Jakarta, 11 Desember 2020. Tidak munculnya Indonesia dalam daftar pembicara pada acara peringatan lima tahun Perjanjian Paris, Climate Ambition Summit, yang akan diadakan pada 12 Desember 2020, seharusnya menjadi peringatan keras bagi pemerintah yang belum memiliki target ambisius untuk mewujudkan target 1,5 derajat Celcius. [1] Bahkan pemerintah memutuskan untuk tidak menaikkan target Nationally Determined Contributions (NDCs) [2], di mana hal ini bisa membawa dampak kenaikan temperatur global mencapai 4 derajat Celcius, jika negara-negara lain di dunia memiliki level komitmen yang sama dengan Indonesia.

“Sektor kehutanan dan energi menjadi dua penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar Indonesia. Tahun 2030, proyeksi total emisi kedua sektor tersebut 83%,” kata Adila Isfandiari, Peneliti Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia. [3]  

Pada sektor energi, pembangkitan listrik masih didominasi tenaga batu bara. Menurut The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), pada 2030, penggunaan batu bara dalam pembangkit listrik harus turun sebanyak 80% dari posisi 2010. Sementara Indonesia berencana menambah kapasitas PLTU batu bara baru sebanyak hampir dua kali lipat dari kapasitas beroperasi saat ini, di mana semua PLTU baru tersebut akan dibangun dalam satu dekade (2019-2028) mendatang. Penambahan PLTU baru ini sama saja dengan mengunci emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia hingga empat puluh tahun ke depan. Dengan demikian, total kapasitas PLTU pada 2028 sebesar 55 gigawatt dengan taksiran emisi sekitar 330 juta ton per tahun [4], bila semua beroperasi. 

Energi terbarukan hanya sekitar 14.69% dari bauran energi saat ini. Padahal target 2025, porsinya harus mencapai 23%, dan untuk mencapainya perlu tambahan pembangkit dari energi terbarukan sebesar 10.000 MW. “Setidaknya pertambahan energi terbarukan harus lima kali lebih cepat untuk mencapai target 2025,” tambah Adila. Potensi terbesar ada pada energi surya dengan 200 GWp.  

Di sektor kehutanan, kebakaran hutan dan lahan masih menghantui. Catatan Greenpeace Asia Tenggara, sebanyak 4,4 juta hektar lahan, setara 8 kali luas Pulau Bali, telah terbakar sepanjang 2015-2019 [5]. Di mana 30% atau 1,3 juta hektar area yang terbakar berada di konsesi kelapa sawit dan bubur kertas (pulp). Tahun 2019 pun menjadi tahun karhutla terburuk sejak 2015, dengan 1,6 juta hektar hutan dan lahan (setara 27 kali luas DKI Jakarta) terbakar dengan total kerugian US$ 5,2 miliar, setara 0,5% PDB negara. Emisi dari karhutla sepanjang 2015-2019 setara dengan emisi 110 PLTU batu bara atau emisi 91 juta mobil. 

Kini pemerintah justru mengobral solusi semu, seperti co-firing batu bara dan program biodiesel. Kedua program ini justru berpotensi besar meningkatkan produksi kelapa sawit yang berpotensi menambah luasan lahan dengan cara deforestasi hutan dan merusak lahan gambut. Kajian LPEM Universitas Indonesia, untuk pengembangan B50 membutuhkan penambahan lahan sawit sebanyak 9.291.549 hektar, sementara luasan lahan menghasilkan pada 2019 sebesar 13,35 juta hektar. [6] Artinya, kebutuhan lahan baru sangat signifikan, mengingat rendahnya komitmen intensifikasi. Ditambah lagi kebutuhan subsidi yang juga besar, sehingga rencana penghematan anggaran negara dari pengurangan impor solar, sangat sulit terealisasi. “Solusi semu dan sesat seperti co-firing dan biodiesel harus dihentikan, karena berpotensi menambah emisi GRK,” ucap Adila.

Banyak negara berlomba merealisasikan ekonomi hijau di tengah pandemi ini. Terbaru misalnya New Zealand yang mendeklarasikan darurat iklim. Indonesia seharusnya bisa memulai lewat penguatan program Pemulihan Ekonomi Nasional, dengan melihat manusia dan alam sebagai dua faktor strategis bagi pembangunan jangka panjang. 

Dengan komitmen pemerintah Indonesia yang rendah seperti saat ini, dampak krisis iklim akan mengancam ekonomi dan penghidupan rakyat. “Ketahanan iklim bukan merupakan beban, tetapi kekuatan perekonomian. Ini yang harus menjadi dasar perubahan kebijakan ke depan dengan mengakhiri model pembangunan ekonomi yang mengorbankan lingkungan dan manusia,” pungkasnya.

***   

Catatan:

[1] Negara yang mendapatkan kesempatan berbicara dalam forum Climate Ambition Summit adalah mereka yang telah menetapkan target ambisius untuk mengurangi emisi GRK pada 2030, bahkan target nol emisi dalam jangka panjang. 

[2] Indonesia hanya menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada 2030, atau 41% dengan dukungan dunia internasional. 

[3] Infografis emisi GRK Indonesia

[4] 33 Massachusetts Institute of Technology. 2007. Summary Report of The Future of Coal. http://web.mit.edu/coal/

[5] Laporan “Karhutla dalam Lima Tahun Terakhir” bisa dibaca di sini.

[6] Laporan lengkap LPEM UI bisa dibaca di sini, dan ringkasan laporan di link ini

Kontak media: 

Adila Isfandiari, Peneliti Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, [email protected], telp 0811-155-760

Ester Meryana, Jurukampanye Media Greenpeace Indonesia, [email protected], telp 0811-1924-090