumlah poin utama yang diharapkan dilakukan oleh AICHR, ACMW dan SOMTC adalah:

  1. Mengakui ABK migran di kapal asing sebagai buruh migran yang berhak mendapatkan perlindungan selayaknya buruh migran yang bekerja di darat atau di Zona Ekonomi Eksklusif dan laut teritorial negara tertentu.
  2. Mendorong ratifikasi dan implementasi ILO C-188 oleh negara-negara anggota ASEAN.
  3. Mengembangkan rencana aksi tingkat ASEAN untuk pencegahan perbudakan dan memberikan perlindungan terhadap ABK, serta peradilan bagi para pelaku perbudakan di industri perikanan.

“Laporan ini membuktikan kerja keras kolektif berbagai organisasi sipil untuk mengatasi masalah perbudakan dan perdagangan manusia yang dialami ABK asal Asia Tenggara. Kami sangat menantikan bentuk nyata dari implementasi Konvensi ILO 188, agar keadilan dapat diberikan bagi para ABK yang menjadi korban, dan agar kejahatan terhadap para ABK kita dapat segera diakhiri,” sebut Fr. Paulo, Direktur Scalabrini Center for People on the Move dan Pendeta (Chaplain) Stella Maris Manila. 

Laporan dapat diakses di tautan berikut

Catatan untuk Redaktur

[1] Daftar 24 organisasi masyarakat sipil yang terlibat

18 pengirim (submitters): 

  1. Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia (AP2I)
  2. CSO Coalition for Ethical and Sustainable Seafood
  3. Environmental Justice Foundation (EJF)
  4. Forum Asia
  5. Global Labor Justice – International Labor Rights Form (GLJ-ILRF)
  6. Greenpeace Southeast Asia
  7. Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI)
  8. Lembaga Bantuan Hukum Bandung (LBH Bandung)
  9. Oxfam International – Asia
  10. Plan International
  11. Serikat Awak Kapal Perikanan Bersatu (SAKTI) SULUT 
  12. Serikat Awak Kapal Transportasi Indonesia (SAKTI)
  13. Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI)
  14. Serikat Pekerja Perikanan Indonesia (SPPI)
  15. Serikat Pelaut Sulawesi Utara (SPSU)
  16. Stella Maris Manila
  17. The Migrant Workers Rights Network (MWRN)
  18. Verité Southeast Asia.

6 pendukung (endorsers): 

  1. Amnesty International – Indonesia
  2. Destructive Fishing Watch (DFW)
  3. Human Rights Working Group (HRWG)
  4. MARUAH Singapore
  5. Raks Thai Foundation
  6. Solidaritas Perempuan (SP)

[2] Mengacu pada Laporan “Forced Labour at Sea: The Case of Indonesian Migrant Fishers” oleh Greenpeace Asia Tenggara.

Narahubung

Hariyanto Suwarno, Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), [email protected], +62 822-9828-0638.

Fr. Paulo, Direktur Scalabrini Center for People on the Move dan Kapelan Stella Maris Manila, [email protected], +632 8-722-8565.

Annisa Erou, Peneliti Kebijakan Kampanye Laut, Greenpeace Asia Tenggara, [email protected], +62 821-3300-0604.

Sheila Maharani Berlian, Juru Komunikasi Kampanye ASEAN Interventions, Greenpeace Asia Tenggara, [email protected], +62 819-9922-9222.