Jakarta, 5 Oktober 2016. Pada pertemuan perdana AirQualityAsia dengan Kaukus Ekonomi Hijau Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia di Gedung Nusantara DPR-RI, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menyoroti berbagai ancaman polusi udara mulai dari kesehatan, meningkatnya biaya ekonomi, hujan asam, hingga kerusakan pada bangunan.
“Greenpeace menyambut positif adanya pembicaraan pertama tentang polusi udara yang terjadi hari ini di gedung DPR/MPR bersama anggota dewan dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, karena jelas polusi udara adalah masalah kita semua,” ungkap Hindun Mulaika, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.
Tetapi Greenpeace juga menekankan pentingnya diskusi yang belum menyoroti dimasukkannya PM 2.5 dalam perhitungan kategori ISPU, dimana Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah memasukkan PM 2.5 sebagai polutan paling berbahaya dengan segala ancaman kesehatan yang serius. Hal ini akan menyebabkan perdebatan mengenai validasi data terus berlangsung karena data pemerintah belum memperhitungkan PM 2.5 tersebut.
“Yang perlu dilakukan selanjutnya untuk mengatasi ini adalah bagaimana pemerintah dan parlemen bersama-sama memperketat standar baku mutu udara ambien di Indonesia yang 3 kali lebih lemah dibandingkan standar Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan kota-kota besar di negara lain. Standar yang dimiliki sekarang lemah dan tidak melindungi rakyat” ungkap Hindun Mulaika, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia
Satya Yudha, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI mengakui bahwa isu polusi udara di Indonesia sudah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan dan bersifat cukup serius sehingga membutuhkan tindakan parlementer yang nyata. Salah satu yang diusulkannya adalah melakukan green budgeting, yaitu menganggarkan intervensi pemerintah untuk mendorong pemantauan emisi dengan lebih presisi dan pemanfaatan energi bersih.
Data hasil pemantauan udara yang dilakukan oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, parameter PM 2.5 harian di sejumlah lokasi tersebut melebihi standar WHO yaitu 25µg/m3 dan juga Baku Mutu Udara Ambien Nasional, yaitu 65µg/m3.
Greenpeace juga berharap bahwa ada penekanan yang nyata dari Senayan kepada Kementrian ESDM, agar pengembangan energi bersih terbarukan harus dipercepat sehingga dapat menggantikan energi kotor dari batubara dan minyak yang saat ini menopang sistem energi dan ketenagalistrikan Indonesia.
Tanggung jawab besar juga berada di pundak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dengan besarnya ekspansi PLTU batubara dalam program ketenagalistrikan 35.000 MW yang menjadi sumber signifikan PM2.5, PM 10 serta polutan berbahaya SOx dan NOx, regulasi emisi PLTU batubara harus diperketat.
“Kita tidak bisa lagi membiarkan Indonesia memiliki regulasi emisi pembangkit yang 7-8 kali lebih lemah dibanding negara-negara lain seperti China, India. Ini adalah ancaman kesehatan yang nyata untuk masyarakat”, pungkas Hindun.

 

Kontak :

Hindun Mulaika, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia [email protected], Telp +628118407113

Rahma Shofiana, Jurukampanye Media Greenpeace Indonesia, Tel +628111461674, Email: [email protected]