Jakarta, 9 Desember 2019. Sebanyak 13 kapal penangkap ikan berbendera asing diduga melakukan penindasan terhadap anak buah kapal (ABK) asal Asia Tenggara. Berdasarkan tingkat keparahannya, perlakuan-perlakuan yang diterima para ABK tersebut bisa digolongkan sebagai “perbudakan modern”. [1] 

Dalam laporan “Ketika Laut Menjerat: Perjalanan Menuju Perbudakan Modern di Laut Lepas,” Greenpeace Asia Tenggara memperlihatkan potret kehidupan dan kondisi pekerjaan para ABK, terutama yang berasal dari Indonesia dan Filipina, yang bekerja di kapal penangkap ikan jarak jauh negara lain. Kerja paksa, penganiayaan, dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya menjadi benang merah dari kesaksian sebanyak 34 ABK yang dilakukan melalui wawancara tatap muka, analisis dokumentasi, dan petunjuk lainnya yang memperkuat. [2]

Salah satu ABK, yaitu Tuan Z, 24, mantan kru kapal longliner Zhong Da 2 milik Taiwan yang direkam pada Mei 2018, menyatakan:

“Saya dipaksa bekerja tanpa istirahat dan makanan yang cukup. Saya kelelahan dan tidak bisa melanjutkan tugas saya. Saya melihat awak kapal yang lain bisa beristirahat. Saya berhenti dan pergi ke dapur, tetapi makanan tak lagi disajikan. Bos mendatangi saya dan bertanya, “Apa masalah Anda?” Saya pun bertanya kembali, “Apakah Anda tidak tahu aturannya, saya juga perlu istirahat dan makan, apa salah saya?” [3]

Greenpeace Asia Tenggara pun berusaha menghubungi perwakilan Zhong Da 2, serta kapal penangkap ikan lain yang disebutkan dalam laporan (sesuai dengan kontak yang tersedia), tetapi Zhong Da 2 tidak memberikan komentar menanggapi tuduhan ini.

Laporan ini juga mengungkapkan sistem perekrutan yang menjebak banyak nelayan Indonesia dalam kondisi kerja paksa. Greenpeace Asia Tenggara, dengan bantuan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), menganalisis kontrak, surat jaminan dan dokumen terkait.

Dalam penyelidikan praktik perburuhan ilegal, seorang ABK asal Indonesia yang bekerja di kapal penangkap ikan Chin Chun 12 asal Taiwan, mengaku belum menerima gaji selama enam bulan pertama. Sementara seorang ABK Indonesia lainnya yang bekerja di kapal Lien Yi Hsing 12 asal Taiwan dilaporkan hanya menerima USD 50 dalam empat bulan pertama. [4] Chin Chun 12 belum menanggapi tuduhan yang disampaikan kepada mereka, sementara Lien Yi Hsing 12 telah merespons dan membantah tuduhan itu [5]

“Meskipun terdapat kebijakan nasional untuk melindungi pekerja migran dan perjanjian internasional tentang pengelolaan perikanan, perbudakan modern terus berlangsung dalam industri perikanan,” kata Arifsyah Nasution, Jurukampanye Laut untuk Greenpeace Asia Tenggara.

Arifsyah menegaskan, “Model bisnis perikanan global yang eksploitatif ini tidak bisa lagi berlanjut, dan keluhan ketidakadilan serta penyiksaan yang tak berkesudahan harus segera diatasi oleh semua pemangku kepentingan. Satu nelayan migran menderita itu sudah keterlaluan. Sangat penting bahwa hukum nasional yang menjamin hak-hak nelayan migran ditegakkan sepenuhnya, atau, jika tidak ada, harus disusun dan disahkan sesegera mungkin.”

“Kami sangat prihatin dan menyesalkan pemerintah lagi-lagi lalai, sehingga gagal dalam mengesahkan tepat waktu sejumlah aturan pelaksana yang dimandatkan oleh UU 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI). Seharusnya semua aturan turunan, termasuk yang mengatur lebih rinci tata laksana pelindungan awak kapal sudah disahkan pada November 2019 lalu, yaitu dua tahun sejak UU PPMI ditetapkan,” ujar Hariyanto, Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI). 

Fisherman unload the catches from troll ship at Tegal port, Central Java. Fisherman is one of the main livelihood for people leaving in the North Coast area of Java.

“Kami menduga kuat ada hambatan birokrasi dan ego lembaga yang sangat serius, sehingga mengakibatkan molornya penerbitan peraturan pelaksanaan UU PPMI itu. Ini sebuah ironi dan tragedi, dalam dua tahun terakhir itu pula praktik eksploitasi terhadap pelaut migran perikanan asal Indonesia masih terus terjadi tanpa penertiban dan penindakan efektif oleh pemerintah,” tegas Hariyanto.

Dengan COP 25 disebut sebagai “COP biru” karena fokusnya pada lautan dan menjelang Hari Hak Asasi Manusia Internasional, Greenpeace Asia Tenggara menyerukan kepada 10 negara anggota ASEAN, khususnya, Indonesia, Filipina dan Thailand untuk memimpin penyelesaian masalah penangkapan ikan yang berlebihan, ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur (IUU), serta perbudakan modern di laut. Sebagai salah satu rekomendasi inti, ketiga negara ini diminta untuk meratifikasi dan mengimplementasikan Konvensi ILO 188 mengenai Pekerjaan Dalam Penangkapan Ikan, untuk melindungi warganya dari pelanggaran hak asasi manusia di kapal penangkap ikan. [6]

Laporan bisa diunduh di sini.  

Foto bisa diakses di sini.

Catatan:

[1] Kapal penangkap ikan yang diidentifikasi dan diseleksi untuk penulisan laporan apakah itu berasal atau terdaftar di Cina daratan, Taiwan, Vanuatu, dan Fiji. Lihat laporan hal 28.  

[2] Secara keseluruhan, empat pengaduan yang disimpulkan dalam laporan, mencakup:

i) Penipuan meliputi 11 kapal ikan asing 

ii) Pemotongan upah yang melibatkan 9 kapal ikan asing

iii) Kerja lembur berlebihan yang melibatkan 8 kapal ikan asing 

iv) Penganiayaan fisik dan seksual yang melibatkan 7 kapal ikan asing

[3] Seperti yang tertera di laporan hal 32. 

[4] Tabel gaji awak kapal dan pengurangannya pada hal 23, 24. 

[5] Seperti yang dicantumkan di hal 34. 

[6] Rekomendasi lainnya di hal 48. 

Kontak Media:

Hariyanto, Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia, [email protected], 0822-9898-0638

Arifsyah Nasution, Jurukampanye Laut Greenpeace Asia Tenggara, [email protected], 0811-1400-350

Ester Meryana, Jurukampanye Media Greenpeace Indonesia, [email protected], 0811-1924-090

Greenpeace International Press Desk, +31 (0)20 718 2470 (available 24 hours), [email protected]

Ikuti twitter @greenpeacepress untuk mengetahui siaran pers terbaru