JAKARTA, 28 Mei 2017 – Hampir dua dekade setelah reformasi, Pemerintah Indonesia belum bersungguh-sungguh dalam keterbukaan informasi publik. Menutup akses informasi bagi publik bukan saja mencoreng Indonesia sebagai negara demokrasi, namun juga harga yang ditanggung masyarakat jauh lebih besar.

Semangat reformasi 19 tahun lalu adalah pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme yang menjadi musuh utama bangsa waktu itu. Salah satu cara pemberantasannya melalui pemerintahan yang transparan dan partisipatif. Namun dua hal ini belum terwujud sepenuhnya di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo terutama di bidang hak asasi manusia, lingkungan hidup dan kehutanan.
“Kami tidak pernah lupa bahwa pasca kematian Munir, Presiden RI membentuk Keppres 111 Tahun 2004 tentang Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir (TPF KMM). Dalam Penetapan Kesembilan Keppres disebutkan bahwa Pemerintah seharusnya segera mengumumkan hasil penyelidikan TPF Munir kepada masyarakat. Namun mulai pergantian Presiden RI dari Susilo Bambang Yudhoyono hingga Joko Widodo, yang berarti lebih dari 12 tahun pasca dibentuknya TPF KMM, hasil penyelidikan tersebut masih belum juga diumumkan oleh Presiden. Padahal kasus pembunuhan ini jelas dilakukan sebagai upaya membungkam kritik masyarakat terhadap Negara. Akan menjadi skandal dan aib besar bagi bangsa ini, jika kematian Munir tidak terungkap seterang-terangnya,” kata Putri Kanesia, dari KontraS. 
Sebelumnya, pada 28 April 2016, KontraS mengajukan sengketa informasi kepada Komisi Informasi Publik (KIP) Pusat melawan Pemerintah RI c.q Kementerian Sekretariat Negara. Dalam sengketa itu, KontraS meminta Pertama, Pemerintah Republik Indonesia untuk segera mengumumkan secara resmi hasil penyelidikan Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir kepada masyarakat; Kedua, Memberikan penjelasan atas alasan Pemerintah Republik Indonesia belum mengumumkan hasil penyelidikan Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir sebagaimana tercantum dalam penetapan Kesembilan Keppres No. 111 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir; dan Ketiga, Memberitahukan Badan Publik yang berwenang dan menguasai informasi yang diminta jika memang informasi yang diminta tidak dikuasai oleh Kementerian Sekretariat Negara. Sengketa informasi ini telah diputus oleh Komisi Informasi Pusat pada 10 Oktober 2016 dengan mengabulkan permohonan Pemohon (KontraS) namun demikian putusan tersebut kemudian dianulir oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) pada 16 Februari 2017 dengan menyatakan bahwa Dokumen TPF KMM dimaksud tidak dikuasai oleh Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) dan tidak ada kewajiban Kemensetneg untuk mencari dokumen dimaksud. Putusan ini tentunya sangat mengecewakan dan bertentangan dengan semangat kebebasan informasi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Terlebih, proses pemeriksaan di PTUN ini sangat tertutup dan tidak melibatkan para pihak yang bersengketa dalam persidangan hingga langsung pada sidang pembacaan putusan. Saat ini sengketa informasi telah berada di Mahkamah Agung setelah KontraS mengajukan Kasasi atas putusan Majelis Hakim PTUN pada 7 Maret 2017. Namun demikian, belum ada informasi lebih lanjut terkait proses pemeriksaan kasasi di Mahkamah Agung tersebut.
“Upaya hukum yang ditempuh ini adalah bukti bahwa Negara telah bertindak sewenang-wenang dan mengabaikan aturan hukum yang ada. Bagaimana bisa dokumen penting kenegaraan seperti hasil penyelidikan TPF KMM dinyatakan hilang dan tidak dikuasai oleh Negara?” ujar Putri lebih lanjut.
Sementara itu ketidakterbukaan informasi bagi publik juga terjadi di sektor pengelolaan hutan hujan Indonesia. Krisis asap dan kebakaran hutan yang terus terjadi setiap tahun telah menyebabkan kerugian besar di sektor ekonomi, kesehatan dan lainnya. Komisi Pemberantasan Korupsi melalui Gerakan Nasional Penyelamatan Sumberdaya Alam telah mengungkapkan bagaimana ketidaktransparan proses perizinan di sektor kehutanan telah merugikan pendapatan negara.
“Bukannya mendorong partisipasi publik untuk mengawasi kerusakan hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan justru menutup rapat akses publik atas informasi kehutanan. Sikap menutup data dan informasi tentang bagaimana kekayaan hayati ini  dikelola, jelas sikap yang tidak mendukung komitmen keterbukaan Presiden,” ujar Ratri Kusumohartono, Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia. 
Greenpeace Indonesia pada 7 September 2016 lalu mengajukan sengketa informasi terhadap Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sengketa itu terkait dengan permohonan permintaan tujuh jenis informasi dan data kehutanan. Dari tujuh jenis informasi itu, enam di antaranya dalam bentuk peta dengan data SHP.
Saat ini, kedua kasus sengketa informasi ini sedang berada di tangan Mahkamah Agung. Kami berharap para hakim MA akan mengambil keputusan yang adil untuk mewujudkan pemerintahan yang terbuka dan partisipatif yang menjadi cita-cita dalam perjuangan reformasi 19 tahun lalu. Kami juga berharap, Presiden bisa terus mendorong lembaga-lembaga di bawahnya untuk mewujudkan niat baik Presiden akan pemerintahan yang terbuka dan partisipatif.  
 
 
Kontak Media:

Ratri Kusumohartono, Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Tel 0811 8003 717, email [email protected]

Ester Meryana, Jurukampanye Media Greenpeace Indonesia, Tel 0811 1924 090, email [email protected]

Putri Kanesia, Kepala Bidang Advokasi KontraS, Tel 0815 1623 293, email [email protected]