Jakarta, 21 September – Presiden Joko Widodo telah menandatangani kebijakan Moratorium Perizinan Kelapa Sawit dalam Instruksi Presiden (Inpres) No. 8 Tahun 2018, pada Kamis, 20 September. Kebijakan ini membekukan sebagian konsesi kelapa sawit baru selama tiga tahun ke depan[1]. Moratorium hanya berlaku untuk lahan di kawasan hutan yang dikendalikan Kementerian Kehutanan dan tidak mencakup lahan yang dikendalikan oleh pemerintah daerah atau hutan di dalam konsesi kelapa sawit – yang membuat jutaan hektar hutan dan lahan gambut tersebut tidak terlindungi.

Palm Oil Production in Kalimantan. © Daniel Beltrá

Menanggapi kebijakan tersebut, Arie Rompas, Team Leader Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan:

“Moratorium sawit ini merupakan langkah maju tetapi kurang bertaring karena pembekuan hanya sementara, menyisakan jutaan hektar hutan yang tidak terlindungi serta tidak ada sanksi bagi pihak yang melanggar. Industri kelapa sawit Indonesia memiliki masalah reputasi serius yang dapat diperbaiki pemerintah secara menyeluruh, sekali untuk selamanya dengan melarang secara permanen praktek perusakan hutan, termasuk yang ada di dalam konsesi.”

Pengumuman tersebut muncul sehari setelah Greenpeace International meluncurkan hasil investigasi yang mengungkap 25 produsen minyak sawit telah menggunduli 130.000 hektar hutan sejak 2015. Laporan tersebut juga mengungkap deforestasi ilegal, pembangunan tanpa izin, pembangunan lahan sawit tanpa izin, pengembangan perkebunan di daerah-daerah yang dilindungi dan kasus kebakaran yang terkait dengan penggundulan hutan.

Moratorium selama tiga tahun yang mencegah alokasi konsesi kelapa sawit baru di kawasan hutan, di lahan yang dikendalikan pemerintah pusat, masih memiliki sejumlah kelemahan:

  • Moratorium ini tidak mencegah alokasi konsesi baru pada jutaan hektar hutan alam di wilayah alokasi pengunaan lain (APL) yang dikendalikan oleh pemerintah daerah
  • Tidak mencegah praktek penggundulan hutan dan pengembangan lahan gambut di dalam konsesi kelapa sawit yang dilakukan perusahaan[2]
  • Moratorium dalam bentuk Instruksi Presiden, tidak mengikat secara hukum pada lembaga pemerintah atau pejabat setempat
  • Tidak mengandung sanksi bagi pihak yang tidak patuh

Moratorium kelapa sawit baru ini juga bertentangan dengan sejumlah kebijakan lainnya di mana pemerintah tetap menjalankan apa yang disebut ‘deforestasi terencana’, yang tertuang dalam Laporan Status Kehutanan Indonesia  2018 – dimana laporan ini “diinginkan untuk keuntungan finansial.”[3] Melalui program reforma agraria (TORA) dan landswap pemerintah terus mengalokasikan lahan-lahan baru, yang sebagian besar masih berupa hutan, untuk pengembangan perkebunan dan pertanian. Ini termasuk setengah juta hektar hutan yang dialokasikan untuk konversi ke pertanian di perbatasan provinsi Papua[4].

Catatan:

  1. Instruksi Presiden tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit (Inpres 8/2018)https://tinyurl.com/ya2nfwz7
  2. Analisis Greenpeace menemukan sekitar 4 juta hektar hutan di dalam konsesi kelapa sawit yang teridentifikasi, hampir setengahnya di provinsi Papua dan Papua Barat.
  3. Hal 97 (60) State Indonesia Forest 2018 https://tinyurl.com/y8gwpqww
  4. Rencana pembangunan pemerintah pusat untuk provinsi Papua & Papua Barat menyerukan pembebasan kawasan hutan sebesar 550.000ha untuk reforma agraria (TORA) selama 2018-2019. ‘Rencana Aksi Inpres 9/2017’ Bappenas 2018, p.125, Tabel 4.6 poin 17; dan p. 144, Tabel 4.7 poin 15. https://tinyurl.com/ycs8w37h

Kontak Media:

  • Arie Rompas, Team Leader Kampanye Hutan  Greenpeace Indonesia, telp +62-811-5200-822, email [email protected].
  • Rully Yuliardi Achmad, Jurukampanye Media Greenpeace Indonesia, telp +62-811-8334-409, email [email protected].