Jakarta, 31 Maret 2021. Indonesia sulit berharap terbebas dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahunan dalam waktu dekat, pasalnya pemerintah masih bersikap permisif memberi kelonggaran kepada industri menggarap lahan gambut. Penelitian Greenpeace Indonesia terbaru mengungkapkan sekitar hampir sepertiga dari Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) di 7 provinsi prioritas restorasi gambut, berada pada level kritis yang disebabkan penggunaan lahan untuk Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan sawit skala besar. [1] 

Greenpeace mencatat masih banyak terjadi kebakaran di sejumlah KHG, [2] sekitar 936.000 hektar terbakar di dalam wilayah KHG pada 2016-2019 saat restorasi gambut sedang berjalan. Pembangunan Infrastruktur Pembasahan Gambut (IPG) dari pemerintah diharapkan dapat mencegah terjadinya kebakaran, namun empat wilayah KHG di Kalimantan Tengah masih saja terbakar seluas 165.000 hektar pada tahun 2019. [3] 

Kebakaran besar juga terjadi di 220 dari 520 KHG yang wilayahnya terdapat konsesi kelapa sawit dan HTI. [4] Sebaliknya, kasus karhutla lebih sedikit muncul pada wilayah yang tidak ada izin-izin konsesi dan kanal drainase.

“Kehadiran perkebunan skala besar secara empiris menjadi ganjalan bagi restorasi gambut. Pemerintah jangan terus menerus menutup sebelah mata soal ini, terlepas dari adanya bantuan perusahan merestorasi konsesi mereka yang belum signifikan hasilnya,” kata Rusmadya Maharuddin, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.

Maka penting untuk tidak mengganggu KHG sebab ia berperan sebagai penjaga keseimbangan dan tinggi muka air dalam satu kesatuan hidrologi gambut. Kubah gambut menyimpan air membasahi area kering dan lahan rendah ketika musim kemarau, yang membantu menurunkan risiko kebakaran meluas di lanskap gambut yang lebih luas. Bila manusia mengeringkan salah satu bagian KHG untuk perkebunan dan tanaman industri, maka fungsi penyimpanan air terganggu. Hal tersebut berpotensi mempengaruhi tinggi muka air di bagian KHG yang lebih tinggi, seperti kubah gambut.

“Perlindungan dan restorasi ekosistem gambut tidak bisa dilakukan secara parsial, setelah lima tahun upaya ini tidak efektif dan gagal. Tidak ada pilihan lain kesatuan hidrologi gambut harus dilindungi secara menyeluruh,” tegas Rusmadya.

Pemerintah memahami persoalan ini, bahkan pada 2014 Presiden Joko Widodo pernah menyerukan perlindungan gambut secara menyeluruh dengan melarang usaha di lahan gambut dan mengembalikan fungsi lahan-lahan gambut. [5] [6] Namun, tekad ini dianulir sendiri oleh pemerintah dengan mengeluarkan sejumlah kebijakan dan aturan yang kontradiktif terkait perlindungan gambut.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bahkan menerbitkan Peraturan Menteri LHK P.10/2019 yang membatasi perlindungan gambut hanya pada area gambut paling dalam dan puncak kubah gambut. Sebelumnya terbit Peraturan Pemerintah No 57 tahun 2016 yang membagi fungsi gambut menjadi dua yaitu fungsi lindung dan budidaya. Terakhir, lahir Undang-Undang Cipta Kerja yang menghapus prinsip tanggung jawab sehingga membatasi tanggung jawab perusahaan yang terkait karhutla.

“Pemerintah secara sistematis telah melemahkan ekosistem gambut dengan menerbitkan sejumlah aturan dan dikotomi fungsi gambut demi mengakomodasi kepentingan bisnis, pengusaha atau industri semata,” terang Rusmadya.

“Selama pemerintah memberi izin perkebunan dan tanaman industri di lahan gambut, restorasi tidak akan efektif. Sebab pembukaan lahan dan pengeringan di zona gambut budidaya akan berdampak langsung pada zona gambut fungsi lindung di KHG yang sama. Semua hal ini akan menyebabkan KHG menjadi rentan terbakar di musim kemarau dan banjir di musim hujan. Maka pemerintah perlu segera melakukan review perizinan yang menyebabkan tumpang tindih dengan Kesatuan Hidrologi Gambut.” lanjut Rusmadya.

Pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG) sempat menjadi harapan publik untuk memimpin upaya pemulihan gambut. Namun belakangan, BRG justru merestui usulan Presiden Joko Widodo untuk mengalihfungsikan lahan gambut di Kalimantan Tengah menjadi areal persawahan (program food estate), padahal Kalimantan Tengah merupakan salah satu dari tujuh provinsi prioritas restorasi gambut BRG. 

Ini tidak sejalan dengan komitmen pemerintah dalam Nationally Determined Contribution untuk menanggulangi permasalahan krisis iklim, terkait hal ini Presiden Jokowi bahkan menyerukan negara-negara harus mengambil langkah yang luar biasa. “Sulit menemukan persamaan antara janji Presiden Jokowi dengan kebijakan dan aturan yang beliau terbitkan. Perlindungan gambut Indonesia masih sebatas ala kadarnya atau business as usual,” tutup Rusmadya.

***

Link Riset: Restorasi Hilang dalam Kabut Asap – http://bit.ly/hilangdalamkabutasap

Catatan:

[1] Kajian Greenpeace Indonesia: Restorasi Hilang dalam Kabut Asap 

[2] Analisis spasial yang dilakukan Greenpeace terhadap peta area terbakar KLHK. Data dari https://geoportal.menlhk.go.id/arcgis/rest/services/KLHK, saat ini tersedia di https://dbgis.menlhk.go.id/arcgis/rest/services.

[3] Contoh kasus di KHG sungai Kahayan dan sungai Sebangau di Kalimantan Tengah telah dibangun 5.321 unit infrastruktur pembasahan gambut. Tetapi pada tahun 2019, kebakaran masih terjadi di areal seluas 72.800 hektar

[4] Secara keseluruhan konsesi-konsesi mencakup area seluas 6.053.661 hektar di KHG ini dengan areal terbakar 2015-2019 seluas 1,86 juta hektar

[5] BBC Indonesia: Dapatkah kebakaran hutan di Indonesia diakhiri? 

[6] Mongabay: Blusukan ke Meranti, Jokowi Janji Lindungi Gambut, Moratorium Izin pun Lanjut

[7] Wartaekonomi: BRG Tetapkan 36 Korporasi Wajib Restorasi Gambut di 2017

Kontak:

Rusmadya Maharuddin Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Tel 62-813-6542-2373 email [email protected] 

Rully Yuliardi Achmad, Juru Kampanye Media Greenpeace Indonesia, Tel 62- 811-8334-409, email [email protected]