Jakarta, 29 Oktober 2019. Sejumlah aktivis melakukan aksi damai kreatif di depan Kedutaan Korea Selatan pagi ini. Mereka bermaksud menyampaikan pesan kepada pemimpin negara ginseng tersebut agar tidak meracuni warga Banten dengan investasi PLTU batubara milik Korea.

“Aksi kali ini ingin menyerukan dan mendesak Korea sebagai negara yang sudah mempunyai komitmen untuk meninggalkan batubara tetapi banyak mendanai pembangunan PLTU di Indonesia, agar segera membatalkan pendanaannya serta mengalihkan investasinya pada energi bersih terbarukan,” ucap Yuyun Indradi, Direktur Eksekutif Trend Asia.

Padahal di negaranya sendiri, Presiden Korea Selatan Moon Jae In menyatakan komitmennya untuk tidak lagi membangun PLTU batu baru baru agar rakyatnya terlindungi dari dampak polusi berbahaya. Komitmen ini menyusul darurat polusi udara, ketika konsentrasi partikel debu halus di Korea Selatan melonjak tajam pada Maret 2019. Bahkan saat itu, Data National Institute of Environmental Research menunjukkan tingkat debu halus yakni PM 2.5 di tujuh kota besar di Korea Selatan masuk kategori berbahaya.

Namun, sikap Korea Selatan tersebut merupakan standar ganda. Sebabnya, di luar negeri, Korea Selatan justru gencar berinvestasi dalam proyek pembangunan pembangkit batu bara. Bahkan, Korea Selatan adalah satu di antara tiga negara investor teratas PLTU batu bara di dunia yang telah membangun banyak pembangkit di kawasan Asia Tenggara. Total pendanaan yang disediakan untuk proyek pembangkit batu bara asing oleh KEXIM dan K-Sure dalam 10 tahun terakhir mencapai 9,3 miliar dolar Amerika.

Di Indonesia, salah satu investasi tersebut adalah PLTU 9 & 10 Suralaya di Cilegon. Proyek pembangunan pembangkit ini didanai oleh lembaga keuangan publik yang dikelola pemerintah Korea Selatan, dengan nilai investasi sebesar 1,3 miliar dolar Amerika. Besaran investasi tersebut dinilai bertentangan dengan target kenaikan 1,5 derajat suhu yang disepakati dunia.

Dukungan finansial Korea Selatan terhadap pembangunan PLTU Jawa 9 & 10 di Suralaya, Cilegon, adalah bentuk hipokrisi Korea Selatan terhadap komitmen atas perubahan iklim. “Suralaya, Cilegon adalah wilayah yang sudah penuh sesak dengan industri dan polusi. Pembangunan PLTU Jawa 9 & 10 hanya akan membunuh masyarakat sekitar dengan mengatasnamakan (ilusi) pertumbuhan ekonomi dan mendewakan investasi energi kotor,” tambahnya.

Komitmen Korea Selatan juga menjadi perhatian Juru Kampanye Iklim dan Energi dari Greenpeace Indonesia, Didit Haryo Wicaksono. Menurutnya, Korea Selatan harus tegas mewujudkan komitmen tersebut di dalam maupun di luar negeri.

“Korea memiliki komitmen serius dalam penurunan penggunaan energi kotor batu bara di dalam negerinya. Saatnya komitmen itu diterapkan di proyek-proyek energi yang sedang mereka kerjakan di luar negeri,” ujar Didit.


Sementara menurut Fajri Fadillah, Peneliti Divisi Pencemaran dan Pengendalian Lingkungan Hidup dari ICEL pun menyerukan hal serupa. Menurutnya, Korea Selatan harus menghentikan pendanaan pembangkit baru bara di Indonesia khususnya di Suralaya, Cilegon. Ia juga mengimbau agar Korea Selatan sebaiknya mengalihkan pendanaan pembangunan pembangkit listrik dari energi terbarukan di daerah-daerah yang elektrifikasinya masih rendah.

“Kami menuntut konsistensi Pemerintah Korea Selatan dalam menerapkan kebijakan transisi ke energi terbarukan, tidak hanya di dalam Korea Selatan, tapi juga di luar Korea Selatan,” ucap Fajri.

Pada Agustus 2019, tiga warga Banten bersama warga Korea menggugat lembaga keuangan publik Korea Selatan ke Pengadilan Tingkat 1. Selain itu, satu warga Banten juga menyampaikan petisi yang ditujukan kepada Presiden Korea Selatan Moon Jae-In dan Pimpinan Dewan Nasional Iklim dan Udara Bersih Korea Selatan Ban Ki-Moon. Mereka meminta pemerintah Korea Selatan menghentikan dukungan pendanaan proyek PLTU batu bara 9 dan 10 Suralaya, Banten. Para penggugat mengkritik pemerintahan Korea Selatan karena menyediakan dana secara masif untuk proyek batubara di luar negeri.

Seruan senada juga ditujukan kepada Pemerintah Indonesia yang mencanangkan pembangunan rendah karbon, tetapi justru mengedepankan pembangunan PLTU batu bara sebagai tulang punggung pemenuhan energi listrik di Indonesia. Padahal, pembangunan dan pendanaan PLTU batu bara adalah bentuk bentuk pembangunan yang tidak berkelanjutan dan mengabaikan kemanusiaan. Sudah saatnya Indonesia melakukan transisi energi bersih terbarukan, energi yang baik, aman, dan berkelanjutan bagi lingkungan dan masyarakat Indonesia.

Narahubung:

  • Yuyun Indradi, Direktur Eksekutif Trend Asia, +62 812-2616-1759
  • Didit Haryo Wicaksono, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, +62 813-1981-5456
  • Fajri Fadhillah, Peneliti Divisi Pencemaran dan Pengendalian Lingkungan Hidup, ICEL, +62 812-8317-4014
  • Nina, Komunikasi Media Trend Asia, +628116541412