Rotterdam, 27 September 2016 – Aktivis Greenpeace menutup akses masuk bagi semua impor dan ekspor kelapa sawit dari pedagang besar IOI pagi ini di pelabuhan Rotterdam, Belanda, gerbang utama minyak sawit di Eropa. Minyak sawit dari perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam penghancuran hutan, kebakaran lahan gambut dan praktik buruh anak masih mengalir ke Eropa dan Amerika melalui fasilitas IOI, demikian yang terungkap dalam laporan terbaru Greenpeace Internasional .[1]

Dua laki-laki asal Indonesia yang terkena dampak langsung kebakaran hutan ikut memblokade akses masuk ke kilang bersama delapan aktivis Greenpeace lainnya. Kapal Greenpeace Esperanza telah ditambatkan di pelabuhan di belakang kilang, mencegah minyak sawit dibongkar dari tangki minyak.

Para pemasok IOI terlibat serius dengan perusakan lingkungan dan pelanggaran HAM seperti penghancuran hutan hujan di Indonesia, melakukan pembakaran hutan dan mempekerjakan buruh anak. Kelapa sawit dari perusahaan-perusahaan ini terus membanjiri Eropa dan Amerika, demikian yang terungkap dari laporan Greenpeace. Temuan-temuannya termasuk:

  • Pembabatan hutan, termasuk hutan primer di Papua dan Kalimantan
  • Pengeringan gambut
  • Kebakaran yang tidak terkendali dan terbukti sengaja menggunakan api untuk pembukaan lahan
  • Pelanggaran hak asasi manusia, termasuk penggunaan aparat keamanan yang yang berlebihan, eksploitasi pekerja dan bahkan terdapat bukti praktik buruh anak
  • Ketidakpatuhan terhadap prinsip dan kriteria label keberlanjutan (RSPO)

Industri perkebunan seperti kelapa sawit telah membabat hutan hujan dan mengeringkan gambut selama bertahun-tahun, menciptakan kondisi ideal bagi meluasnya kebakaran hutan yang telah melanda Indonesia dalam dua dekade terakhir. [2] Kebakaran hutan tahun lalu adalah musibah besar, menyelimuti kawasan dengan kabut asap yang mencekik selama berbulan-bulan. Antara Juli hingga Oktober 2015 lebih dari dua juta hektar hutan Indonesia dan gambut terbakar [3], setara dengan setengah luas Belanda. Laporan studi Universitas Harvard dan Columbia minggu lalu memperkirakan 100,300 kematian dini akibat kabut asap di seluruh Asia Tenggara pada tahun 2015.[4]

Dua laki-laki asal Indonesia tersebut melakukan perjalanan dari Kalimantan Barat ke Belanda untuk menyampaikan protes secara langsung terhadap IOI di kantor mereka yang berbasis di Eropa. Salah satunya adalah Nilus Kasmi. Kebakaran hutan telah menyebabkan Nilus dan keluarganya menghadapi kesulitan besar tahun lalu – mereka terpapar partikel beracun, dan asap yang menutup sekolah-sekolah, kantor-kantor dan tempat usaha serta membuat berbagai pekerjaan menjadi terkendala.

“Saya awalnya berharap pemerintah dan perusahaan bisa menyelesaikan krisis kebakaran hutan ini, tapi kegagalan mereka dalam menyelesaikannya membuat saya menyadari bahwa saya memiliki tanggung jawab untuk menyelamatkan hutan Indonesia.” Baik dia dan rekannya Adi Prabowo telah dilatih oleh Greenpeace untuk mencari, mencegah dan memadamkan kebakaran.

“Pedagang minyak sawit IOI tidak begitu dikenal di masyarakat umum. Fakta ini menguntungkan perusahaan, sehingga mereka bisa terlepas dari praktik-praktik yang tidak menjadi perhatian publik,” demikian kata Annisa Rahmawati, Juru kampanye Hutan Greenpeace Indonesia. “Bersama, kita akan mengubahnya. IOI harus tahu bahwa dunia saat ini mengawasinya dan tidak ada pasar bagi kelapa sawit kotor yang menghancurkan hutan Indonesia, habitat spesies yang terancam punah, iklim bersama dan masyarakat Asia Tenggara.

Greenpeace telah menyampaikan cara kepada IOI cara untuk mengakhiri blokade, dengan membuat pernyataan bahwa perusahaan akan berkomitmen terhadap rantai pasok kelapa sawit yang berkelanjutan. Jika IOI setuju, maka Greenpeace akan mengakhiri aksi blokade ini.

Kelapa sawit adalah komoditas yang digunakan lebih dari setengah produk-produk supermarket [5], mulai dari biskuit, coklat hingga sampo dan bedak bayi. “Kami tidak anti sawit, tapi kami tahu bahwa produksinya bisa dan harus berkelanjutan. Sangat mungkin menumbuhkan industri sawit tanpa pembukaan atau membakar hutan lagi,” kata Annisa. “Praktik kotor dari perusahaan seperti IOI dan para pemasoknya tidak dapat diterima secara moral, membahayakan ekonomi dan tidak dibutuhkan. Selain itu, para konsumen tidak ingin dan tidak bersedia menjadi bagian dari praktik semacam ini. Ini harus dihentikan.”

Catatan untuk editor:

[1] Ringkasan laporan dalam bahasa Indonesia: www.greenpeace.org/seasia/Global/seasia/2016/IOI-Report-Indonesian-lowres.pdf Laporan lengkap dalam bahasa Inggris: www.greenpeace.org/costs-of-IOI

[2] Kawasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah meluas dua kali dalam 15 tahun dari 4 juta menjadi 8 juta hektar. Diperkirakan tahun 2020, akan ada tambahan 5 juta hektar kebun lainnya tumbuh. http://www.indonesia-investments.com/business/commodities/palm-oil/item166

[3] www.lapan.go.id/index.php/subblog/read/2015/2067/Lapan-208-Juta-Karhutla-Hingga-20-Oktober-Kebakaran-Terluas-di-Sumatera/380

[4] http://iopscience.iop.org/article/10.1088/1748-9326/11/9/094023

[5] https://www.theguardian.com/sustainable-business/2014/dec/17/palm-oil-sustainability-developing-countries

Foto Aksi:
Jurnasyanto, Foto Editor Greenpeace Indonesia, Tel 081288270737

Kontak Media:

Yuyun Indradi, Juru kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, +6281226161759
Igor O’Neill, International Media for Greenpeace Indonesia. [email protected], Mobile +62 811 1923 721
Zamzami, Jurukampanye Media Greenpeace Indonesia, +628117503918

Di Belanda
Annisa Rahmawati, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Tel +62 811 1097 527
Merel van der Ham, Media Officer Greenpeace Netherlands, [email protected], +31 6 2129 6895
Greenpeace International Press Desk, [email protected], phone: +31 (0) 20 718 2470 (available 24 hours)