Jakarta, 15 Januari 2019. Greenpeace, Auriga, JATAM, ICW, yang tergabung dalam Koalisi #BersihkanIndonesia mendesak para calon presiden untuk mengakhiri praktik korupsi politik di bisnis batu bara. Korupsi politik terkait batu bara dalam berbagai bentuk telah membelenggu pilihan-pilihan energi bersih dan menghalangi hak masyarakat atas udara bersih dan lingkungan yang sehat. Pesan ini ditampilkan dalam sebuah aksi di depan Gedung Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Jakarta.

Coalruption Presidential Candidates Action in Jakarta. © Jurnasyanto Sukarno

Bisnis batu bara semakin besar karena ditunggangi oleh para elite politik. Batu bara bahkan telah menjadi salah satu sumber pendanaan politik terpenting baik di tingkat pusat maupun daerah. [1]  “Korupsi politik di sektor batu bara telah menyebabkan pertumbuhan bisnis komoditas ini berkembang pesat, sehingga kerusakan lingkungan dan dampak sosial yang ditimbulkan pun kian besar dan diabaikan,” ujar Tata Mustasya, Kepala Kampanye Iklim Greenpeace Asia Tenggara.

Dalam sebuah laporan terbaru ‘Coalruption: Elite Politik dalam Pusaran Bisnis Batu bara’’ yang dikeluarkan oleh Greenpeace, Auriga, JATAM, dan ICW, disebutkan bahwa para elite politik banyak terlibat dalam bisnis batu bara. Akhirnya, batu bara pun menjadi sumber pendanaan kampanye politik. Bahkan para pemain batu bara merupakan figur kunci di tim para kandidat di Pemilihan Presiden 2019.

“Korupsi politik, pemilihan kepala daerah, dan pemilihan umum hanya menjadi ajang merebut kuasa dan jabatan serta menangguk kekayaan. Pesta demokrasi lima tahunan ini juga menjadi kesempatan bagi para pebisnis batu bara melakukan praktik ijon politik untuk mendapatkan jaminan politik demi melanggengkan usaha mereka di daerah,” kata Kepala Pengkampanye JATAM Melky Nahar.

Padahal batu bara merupakan sumber energi kotor, di mana banyak negara justru berlomba untuk mengurangi porsinya. Tetapi tidak dengan Indonesia, di mana sektor pertambangan batu bara justru masih mendapat tempat dalam bauran energi nasional. Dalam peta jalan Kebijakan Energi Nasional, porsi batu bara sekitar 30 persen pada tahun 2025. [2] PLTU batu bara juga memiliki porsi sekitar 60 persen dalam proyek ekspansi listrik ambisius 35 GW. Produksi batu bara pun terus meningkat hingga melampaui 500 juta ton di 2018, jauh di atas target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 untuk menurunkan produksi hingga 406 juta ton pada tahun lalu.

“Aliran dana dari pengusaha batu bara dalam perhelatan demokrasi akan menyandera pemenang pemilu untuk berpihak pada keuntungan bisnis semata, dan abai pada keberlanjutan. Bahkan kebijakan-kebijakan yang dibuat akan memudahkan bisnis ini, meski lebih banyak dampak buruknya bagi negara,” ujar Iqbal Damanik, peneliti Auriga.

Ketergantungan Indonesia terhadap energi kotor ini sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan. Pendanaan kampanye dari korupsi politik juga akan merusak demokrasi Indonesia. Oleh sebab itu, pemangku kepentingan salah satunya Bawaslu harus mendorong melakukan pengawasan terhadap pendanaan kampanye kandidat calon presiden dan partai politik. Pemilih juga harus mendorong para kandidat calon presiden menjauh dari batu bara dan mendorong penggunaan energi bersih dan terbarukan.

Link Photo:

https://media.greenpeace.org/shoot/27MZIFJWCNFSG

Catatan:

  1. Laporan Coalruption: Elite Politik dalam Pusaran Bisnis Batu bara https://www.greenpeace.org/static/planet4-indonesia-stateless/2019/02/23752c04-23752c04-coalruption_indonesia_web.pdf
  2. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20180509092041-92-296811/batu-bara-tetap-jadi-sumber-energi-utama-hingga-2050

Kontak Media:

  • Melky Nahar, Kepala Pengkampanye JATAM, telp 081319789181
  • Iqbal Damanik, peneliti Auriga, telp 08114445026
  • Tata Mustasya, Kepala Kampanye Iklim Greenpeace Asia Tenggara, telp 08129626997
  • Ester Meryana, Jurukampanye Media Greenpeace Indonesia, telp 08111924090