Jakarta, 23 Januari 2018. Greenpeace Indonesia menyayangkan kebijakan pemerintah yang memberikan insentif kepada sejumlah perusahaan di industri bahan bakar nabati (biofuel). Sepanjang Januari-September 2017, ada lima perusahaan sawit besar yang mendapatkan kucuran dana sekitar Rp 7,5 triliun melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) [1]. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga pernah mencermati hal ini dan mendapatkan empat perusahaan menyerap 81,8% dana subsidi mandatori biodiesel. [2]

PT Ladang Sawit Mas Oil Palm Concessions in Sungai Putri, West Kalimantan. © Irmawan

Berdasarkan UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan serta dua peraturan turunannya [3], dana yang dihimpun dari pelaku usaha perkebunan bukanlah semata untuk pengembangan biodiesel. Dana tersebut seharusnya juga disalurkan untuk pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, promosi perkebunan, dan peremajaan. Akan tetapi, penggunaan dana BPDPKS justru sangat besar untuk biodiesel, di mana berdasarkan kajian KPK, alokasi dana untuk biodiesel mencapai 89%. Sementara porsi untuk penelitian dan pengembangan, juga peremajaan sangat kecil.
Selain itu, KPK juga menyoroti soal verifikasi hasil ekspor CPO dan produk turunannya yang menjadi dasar perhitungan dana pungutan, yang belum berjalan dengan baik [4]. “Dana tersebut seharusnya fokus digunakan untuk penelitian, pengembangan dan peremajaan supaya bisa meningkatkan kualitas dan kapasitas perkebunan sawit yang sudah ada, sehingga tidak perlu ada lagi pembukaan lahan sawit di lahan gambut atau di kawasan hutan,” kata Asep Komarudin, Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia. Pasalnya, pembukaan lahan sawit kerap menjadi faktor penyebab bencana kebakaran hutan dan lahan gambut.
Kebijakan pemerintah ini terlihat semakin buruk bila melihat kondisi ketahanan pangan di banyak masyarakat miskin yang hidup di sekitar hutan masih sangat memprihatinkan. Salah satu contoh nyata, kejadian luar biasa gizi buruk yang sekarang terjadi di Asmat, Papua. Salah satu faktor penyebabnya adalah lemahnya ketahanan pangan masyarakat.
“Kami berpandangan konversi lahan dan sistem subsidinya untuk penyediaan biofuel tidaklah tepat. Seharusnya subsidi sebesar itu bisa digunakan untuk ketahanan pangan atau bahkan menjawab kebutuhan petani sawit mandiri,” ujar Asep. 

Catatan:

  1. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20180116202504-92-269411/lima-konglomerat-sawit-disuntik-subsidi-mega-rp75-triliun
  2. Catatan KPK dalam Kajian Sistem Pengelolaan Komoditas Kelapa Sawit Tahun 2016, dengan mengolah data BPDPKS, menemukan bahwa sekitar 81,8% biaya subsidi mandatori biodiesel diserap oleh empat perusahaan yaitu PT Wilmar Nabati Indonesia (Rp 1,02 triliun), PT Wilmar Bioenergi Indonesia (Rp 779 miliar), PT Musim Mas (Rp 534 miliar) dan PT Darmex Biofuel (Rp 330 miliar).
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan dan Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit
  4. http://kpk.go.id/id/berita/siaran-pers/3932-lemah-tata-kelola-pengelolaan-kelapa-sawit-rawan-korupsi

 

Kontak Media:

  • Asep Komarudin, Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia, +62 813-1072-8770, [email protected]
  • Ester Meryana, Jurukampanye Media Greenpeace, +62 811-1924-090, [email protected]