Jakarta, 25 Januari 2018. Greenpeace Indonesia menyambut baik hadirnya Instruksi Presiden (Inpres) mengenai moratorium izin perkebunan sawit. Akan tetapi, beleid tersebut hendaknya memuat dua hal penting. Hal pertama yang harus ada di dalam Inpres adalah soal evaluasi izin yang sudah keluar. Pemerintah seharusnya mengevaluasi bukan hanya perizinan yang sedang berproses, tetapi juga perizinan yang sudah diberikan.
Children in the Village of Gibidai. © Greenpeace / Jeremy Sutton-Hibbert

Hingga tahun 2013, masih ada tutupan hutan dengan luas sekitar 37.000 hektar yang berada di dalam konsesi perkebunan sawit. Inpres ini idealnya juga harus melindungi area hutan tersebut. “Tentunya izin yang bermasalah harus dicabut, dan kawasan hutan harus dilindungi,” tegas Ratri Kusumohartono, Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia.

Evaluasi izin juga seharusnya bisa membantu pemerintah dalam merealisasikan Kebijakan Satu Peta, yang seharusnya segera dirilis sebelum masa pemerintahan Presiden Jokowi berakhir. Satu Peta ini juga sangat penting peranannya sebagai efek gentar (deterrence effect) untuk mencegah pembukaan hutan dan lahan gambut secara ilegal, yang menyebabkan kebakaran hutan dan lahan gambut terjadi. Dengan Satu Peta, keberadaan titik api yang kerap berada di wilayah perkebunan sawit, bisa dengan mudah diketahui. Sehingga pemerintah bisa segera menegur hingga memberikan sanksi bagi yang melanggar aturan. [1]

Kedua, Inpres tersebut seharusnya mengatur tidak hanya perizinan perkebunan di kawasan hutan saja, tetapi juga mencakup areal penggunaan lain (APL), termasuk kawasan pangan. Ini penting karena semakin maraknya kawasan pangan yang dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit.

Berbagai penelitian telah menjabarkan bahwa beberapa tahun belakangan ini makin banyak lahan sawah yang dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit khususnya di Sumatera dan Kalimantan [2]. Contohnya seperti di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi. Dalam periode 2006-2014, konversi lahan sawah menjadi perkebunan kelapa sawit di kabupaten tersebut mencapai 15.616 hektar. Perubahan itu awalnya terjadi seiring berlangsungnya Program Satu Juta Hektare Lahan Sawit di tahun 2000. [3]
“Areal kawasan pangan yang semakin berkurang menjadi ancaman nyata bagi ketahanan pangan negara ini. Tentu kita tidak menginginkan kejadian luar biasa gizi buruk seperti di Asmat terjadi di wilayah lainnya,” ujar Ratri.

 

 

Catatan:

  1. Siaran pers mengenai keterbukaan informasi, http://www.greenpeace.org/seasia/id/press/releases/Keterbukaan-Informasi-Publik-Masih-Sekadar-Wacana/
  2. https://www.researchgate.net/publication/280385643_Irigasi_dan_Konversi_Lahan_Sawah
  3. Analisis Faktor Penyebab Alih Fungsi Lahan Sawah Menjadi Sawit di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/index.php/akp/article/view/6021/6421

 

Kontak Media:

  • Ratri Kusumohartono, Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia, +62 811-8003-717,  [email protected]
  • Ester Meryana, Jurukampanye Media Greenpeace Indonesia, +62 811-1924-090, [email protected]