Kondisi keuangan PT. PLN (Perusahaan Listrik Negara) yang terus disoroti oleh berbagai pihak belakangan ini telah meningkatkan kekhawatiran Kementerian Keuangan. Surat Menteri Keuangan bertanggal 19 September 2017, S-781/MK.08/2017 yang ditujukan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dan Menteri BUMN itu mengungkapkan kondisi finansial dan resiko gagal bayar dari hutang-hutang yang dimiliki PT. PLN ini akan menjadi sebuah risiko besar terhadap keuangan negara.

Buruknya kondisi keuangan PLN saat ini tidak terlepas dari buruknya kebijakan energi yang telah disusun pemerintah. Sejak awal diluncurkan Presiden Jokowi,  program kelistrikan 35.000 MW telah menuai kontroversi. Tahun ini kekhawatiran tersebut terbukti dengan pertumbuhan penjualan listrik yang tidak sesuai target.
“Surat Sri Mulyani menggarisbawahi bahwa PLN  telah salah memperkirakan kenaikan permintaan listrik di Jawa-Bali karena pada kenyataannya permintaan listrik justru cenderung menurun. Kontrak PPA terhadap PLTU-PLTU Batubara ini juga mewajibkan PLN tetap membayar listrik yang tidak terserap oleh konsumen”, ujar Hindun Mulaika, juru kampanye Greenpeace Indonesia.
“Dengan kata lain, batubara bukanlah sumber energi murah, ketergantungan pemerintah terhadap batubara justru mengakibatkan potensi kerugian negara yang sangat besar”
Merujuk pada laporan IEEFA berjudul “Capacity Payments to Coal-fired Power Plants could lock Indonesia into a High-Cost Electricity Future”, tingkat utilisasi saat ini di Jawa-Bali yang berkisar di angka 57,3% masih dapat dinyatakan layak secara finansial. Tetapi apabila rencana penambahan 25.000 MW terlaksana, maka akan terjadi overcapacity yang sangat besar. Apabila hal ini terjadi, maka PLN harus membayar USD 76 milyar untuk pembangkitan listrik yang tak terserap selama beberapa tahun ke depan. [i]
“Harus ada yang membayar kerugian tersebut. Tinggal dipilih, apakah PLN yang akan menanggungnya, di mana tentu saja ini akan menjadi  kerugian besar yang ditanggung negara; atau apakah ini akan dibebankan kepada masyarakat di mana kita akan mengalami tarif dasar listrik yang tinggi di tahun-tahun mendatang”, tambah Hindun.
Oversupply ini juga kerap diakui oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan. Dalam berbagai kesempatan, Menteri Jonan menyatakan bahwa kapasitas yang akan dibangun di Jawa-Bali sudah cukup sehingga Kementerian ESDM  mempertimbangkan pembatasan rencana pembangunan di wilayah tersebut.
Kendati demikian, PLTU Batubara di Jawa yang saat ini masih berada dalam tahapan pra konstruksi layak ditinjau ulang, dan bagi mereka yang sudah memenangi tender namun belum mendapatkan PPA tidak seharusnya dilanjutkan, mengingat permasalahan yang ditimbulkan dari semua aspek, mulai dari kerugian negara, polusi udara dan dampak sosial serta lingkungan.
Greenpeace Indonesia mendesak pemerintah untuk membatalkan seluruh proyek PLTU batubara yang dibangun di Jawa-Bali dalam program 35.000 MW. Beberapa PLTU yang saat ini sedang dalam tahapan pra-konstruksi seperti : PLTU Tanjung Jati B unit 5 dan 6, PLTU Cirebon Ekspansi dan PLTU Indramayu 2, dan PLTU Cilacap Ekspansi harus segera dibatalkan karena bukan saja akan mengakibatkan kerugian negara yang sangat besar, tetapi juga akan mengancam kelestarian lingkungan dan penghidupan masyarakat sekitar PLTU-PLTU tersebut.
Perencanaan ketenagalistrikan Indonesia sebetulnya juga telah gagal melihat bagaimana makin murahnya dan menurunnya harga energi terbarukan, yang juga diikuti oleh perkembangan teknologi, seharusnya dapat dimanfaatkan untuk melakukan intervensi yang maksimal, khususnya di Jawa-Bali yang sistem koneksinya sudah stabil.  
China juga telah mengalami situasi overcapacity 240.000 MW – 499.000 MW dan kerugian yang diperkirakan akan dialami adalah USD 490 milyar di tahun 2020. [ii]“ Kita tentu tidak mau hal tersebut dialami oleh Indonesia di tahun-tahun mendatang, hal itu adalah alokasi anggaran yang jelas salah dan ceroboh dari sebuah rencana keuangan negara, di saat sektor lain seperti pendidikan dan kesehatan lebih layak untuk mendapatkan dukungan”, pungkas Hindun.
 
Kontak :
Hindun Mulaika, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia

[email protected], Telp +628118407113

Rahma Shofiana, Jurukampanye Media Greenpeace Indonesia, Tel +628111461674, Email: [email protected] 

 
 


 

[i] http://ieefa.org/wp-content/uploads/2017/08/Overpaid-and-Underutilized_How-Capacity-Payments-to-Coal-Fired-Power-Plants-Could-Lock-Indonesia-into-a-High-Cost-Electricity-Future-_August2017.pdf
[ii]  http://www.abc.net.au/news/2017-01-05/china-to-spend-$493-billion-on-renewable-fuel-by-2020/8164434