Jakarta, 6 Desember 2018. Greenpeace Asia Tenggara merilis peringkat pengalengan tuna terbaru setelah mengevaluasi 23 perusahaan pengalengan dan merek dari Filipina, Thailand dan Indonesia berdasarkan komitmen dan kebijakan mereka dalam pemenuhan aspek keberlanjutan, keterbukaan, dan keadilan-etika perikanan. Dalam ‘Sea to Can: 2018 Southeast Asia Canned Tuna Ranking Report (Dari Laut ke Kaleng: Laporan Peringkat Pengalengan Tuna Asia Tenggara 2018)’, hanya lima perusahaan pengalengan yang mencapai peringkat-nilai hijau dan ‘naik kelas’, yaitu: Alliance Select Foods International (Filipina), PT International Alliance Foods Indonesia (Indonesia), PT Samudra Mandiri Sentosa (Indonesia), PT Sinar Pure Foods International (Indonesia), dan Tops Supermarket (Thailand)[1].

Tuna on Purse Seiner in East Pacific Ocean. © Alex Hofford

“Setelah tiga tahun melakukan pendekatan yang proaktif, merek dan perusahaan pengalengan di kawasan Asia Tenggara kini lebih terbuka dan kolaboratif bekerja sama dengan Greenpeace dan konsumen dalam memperbaiki rantai pasok mereka. Tapi, sayangnya, mereka belum cukup cepat melakukan aksi perubahan yang dibutuhkan untuk melindungi lautan dan mendukung perikanan yang lebih bertanggungjawab dan adil,” ujar Arifsyah Nasution, Jurukampanye Laut Greenpeace, untuk Indonesia dan Greenpeace Asia Tenggara.

Tuna terus menjadi salah satu komoditas ikan paling berharga di dunia. Negara-negara Asia Tenggara yakni Thailand, Filipina, Indonesia, dan Vietnam termasuk dalam sepuluh besar eksportir tuna olahan dalam kaleng, keempat negara tersebut menghasilkan USD 3,016 miliar. Pada tahun 2017, total ekspor produk tuna kaleng tercatat sebesar USD 7 miliar[2].

Pada tahun 2015, Greenpeace mulai mengevaluasi sejumlah perusahaan pengalengan tuna dan merek di wilayah Asia Tenggara. Langkah evaluasi dan pemeringkatan ini didorong oleh dampak praktik penangkapan ikan yang ilegal dan merusak serta penangkapan ikan berlebihan terhadap stok tuna global.

Laporan Greenpeace keluar ketika stok tuna secara global mengalami tekanan akibat praktik penangkapan ikan yang merusak dan berlebihan. Penangkapan ikan secara ilegal, tidak tercatat dan tidak diatur (Illegal, Unreported and Unregulated Fishing/IUUF) masih merajalela di wilayah Asia Tenggara. Untuk alasan ini, Uni Eropa–salah satu pengimpor tuna terbesar dari wilayah ini–mengeluarkan sanksi kartu kuning terhadap Thailand pada tahun 2015 dan Vietnam pada tahun 2017 karena gagal memerangi IUUF, dan sanksi tersebut masih tetap berlaku sampai hari ini hingga kedua negara tersebut memenuhi aspek kepatuhan yang ditetapkan oleh Uni Eropa[3].

Peringkat tuna Greenpeace mengevaluasi perusahaan pengalengan dengan melihat tujuh hal dalam proses memperoleh tuna mereka[4]. Perusahaan sangat didorong untuk mendukung penangkapan tuna dengan metode yang lebih bertanggung jawab, seperti huhate (pole and line), pancing (handline), pancing tonda (troll) atau tidak menggunakan rumpon (Fish Aggregating Devices/FADs) terutama untuk kapal jaring lingkar (purse seines).

Tahun 2018 ini, ada beberapa perbaikan penting di sektor ini, yaitu:

  • Semakin banyak perusahaan kini memiliki kebijakan yang lebih ketat dalam ketertelusuran dan keberlanjutan, yang menghasilkan peningkatan pengadaan tuna yang ditangkap secara berkelanjutan, dengan sebelas perusahaan yang menggunakan huhate, dan sebelas perusahaan yang menggunakan kapal jaring tanpa memakai rumpon.
  • Kesadaran yang tinggi terhadap isu-isu perbudakan di laut dan peningkatan langkah-langkah untuk menghindari tuna yang diperoleh dengan melanggar hak asasi manusia dan penyalahgunaan tenaga kerja.
  • Konsumen kini memiliki akses dan informasi lebih banyak terhadap produk, dengan pelabelan yang lebih baik di titik penjualan untuk mengidentifikasi jenis dan bagaimana tuna yang ditangkap.
  • Dialog konstruktif dengan perusahaan tuna besar melalui komunikasi reguler.

Meskipun demikian, menjadi catatan penting bahwa Indonesia dan Filipina masih terus menangkap anakan (juvenile) Tuna Sirip Kuning (Yellowfin) and Tuna Mata Besar (Bigeye) berukuran panjang 20-50 cm, yang umumnya ditangkap dengan armada jaring lingkar (purse seines)[5]. Jika cara penangkapan tersebut masih tidak terkendali, maka akan mengancam serta berdampak buruk terhadap kesehatan stok tuna dan ekosistem laut.

Sejumlah perusahaan pengalengan tuna juga melakukan “standar ganda” dalam hal pengungkapan informasi asal-usul ikan tuna kepada konsumen, yaitu bisa memberikan informasi terbuka atau tertutup sesuai dengan pasar produknya. Untuk itu, Greenpeace mendesak agar seluruh perusahaan pengolahan tuna mulai menerapkan kebijakan pengadaan dan pengungkapan informasi asal-usul ikan yang sama/setara untuk negara manapun di mana produk mereka dipasarkan.

“Transparansi adalah kunci. Ketika kita mengapresiasi dialog yang konstruktif dengan perusahaan-perusahaan pengalengan ini, kami ingin melihat akuntabilitas dan tanggung jawab mereka terhadap konsumen di kawasan Asia Tenggara. Jika tidak ada yang disembunyikan, maka informasi mendasar mengenai produk mereka itu penting untuk dibagikan,” tegas Arifsyah.

Catatan Editor:

  1. Baca: ‘Sea to Can: 2018 Southeast Asia Canned Tuna Ranking Report’ (Dari Laut ke Kaleng: Laporan Peringkat Pengalengan Tuna Asia Tenggara 2018). Laporan dapat diunduh di sini: Tuna Cannery Ranking 2018. Ringkasan eksekutif laporan bisa diunduh di https://www.greenpeace.org/static/planet4-indonesia-stateless/2019/02/217b8e6b-217b8e6b-canned-tuna-ranking-2018-exesummary-and-recommendation.pdf
  2. Peta Perdagangan. 2018. Statistik perdagangan untuk pengembangan bisnis internasional. https://www.trademap.org/
  3. European Commission. 2017. Commission warns Vietnam over insufficient action to fight illegal fishing. http://europa.eu/rapid/press-release_IP-17-4064_en.htm
  4. Secara global, Greenpeace konsisten menggunakan tujuh kriteria untuk menilai perusahaan. Setiap kriteria diberikan bobot yang menunjukkan tingkat kepentingan yang relevan. Kriteria tersebut meliputi: Keberlanjutan (30%), Kebijakan Pengadaan (25%), Ketertelusuran (10%), Legalitas (10%), Akselerasi Perubahan (10%), Keadilan-Etika (7,5%), dan Transparansi dan Informasi Pelanggan (7,5%).
  5. Nilai keseluruhan, yang Baik (hijau), Cukup (kuning), atau Buruk (merah), menunjukkan skor total untuk semua tujuh kriteria tersebut.
  6. Baca: The western and central Pacific tuna fishery: 2016 Overview and status of stocks https://www.wcpfc.int/node/30158

Kontak media:

  • Arifsyah Nasution, Jurukampanye Laut Greenpeace untuk Indonesia dan Asia Tenggara, telp +628111400350, email [email protected].
  • Ester Meryana, Jurukampanye Media Greenpeace Indonesia, telp +628111924090, email [email protected].