Jakarta, 16 November 2017. Greenpeace Indonesia menyayangkan pernyataan Presiden Joko Widodo dalam forum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Peringatan 40 Tahun Kerja Sama Kemitraan ASEAN-Uni Eropa di Manila, Filipina, Selasa (14/11) lalu. Sebab apa yang dilakukan oleh Uni Eropa (UE) masuk akal, yakni meminta agar produk sawit yang masuk ke wilayahnya diproduksi dengan cara yang memerhatikan aspek keberlanjutan.

Dalam resolusi Parlemen UE beberapa bulan lalu, mereka menyadari bahwa industri sawit telah menciptakan banyak masalah, mulai dari deforestasi, kebakaran hutan, pelanggaran Hak Asasi Manusia, hingga korupsi. Sebagai salah satu solusi, UE pun mendorong agar produk yang masuk ke negaranya dibekali dengan sertifikasi sebagai bukti bahwa produk sawit dihasilkan dengan cara yang berkelanjutan. 

Sebagai negara yang meratifikasi Kesepakatan Paris, Pemerintah Indonesia seharusnya tidak beranggapan kebijakan UE maupun negara konsumen sawit lainnya sebagai sebuah hal yang merugikan industri serta perekonomian. Asep Komarudin, Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia, mengatakan, “Pemerintah harusnya malu karena deforestasi, kebakaran hutan, sistem kerja eksploitatif di perkebunan sawit, perampasan lahan, masih terjadi hingga saat ini. Ekspansi perkebunan sawit pun terus berlangsung. Sawit kini sudah tumbuh tidak hanya di Sumatera dan Kalimantan, tetapi juga sudah merambah hutan Papua.”

Data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian memperlihatkan bahwa luas areal perkebunan sawit terus meningkat. Tahun 2010 hanya seluas 8,3 juta hektar. Tahun 2017 diperkirakan mencapai 12,3 juta hektar. Ekspansi lahan sawit ini kerap merambah hutan lindung dan lahan gambut. Menurut Badan Restorasi Gambut, terdapat 327 perusahaan sawit yang beroperasi di lahan gambut. [1] “Lahan gambut kini dalam ancaman ekspansi perusahaan sawit,” tegas Asep. 

“Pemerintah Indonesia seharusnya meyakinkan pihak luar dengan menegakkan aturan-aturan yang sudah ada seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2016 bagi perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut, melakukan pengawasan ketat terhadap industri sawit, dan mencabut izin usaha bagi produsen sawit yang melanggar peraturan,” jelasnya.  

Keberadaan sertifikasi baik ISPO dan RSPO sejauh ini tidak bisa menjamin produsen sawit dan rantai pasoknya mempraktikkan cara berkebun yang lestari. Begitu juga dengan komitmen Nol Deforestasi yang digadang oleh sejumlah perusahaan. Komitmen tersebut belum sepenuhnya dijalankan bahkan dilanggar oleh perusahaan dan kelompok usahanya. “Moratorium lahan gambut sudah diperpanjang, tapi bagaimana efektivitas kebijakan tersebut? Ini seharusnya yang dijelaskan Presiden Jokowi di forum internasional, agar mereka percaya bahwa Indonesia berhasil melindungi hutan serta lahan gambutnya, dan menghasilkan sawit tanpa deforestrasi,” pungkas Asep.

Catatan:

[1] https://brg.go.id/files/Publikasi/BRG%202016%20report_29.05.17.pdf

 

Kontak media:

Asep Komarudin, Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Tel 62-813-1072-8770, email [email protected] 

Ester Meryana, Jurukampanye Media Greenpeace Indonesia, Tel 62- 811-1924-090, email [email protected]