Jakarta, 22 September 2021. Dalam pidatonya di Sidang Umum PBB, Presiden Republik Rakyat Tiongkok (RRT) Xi Jinping mengumumkan bahwa “China akan meningkatkan dukungan bagi negara-negara berkembang untuk pengembangan energi hijau dan rendah emisi, dan tidak akan membangun proyek pembangkit listrik batu bara yang baru di luar negeri.” Langkah ini sebagai bagian dari komitmen Tiongkok untuk membangun kembali dunia pascapandemi Covid-19 ke arah yang lebih baik, dengan mengembalikan keseimbangan alam dan manusia. 

Terhadap pidato tersebut, Tata Mustasya, Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara menyatakan:

“Sebagai negara pengguna batu bara terbesar di dunia, dan investor terbesar PLTU batu bara Indonesia, pengumuman terbaru Tiongkok jelas menandakan energi kotor batu bara harus segera ditinggalkan. Setelah sebelumnya banyak institusi finansial juga menyatakan menghentikan pendanaan untuk proyek-proyek terkait batu bara. Ini adalah kode keras bagi Pemerintah Indonesia untuk turut melakukan hal serupa. Pasalnya, dalam Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim (LTS-LCCR) yang akan dibawa pemerintah pada Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim (COP) ke-26 di Glasgow, November mendatang, masih memberikan porsi besar pada energi kotor batu bara sebanyak 38% dengan skenario terbaiknya, yaitu Low Carbon Scenario Compatible (LCCP) pada tahun 2050.” 

“Tiongkok merupakan salah satu dari tiga pendana proyek-proyek PLTU yang ada di Indonesia bersama dengan Korea Selatan dan Jepang. Sepanjang 2010-2017, sebanyak 51% dari proyek pembangunan PLTU di Indonesia berasal dari pendanaan Tiongkok dan Jepang [1]. Namun, dengan adanya komitmen dari ketiga negara tersebut untuk memberhentikan pendanaan maupun pembangunan PLTU batu bara baru di negara lainnya, maka sudah sepatutnya Pemerintah Indonesia untuk menghentikan rencana pembangunan berbagai proyek PLTU. Saat ini, Pemerintah Indonesia masih merencanakan untuk membangun tambahan PLTU sebesar 27 Gigawatt (RUPTL 2019-2028). Sedangkan, PLN baru akan mempensiunkan PLTU ultra supercritical pada tahun 2056, di mana ini sangat bertentangan dengan rekomendasi IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) untuk mencapai target 1.5 derajat Celcius, yaitu harus menutup 80% PLTU yang sudah beroperasi pada tahun 2030, dan melakukan phase out sebelum 2040.” [2] 

Coal Power Plants in Suralaya, Indonesia. © Ulet  Ifansasti / Greenpeace
© Ulet Ifansasti / Greenpeace

“Komitmen negara besar seperti Tiongkok merupakan angin segar bagi energi terbarukan seperti surya dan matahari, untuk mendapatkan porsi lebih dalam bauran energi nasional. Rancangan Undang-undang Energi Baru dan Terbarukan, seharusnya memberikan ruang bagi energi terbarukan, bukan malah memberikan dukungan bagi solusi semu yakni nuklir dan berbagai modernisasi teknologi pada pembangkit batu bara.”

“Selanjutnya, implementasi komitmen Presiden RRT untuk tidak membangun PLTU baru di negara lain perlu dipastikan, termasuk untuk menghentikan pembangunan PLTU baru atau juga termasuk pembangunan PLTU yang masih sedang dalam masa konstruksi. Timeline yang jelas pun harus ditetapkan oleh Pemerintah RRT untuk penghentian pembangunan PLTU baru tersebut di negara lainnya.”

***

Catatan:

[1] https://www.marketforces.org.au/research/indonesia/public-finance-to-indonesian-coal/ 

[2] https://climateanalytics.org/media/report_coal_phase_out_2019.pdf 

Kontak media:

Tata Mustasya, Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, +62812-9626-997, [email protected] 
Ester Meryana, Jurukampanye Media Greenpeace Indonesia, +62-811-1924-090, [email protected]