Tokyo/Jakarta, 20 Agustus 2019 – Pemerintah Jepang dan lembaga keuangan publiknya JBIC, JICA, NEXI mengekspor polusi ke negara-negara lain dengan mendanai pembangkit listrik tenaga batu bara di luar negeri. PLTU batu bara yang dibangun di luar negeri tersebut berpotensi mengeluarkan jauh lebih banyak racun ke udara daripada standar yang diizinkan di Jepang.

Coal Power Plants in Suralaya, Indonesia. © Ulet Ifansasti / Greenpeace

Standar ganda ini mengakibatkan PLTU batu bara yang didanai Jepang mengeluarkan hingga 13 kali lebih banyak nitrogen oksida (NOx), belerang dioksida (SO2) 33 kali lebih banyak dan debu 40 kali lebih banyak daripada pembangkit yang dibangun di Jepang.

Temuan ini dirilis dalam sebuah laporan kolaborasi antara Greenpeace Asia Tenggara dan Greenpeace Jepang yang mengungkapkan bahwa investasi lembaga keuangan publik Jepang senilai 16,7 miliar USD antara Januari 2013 dan Mei 2019 diperkirakan menyebabkan 150.000 hingga 410.000 kematian dini dalam periode operasi 30 tahun pembangkit tersebut.

“Sangat disayangkan melihat kesenjangan antara janji Jepang untuk mengekspor infrastruktur berkualitas dan kenyataan ekspor teknologi batubara berkualitas rendah. Jepang harus menghormati mitra dagang dan warga negara di negara-negara tersebut dengan tidak mempromosikan teknologi energi yang dapat merugikan kesehatan masyarakat dan lingkungan, ”kata Juru Kampanye Energi Senior Hanna Hakko di Greenpeace Jepang.

“Jepang bisa menjadi juara untuk energi terbarukan, tetapi itu membutuhkan penghentian ekspor berbahaya teknologi pencemar batu bara.”

Jepang saat ini merupakan satu-satunya negara G7 yang masih aktif membangun pembangkit listrik batu bara baru di dalam dan luar negeri, dan merupakan investor publik terbesar kedua dalam proyek batu bara luar negeri di antara negara-negara G20.

Tata Mustasya, Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, mengatakan:

“Jika itu tidak cukup baik untuk Jepang, maka itu berarti tidak cukup baik untuk Indonesia. Pemerintah di negara-negara tuan rumah proyek-proyek batu bara Jepang harus melindungi warganya dengan menetapkan standar emisi yang lebih kuat dan dengan cepat beralih dari batu bara ke energi bersih dan terbarukan. Perubahan dalam kebijakan dan investasi ini harus terjadi sekarang, untuk kesehatan manusia dan lingkungan, dan untuk melindungi masa depan planet kita.”

Greenpeace menuntut agar Jepang dan negara-negara yang menerima pembiayaan batu bara Jepang segera beralih dari batu bara ke sumber energi terbarukan yang bersih. Ini adalah satu-satunya cara untuk menghindari dampak kesehatan yang parah dari emisi batubara, termasuk ratusan ribu kematian dini. Lebih jauh, perubahan ini sangat penting untuk menghindari dampak terburuk dari perubahan iklim.

 

“Di Indonesia, Pemerintahan Joko Widodo Jilid II harus segera memperketat standar emisi PLTU batu bara lama dan yang telah beroperasi, sementara pada saat bersamaan menghentikan ekspansi PLTU batu baru dan menggantikannya dengan energi terbarukan. Indonesia yang maju tidak mungkin tercapai dengan ketergantungan kepada energi kotor yang merugikan lingkungan dan masyarakat dan ketersediaannya pun tidak berkelanjutan,” kata Tata.

Analisis Greenpeace Asia Tenggara dan Greenpeace Jepang ditemukan dari pemodelan:

  • Pembangkit listrik tenaga batu bara yang didanai Jepang di luar negeri mengeluarkan, 13 kali lebih banyak nitrogen oksida (NOx), belerang dioksida (SO2) 33 kali lebih banyak dan polusi debu 40 kali lebih banyak daripada PLTU batu bara yang dibangun di Jepang.
  • 3,3 juta orang diperkirakan akan terpapar sulfur dioksida (SO2) pada tingkat yang berbahaya dari emisi pembangkit listrik, ketika dioperasikan dengan standar emisi di negara masing-masing.
  • Angka kematian dini paling besar akibat investasi Jepang diproyeksikan terjadi di India (160.000) dan Indonesia (72.000), diikuti oleh Vietnam (36.000) dan Bangladesh (14.000) selama 30 tahun operasi pembangkit listrik tenaga batubara karena paparan jangka panjang terhadap polusi partikulat halus (PM2.5) dan nitrogen dioksida (NO2).
  • Di Indonesia, sebanyak 450 ribu orang terpapar sulfur dioksida (SO2) dalam 24 jam/harian, dengan emisi melebihi standar yang ditetapkan oleh WHO.

Catatan editor:

Kontak media:

  • Tata Mustasya, Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Asia Tenggara, +62 812-9626-997
  • Rahma Shofiana, Jurukampanye Media Greenpeace Indonesia, +62 8111 461 674