Jakarta, 13 November 2020. Satu tahun pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin belum menunjukkan transformasi yang nyata untuk merealisasikan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada tahun 2030, atau 41% dengan dukungan internasional tidak lebih dekat tercapai. Berbagai sasaran dan strategi pembangunan berkelanjutan sebetulnya sudah ada di dalam beberapa kebijakan kunci, seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang mencantumkan pembangunan lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan bencana dan perubahan iklim sebagai satu dari tujuh prioritas. Yang diperlukan kini adalah aksi nyata dan segera.  

“Terdapat gap yang besar antara strategi besar pembangunan dengan turunan kebijakan dan implementasinya. Pada sektor energi terlihat pemerintah masih memprioritaskan energi kotor dari batu bara padahal sektor energi merupakan sumber emisi terbesar sehingga transisi energi menjadi kunci untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan,” kata Tata Mustasya, Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, dalam diskusi daring bertajuk ‘Evaluasi Setahun Jokowi Bidang Ekonomi dan Lingkungan: Transformasi atau Kemunduran?’ yang diadakan oleh INDEF bersama Greenpeace Indonesia, hari ini. 

Mengacu pada Rencana Strategis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2020-2024, produksi batu bara akan terus meningkat. Pada 2019, porsi batu bara dalam bauran energi primer pembangkit listrik mencapai 62,2 persen. [1] “Rendahnya alokasi APBN untuk aktivitas Pembangunan Rendah Karbon (LCD) selama 2018-2020 baik secara nominal (34,5 triliun, 23,8 triliun dan 23,4 triliun) dan proporsi ke APBN (1,6%, 1,4% dan 0,9%) adalah indikasi kuat bahwa semangat transformasi hijau belum jadi bagian penting resep merespons pandemi dan build back better seperti dilakukan banyak negara lain. Pengkajian lebih lanjut menunjukkan sekitar 60% dari dana LCD dialokasikan untuk transportasi yang didominasi oleh subsidi tarif transportasi publik. Transformasi sektor energi yang vital untuk mencapai target 23% EBT (energi baru terbarukan) di bauran energi mendapat porsi lebih kecil dan masih belum didukung feed-in-tarif yang sesuai dengan karakteristik EBT,” jelas Berly Martawardaya, Direktur Riset INDEF. 

Energi terbarukan seharusnya menjadi prioritas. Tipe energi ini terbukti menciptakan lapangan kerja tiga kali lebih banyak daripada batu bara di setiap mata rantai selain tidak menghasilkan polusi dan gangguan pernapasan. [2] Ditambah biaya tenaga surya dan angin terus menurun seiring dengan kemajuan teknologi sehingga meningkatkan efisiensi. Oleh sebab itu, pemerintah perlu merevisi Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dengan target angka yang lebih ambisius. [3] Thailand, Filipina dan Vietnam telah menunjukkan bahwa meningkatkan kapasitas terpasang EBT 5-20x dalam 5 tahun bisa dilakukan. 

Ekonomi tidak bisa berjalan tanpa daya dukung alam. People, profit, planet harus berjalan bersama. Mengacu pada hal itu, pengembangan bisnis pariwisata yang merusak ekosistem seperti yang terjadi di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur perlu mendapatkan perhatian serius. Pariwisata harus bersandar pada nilai lokal dengan mengacu pada sosial budaya setempat, sehingga akan menghasilkan nilai ekonomi yang berkelanjutan. “Jangan hanya bersandar pada kepentingan pemilik modal, dengan paradigma untung sesaat dan sebesar-besarnya yang berakhir pada kegiatan eksploitatif. Model pembangunan seperti ini akan gagal karena orientasi keuntungan terlepas dari kesejahteraan bersama dan kelestarian lingkungan,” tambah Tata.  

Mengacu krisis ekonomi 2008, ada tiga hal yang bisa dipelajari dan diaplikasikan sebagai respons krisis pandemi Covid-19. Pertama, stimulus jangka pendek untuk membangkitkan ekonomi dapat dan perlu dilakukan serentak dengan transformasi menuju ekonomi yang berkelanjutan (build back better & greener) seperti telah dilakukan banyak negara di Asia Timur dan Eropa. 

Kedua, kebijakan jangka menengah dan panjang untuk pemulihan hijau (green recovery) harus aplikatif dan terjangkau dengan fokus pada energi terbarukan dan transportasi publik serta dilakukan multiyears (tidak hanya pada tahun krisis). Ketiga, komitmen untuk transformasi menuju ekonomi rendah karbon harus terintegrasi dengan strategi reindustrialisasi dan investasi. 

SELESAI

Catatan:

[1] Baca briefer “Salah Arah Pembangunan Ekonomi Indonesia” di sini.

[2] Baca laporan Greenpeace terbaru berjudul “Southeast Asia Power Sector Scorecard” di sini

[3] Dalam RUEN, energi baru terbarukan dalam bauran energi primer ditargetkan mencapai 23% pada 2025 dan 31% pada tahun 2050. 

Kontak media:

Tata Mustasya, Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, +62812-9626-997, [email protected] 

Ester Meryana, Jurukampanye Media Greenpeace Indonesia, +62-811-1924-090, [email protected]