Jakarta, 6 April 2021 – Greenpeace International menerbitkan laporan terbaru berjudul Stop Baku Tipu: Sisi Gelap Perizinan di Tanah Papua. Laporan ini mengungkap dugaan pelanggaran sistematis perizinan perkebunan dan pelepasan kawasan hutan di provinsi Papua dalam rentang 2011-2019. Hampir satu juta hektare hutan di Provinsi Papua telah dilepaskan dari kawasan hutan sejak tahun 2000 atau hampir dua kali luas pulau Bali. [1] Sebagian besar pelepasan tersebut untuk kepentingan pengembangan perkebunan kelapa sawit. Hingga 2019, berdasarkan analisis CIFOR telah ada seluas 168.471 hektar hutan alam di Provinsi Papua yang dikonversi menjadi perkebunan sawit. Jumlah ini akan terus bertambah seiring bertambahnya pelepasan kawasan hutan dan izin perkebunan. 

Program perlindungan hutan dan lahan gambut termasuk Moratorium Hutan dan Moratorium Kelapa Sawit belum mencapai hasil yang memuaskan dan terkesan jalan di tempat. Hal tersebut tak lepas dari banyaknya celah pada kebijakan dan lemahnya penegakan hukum. Meskipun penurunan deforestasi terjadi, tetapi belum ada bukti yang kuat hal tersebut akibat adanya regulasi pemerintah. 

Sementara itu, Masyarakat Adat sebagai salah satu kelompok yang rentan dan paling terancam akibat ekspansi perkebunan sawit tidak kunjung mendapat pengakuan hak dan akses kelola. Justru sebaliknya, akhir tahun lalu pemerintah dan DPR memilih mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja yang dirancang untuk kepentingan oligarki. Perlindungan lingkungan hidup dan keberadaan masyarakat adat semakin terancam di bawah rezim undang-undang ini. 

Kajian Greenpeace Internasional terhadap 32 perusahaan di Tanah Papua mengindikasikan bahwa proyek-proyek rakus lahan terutama di bagian selatan Provinsi Papua, sebagian besar diduga terbit dengan melanggar hukum. 

Arie Rompas, Ketua Tim Juru Kampanye Hutan Greenpeace mengatakan:

“Kami menemukan sejumlah indikasi dugaan pelanggaran sejak proses penerbitan izin lokasi dan pelanggaran lainnya, seperti pada tahap pelepasan kawasan hutan, atau perubahan peta moratorium gambut yang menguntungkan sejumlah perusahaan.” 

Menurut Arie, terdapat 25 perusahaan dari 32 perusahaan yang memperoleh pelepasan kawasan hutan antara 2011-2019, proses pelepasan tersebut diduga melanggar peraturan menteri mengenai pelepasan kawasan hutan. Pelepasan tersebut terjadi pada saat Zulkifli Hasan menjabat sebagai Menteri Kehutanan (2009-2014) dan juga di era Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya.

“Hasil investigasi kami menemukan dugaan keterlibatan sejumlah elit politik pada perusahaan yang memperoleh izin perkebunan dan pelepasan kawasan hutan sejak dari awal proses penerbitan izin . Di antaranya masih ada yang menjabat anggota DPR RI, mantan kapolri atau jenderal polisi, mantan menteri, dan pengurus atau anggota partai politik. Posisi mereka di perusahaan-perusahaan tersebut beragam ada sebagai pemegang saham maupun pengurus perusahaan,” terang Arie. 

Keberadaan elit politik ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Mereka disinyalir bisa mempengaruhi pembentukan produk perundang-undangan ataupun kebijakan di sektor perkebunan dan kehutanan, yang berkaitan langsung dengan usaha yang mereka geluti. Salah satu contoh produk legislasi yang sarat kepentingan oligarki maupun elit politik tertentu adalah Undang-Undang Cipta Kerja. Undang-undang ini melemahkan perlindungan lingkungan hidup, buruh, dan masyarakat adat. 

Nico Wamafma, Juru Kampanye Hutan Papua Greenpeace mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk mengambil langkah serius dalam perlindungan hutan alam tersisa di Tanah Papua. “Sebagian besar perusahaan belum mulai membuka lahannya. Ini kesempatan pemerintah untuk menyelamatkan hutan alam. Melalui instrumen kebijakan yang ada saat ini, pemerintah bisa menganulir pelepasan dan izin yang terlanjur dikeluarkan tersebut sebagai bentuk corrective action,” tegas Nico.

Temuan Greenpeace Internasional ini juga sejalan dengan temuan tim review izin di Provinsi Papua Barat maupun Provinsi Papua baru-baru ini. Khusus di Papua Barat, bahkan telah merekomendasikan pencabutan hampir selusin izin perkebunan untuk dikembalikan sebagai kawasan hutan atau dialokasikan untuk masyarakat adat. [2] Jika rekomendasi ini dijalankan, pemerintah tidak hanya menyelamatkan hutan alam tersisa, tetapi juga akan membantu pencapaian target reforma agraria yang dicanangkan Presiden Joko Widodo sejak awal menjabat. 

“Pemerintah Provinsi Papua harus mengikuti langkah serupa, sejalan dengan keluarnya hasil review izin yang telah mereka lakukan dan mempertimbangkan temuan Greenpeace Internasional ini. Kami akan menyampaikan temuan ini ke Gakkum KLHK dan penegak hukum terkait untuk ditindaklanjuti,” tutup Nico. 

***

Baca Laporan Lengkap:

Laporan: Stop Baku Tipu – Sisi Gelap Perizinan di Tanah Papua
Versi Bahasa Inggris juga tersedia di https://www.greenpeace.org/international/stopbakutipu

Foto dari Tanah Papua terkait isu ini tersedia di sini: https://media.greenpeace.org/collection/27MDHULUE2G

Catatan: 

[1] Total areal hutan yang dilepas untuk perkebunan sekitar 951.771 ha; Bali memiliki luas wilayah 578.000 ha.

[2] Siaran Pers Bersama KPK dan Pemerintah Provinsi Papua Barat

Kontak:

Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, 

Tel +62 811-5200-822 , email [email protected]

Rully Yuliardi, Jurukampanye Media Greenpeace Indonesia, Tel 08118334409, 

email [email protected]