Jakarta, 20 Mei 2019. Dampak penggunaan plastik sekali pakai terhadap bumi ini akan semakin besar dan tidak terbendung, bila tingkat penggunaannya tidak ditekan sekarang juga. Pasalnya, tren pemakaian plastik sekali pakai cenderung terus meningkat. The World Economic Forum memprediksi, produksi dan konsumsi plastik akan meningkat 3,8 persen per tahun hingga 2030. [1]

“Sekali kita memproduksi dan menggunakan plastik sekali pakai, maka itu akan berada hingga ratusan tahun di alam ini,” tegas Muharram Atha Rasyadi, Jurukampanye Urban Greenpeace Indonesia, dalam kegiatan Ramadan Ramah Lingkungan di Universitas Negeri Jakarta. Berdasarkan laporan terbaru “Plastic & Climate: The Hidden Costs of a Plastic Planet,” seluruh siklus hidup plastik bisa menghasilkan gas rumah kaca yang begitu besar yang dapat mengancam target masyarakat dunia untuk menjaga kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius. [2]

Plastik memberikan dampak buruk bagi lingkungan mulai dari proses ekstraksi minyak bumi sebagai bahan bakunya hingga keberadaannya di lingkungan sekitar sebagai sampah. Laporan tersebut menyebutkan, sampah plastik yang berada di pantai, sungai serta di berbagai tempat lain di darat melepaskan gas rumah kaca dalam jumlah yang tinggi.

Solusi utama tentunya masyarakat harus mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Bulan Ramadan ini bisa menjadi momentum bagi masyarakat untuk memulai aksi nyata dengan mengaplikasikan gaya hidup ramah lingkungan, mengingat penggunaan plastik sekali pakai sangat masif seperti untuk kemasan takjil. “Nahdlatul Ulama sudah mengangkat sampah plastik sebagai permasalahan sangat penting yang mengancam lingkungan,” ujar Fitria Ariyani, Direktur Bank Sampah Nusantara LPBI Nahdlatul Ulama, di mana isu sampah plastik menjadi isu utama dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU pada Februari lalu di Banjar, Jawa Barat.

Selain peningkatan kesadaran masyarakat, perusahaan seperti produsen barang kebutuhan sehari-hari (fast moving consumer goods), juga harus bertanggung jawab. “NU mendorong pemerintah untuk memberikan sanksi kepada perusahaan yang tidak mengelola sampahnya,” lanjut Fitria. Ini sesuai dengan undang-undang yang berlaku yakni Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Perusahaan bisa menerapkan konsep isi ulang dan penggunaan kembali sebagai solusi demi mengatasi krisis sampah plastik.

“Penyelesaian krisis sampah plastik bukan hanya berada di tangan masyarakat. Perusahaan justru memiliki porsi tanggung jawab terbesar untuk segera mengatasi masalah ini,” ujar Atha.

Catatan editor:
Kegiatan Ramadan Ramah Lingkungan adalah bagian dari kampanye #PantangPlastik Greenpeace Indonesia yang diluncurkan pada Ramadan tahun 2018. Tahun ini, kegiatan kampanye menyasar masyarakat muda di sejumlah kampus seperti Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia dan Universitas Negeri Jakarta melalui kegiatan diskusi singkat menjelang buka puasa.

[1] http://www3.weforum.org/docs/WEF_The_New_Plastics_Economy.pdf
[2] Laporan “Plastic & Climate: The Hidden Costs of a Plastic Planet” menyebutkan pada tahun 2050, emisi gas rumah kaca dari plastik bisa mencapai lebih dari 56 gigaton.  https://www.ciel.org/wp-content/uploads/2019/05/Plastic-and-Climate-FINAL-2019.pdf

Kontak media:
Muharram Atha Rasyadi, Jurukampanye Urban Greenpeace Indonesia, [email protected], telp 0811-1714-083
Ester Meryana, Jurukampanye Media Greenpeace Indonesia, [email protected], telp 0811-1924-090