Jakarta, 9 November 2016. Greenpeace bersama dengan FWI, HAkA dan ICEL hari ini mendesak pemerintah untuk segera membuka data peta dalam format shapefile dan membenahi sistem informasi dan pelayanan informasi publik di bidang sumber daya alam. Transparansi informasi publik, khususnya data peta di sektor kehutanan, seharusnya mutlak dipenuhi pemerintah. Dasarnya telah tersedia yakni UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Apalagi pemerintahan Joko Widodo sudah menyatakan pemerintahannya akan mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih dan bisa dipercaya. Oleh sebab itu, akses masyarakat terhadap informasi seharusnya terbuka.

Pada sidang di Komisi Informasi Pusat, Greenpeace Indonesia telah memenangkan gugatan yang dilayangkan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Putusan tersebut diumumkan pada Senin (24/10) lalu. Tapi dua hari lalu, KLHK resmi melakukan upaya banding di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Reaksi KLHK ini sangat disayangkan mengingat seyogianya KLHK melaksanakan putusan tersebut: data peta tutupan hutan dan peta perizinan konsesi kelapa sawit, Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI), dan pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan, dalam format shapefile, dibuka untuk publik. KLHK beralasan UU Informasi Geospasial mengharuskan informasi geospasial disahkan sebelum diumumkan, dan shapefile tidak memiliki cara untuk memuat digital signature, akan tetapi majelis KIP sudah menolak dalil ini karena informasi tersebut sudah disahkan saat diumumkan dalam format lain. [1]

Aksi KLHK ini merupakan cermin lemahnya komitmen pemerintah terhadap transparansi. Ketidakterbukaan pemerintah juga tampak pada kasus lainnya. Tahun lalu, Forest Watch Indonesia (FWI) juga mengajukan permohonan peta untuk izin Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit seluruh Kalimantan untuk dibuka kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR). Setelah KIP memutuskan bahwa data ini terbuka bagi publik, ATR justru mengajukan banding. Terkait dengan keterbukaan di KLHK, FWI mendorong agar KLHK segera membenahi sistem informasi dan pelayanan informasi publik di lingkup KLHK. “Hal ini merupakan wujud nyata komitmen KLHK untuk menciptakan iklim keterbukaan yang mengakomodir kepentingan para pihak. Upaya pembenahan tersebut akan memberi jaminan bagi masyarakat mendapat haknya dan mengoptimalkan peran KLHK dalam melayani publik. Sehingga kasus-kasus sengketa informasi dapat dihindari,” ujar Soelthon Gussetya Nanggara, Direktur Eksekutif FWI.

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) juga telah mengajukan permohonan Peta Analisis Citra Satelit Tutupan Hutan di Provinsi NAD Tahun 2010-2013 dengan format shapefile. Sayangnya putusan ini ditolak oleh KIP. “Putusan KIP ini merupakan jawaban atas kritik putusan terdahulu yang sama sekali tidak mempertimbangkan aspek substansial mengapa peta shapefile harus dibuka. Putusan ini telah sesuai dengan tujuan UU KIP yaitu kemudahan dan keutuhan akses informasi. Sehingga tidak tepat jika badan publik melakukan banding atas putusan ini,” ujar Raynaldo Sembiring, Deputi Direktur ICEL.

Kerancuan peta juga menjadi salah satu faktor penyebab konflik tata ruang wilayah Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). “Tidak dilibatkannya masyarakat dalam penentuan tata ruang wilayah KEL juga mencerminkan tidak transparannya proses penetapan peta dan regulasi penataan ruang oleh pemerintah,” ujar Farwiza Farhan, Direktur Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA).

Menurut Greenpeace, peta dalam format shapefile sangat penting sebagai salah satu cara menekan kebakaran hutan. Beberapa pekan lalu Tim Cegah Api Greenpeace menemukan titik api yang berlokasi di sebuah konsesi HTI di Kec. Tanah Putih, Kab. Rokan Hilir, Riau. Keterangan dari masyarakat dan aparat penegak hukum tidak bisa mengonfirmasi siapa pemilik konsesi. Di konsesi juga tidak tersedia keterangan, seperti papan nama perusahaan. Hal ini membuktikan bahwa informasi yang transparan mengenai peta konsesi dan pemilik/penanggungjawabnya sangat penting bagi publik. Di mana masyarakat bisa berkontribusi langsung dalam menjaga hutan. Keterbukaan informasi peta ini juga akan membantu masyarakat adat dan lokal yang tempat tinggal dan wilayah penghidupannya kerap terancam akibat operasi perusahaan besar.

Melihat aksi positif pemerintah dengan meratifikasi Perjanjian Paris tentang Perubahan Iklim, seharusnya Kementerian LHK tidak perlu melakukan banding. Ini akan menjadi preseden buruk ke depannya dalam hal keterbukaan informasi. Langkah Kementerian LHK tentunya mencoreng momentum pertemuan negara-negara dalam forum COP22 yang berlangsung di Marrakesh, Maroko, selama dua pekan ini. Bila pemerintah tidak transparan, maka janji Presiden Joko Widodo pada acara COP21 di Paris tahun lalu, untuk menerapkan One Map Policy sebagai upaya Indonesia menurunkan emisi Gas Rumah Kaca sebesar 29% pada tahun 2030 sulit terlaksana. [2]

“Seiring dengan berlangsungnya COP22 pekan ini, Pemerintah Indonesia seharusnya melakukan langkah-langkah nyata menepati komitmennya di forum internasional. Salah satunya melakukan transparansi data peta di sektor kehutanan. Data tersebut sangat berarti bagi penanggulangan bencana kebakaran hutan dan menjaga wilayah tempat tinggal masyarakat adat,” ujar Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia.

Catatan:
[1]  Shapefile adalah peta digital yang sangat dibutuhkan dalam analisis geospasial. Peta dalam format ini bisa ditumpangtindihkan dengan gambar satelit terkini atau informasi digital lainnya. Hasil analisis keruangan ini dapat menunjukkan bermacam informasi seperti: lokasi hutan yang sedang dibuka, lokasi kebakaran, dan pemilik lahan yang terbakar, serta tumpang tindihnya dengan area gambut dalam pada saat bersamaan. Format lainnya seperti JPEG atau PDF yang dikeluarkan pemerintah tidak dapat digunakan untuk membuat analisa seperti di atas.
[2] https://m.tempo.co/read/news/2015/11/30/078723604/ini-isi-pidato-lengkap-jokowi-di-cop21-paris

Kontak Media: