Jakarta, 25 Februari 2021. Penggunaan plastik sekali pakai sebagai kemasan produk kebutuhan sehari-hari (fast moving consumer goods atau FMCG) harus dikurangi, demikian salah satu temuan dalam studi yang dilakukan oleh Greenpeace Indonesia. [1] Sebagian besar responden juga menyatakan tanggung jawab untuk menyelesaikan krisis sampah plastik ada di pemerintah dan produsen FMCG.

Plastic Trash at Bali's Kuta Beach. © Made Nagi / Greenpeace
Seorang turis berjalan-jalan di pantai Kuta yang ikonik di Bali yang terkubur oleh sampah plastik selama musim hujan di Denpasar, Bali. Pantai Bali dipenuhi sampah plastik yang menjadi acara tahunan karena cuaca monsun, pengelolaan sampah yang buruk dan krisis pencemaran laut global.

Sebanyak 55% responden menyatakan, korporasi mempunyai peran yang strategis untuk mengurangi volume sampah plastik dengan menghindari kemasan plastik sekali pakai. Lalu 22% responden mengatakan, pemerintah seharusnya berperan besar untuk menangani sampah plastik dengan membuat regulasi yang tegas untuk melarang perusahaan memanfaatkan kemasan plastik sekali pakai. “Publik melihat peraturan pemerintah bisa mendorong perusahaan untuk mulai melakukan transisi pengemasan produknya menuju model pengiriman alternatif,” ujar Muharram Atha Rasyadi, Juru Kampanye Urban Greenpeace Indonesia.

Hampir 70% responden dalam survei menyatakan bersedia beralih ke menggunakan produk dengan sistem isi ulang (refill) dan guna kembali (reuse). Hal ini tentunya harus direspons dengan baik oleh produsen. Apalagi toko dengan sistem curah (bulk store) kini mulai banyak hadir di sejumlah kota besar. Bahkan beberapa merek FMCG multinasional telah mencoba menjajakan sejumlah produknya lewat toko curah.“Melihat semakin banyaknya toko curah berdiri, menandakan semakin banyak masyarakat yang sudah teredukasi dan menyadari kondisi sampah plastik di sekitar kita. Ini sinyal penting yang harus dilihat dan direspons oleh produsen,” lanjut Atha. Selain toko curah, tiga sistem pengiriman alternatif lainnya yang diminati oleh konsumen yaitu layanan pengiriman ke rumah, sistem kemasan guna ulang, dan mesin isi ulang. 

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pun mencoba menjawab tantangan pengurangan plastik sekali pakai dengan mengundangkan Peraturan Menteri LHK No. P.75/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen (Permen LHK 75/2019) pada tahun 2019. Aturan ini mewajibkan produsen di bidang manufaktur, jasa makanan dan minuman, serta ritel untuk mengurangi sampah yang timbul baik dari produk, kemasan produk, dan/atau wadah dengan bahan plastik, kaleng aluminium, kaca, dan kertas. Kewajiban pengurangan sampah tersebut dituangkan dalam rencana pengurangan sampah dalam jangka waktu 10 tahun, sejak 2020 hingga 2029.

Sebelum melaksanakan upaya pengelolaan sampah, produsen harus terlebih dahulu menyusun rencana pelaksanaan pengurangan sampah. Dalam rencana tersebut, produsen diperbolehkan memilih untuk melakukan salah satu cara pengurangan sampah plastik melalui pembatasan timbulan sampah (phase-out/redesign) atau pendauran ulang sampah (retrieve&recycle) atau pemanfaatan kembali sampah (retrieve & reuse). “Peraturan Menteri LHK tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen merupakan aturan penting dalam kerangka hukum pengelolaan sampah. Publik harus menekan agar produsen menaati aturan ini dengan beralih dari produksi produk plastik sekali pakai menuju sistem pengiriman produk yang dapat diguna ulang atau diisi ulang. Produsen jangan berdalih menjadikan daur ulang sebagai cara pengurangan sampah plastik, terutama daur ulang yang menimbulkan dampak negatif yang signifikan pada lingkungan, seperti plastic to fuel atau daur ulang kimia lainnya,” ujar Fajri Fadhillah, Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan ICEL.

Catatan:

[1] Studi persepsi publik dilakukan di tiga kota besar: Jakarta, Medan, dan Makassar dengan melibatkan 623 responden. Studi ini terangkum dalam laporan bertajuk “Bumi Tanpa Plastik: Perspektif dan Tuntutan Publik Terhadap Kontribusi Korporasi dalam Krisis Pencemaran Plastik di Indonesia”

Laporan lengkap bisa dibaca di sini.

Kontak media:

  • Muharram Atha Rasyadi, Jurukampanye Urban Greenpeace Indonesia, [email protected], telp 0811-1714-083
  • Fajri Fadhillah, Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan ICEL, [email protected], telp 0812-8317-4014

Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI)

Organisasi yang terdiri dari YPBB, GIDKP, Nexus3 Foundation, PPLH Bali, ECOTON, ICEL, Nol Sampah, Greenpeace Indonesia dan WALHI. AZWI mengkampanyekan implementasi konsep Zero Waste yang benar dalam rangka pengarusutamaan melalui berbagai kegiatan, program, dan inisiatif Zero Waste yang sudah ada untuk diterapkan di berbagai kota dan kabupaten di Indonesia dengan mempertimbangkan hirarki pengelolaan sampah, siklus hidup material, dan ekonomi sirkuler.