Jakarta, 14 Maret 2018. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral telah menyetujui Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik 2018-2027 (RUPTL), yang merupakan rencana pembangunan listrik untuk 10 tahun PT. PLN (Persero).

RUPTL baru menunjukkan ada 56.024 MW pembangkit listrik yang perlu dibangun, atau berkurang sejumlah 21.849 MW dibandingkan dengan RUPTL lama untuk menyesuaikan penurunan permintaan listrik.

Komposisi produksi listrik yang diproyeksikan di Indonesia dalam RUPTL yang baru adalah: 54,4% dari batubara; 22,2% dari gas (termasuk LNG); 23% dari sumber terbarukan; dan 0,4% dari bahan bakar diesel.

Fishing Boat near Cilacap Coal Power Plant. © Ardiles Rante

Nelayan di Sungai Serayu dekat PLTU batu bara Cilacap yang telah mencemari perairan sekitar dan berdampak pada pendapatan masyarakat karena berkurangnya tangkapan.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral,  Ignatius Jonan, mengatakan bahwa ada pengurangan 5.000 MW pembangkit listrik tenaga batubara. Namun, dalam hal porsi campuran energi, menunjukkan bahwa porsi batubara meningkat menjadi 54,4% dibandingkan dengan RUPTL sebelumnya, yaitu hanya 50,4%.

Pengurangan yang lebih besar terjadi pada energi terbarukan, khususnya rencana pembangkit listrik tenaga air 5.000 MW dan pembangkit listrik tenaga panas bumi sebesar 1.700 MW. Sementara itu, pangsa energi terbarukan lainnya, termasuk solar, biomassa, dan angin, meningkat dari 1.200 MW menjadi 2.000 MW.

Hindun Mulaika selaku Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia mengatakan, “Pengurangan tenaga batu bara ini tidak cukup untuk mencegah bencana pencemaran udara dan melindungi konsumen dari kenaikan harga energi. Seperti yang bisa kita lihat, batubara masih mendominasi listrik kita sebesar 54,4%. “

Hindun menambahkan, “Jonan adalah pemikir inovatif dan kami mengharapkannya untuk membawa sektor energi Indonesia ke depan dan tidak terkunci dalam teknologi lama seperti batu bara. Saat ini, banyak negara lain seperti India, China, dan bahkan Arab Saudi telah mengubah arah investasinya untuk energi terbarukan, sementara Indonesia masih mengandalkan lebih dari 50% sumber listriknya untuk batubara. “

Yang tidak kalah penting, di RUPTL yang baru, PLN mengulangi kesalahan lamanya yaitu memperkirakan pertumbuhan permintaan yang berlebihan yang menyebabkan kelebihan kapasitas saat ini, hingga membuat anggaran negara berisiko. Pertumbuhan permintaan diproyeksikan sebesar 6,86% masih terlalu tinggi bila mengingat pertumbuhan permintaan rata-rata 4,4% dalam lima tahun terakhir. Dengan fakta bahwa pengurangan batubara hanya 5.000 MW atau kurang dari permintaan koalisi BreakFree -13.000 MW dari pembatalan pembangkit batubara baru, dapat diasumsikan bahwa tidak cukup menjawab masalah kapasitas berlebih di jaringan Jawa-Bali.

RUPTL baru ini juga dapat dikatakan tidak akan membantu PLN dalam mengatasi krisis keuangannya. Hal ini dikarenakan masih terdapat investasi yang sangat signifikan pada batubara pada RUPTL ini di saat PLN pun sedang kesulitan menghadapi banyaknya pinjaman dan obligasi yang harus dilunasi. Dengan demikian, untuk mengatasi krisis keuangan ini, PLN tentunya membutuhkan suntikan dana dari pemerintah secara berkelanjutan dan juga menaikkan tarif listrik untuk konsumennya.

“RUPTL ini merupakan kemenangan industri batubara karena mendapat keuntungan dari polusi udara dan kenaikan harga listrik. PLN sekali lagi telah membiarkan masyarakat menanggung dampak kesehatan dari polusi udara, menyia-nyiakan modal dan subsidi untuk pembangkit batubara yang tidak dibutuhkan” kata Hindun.

Catatan :

[1] https://katadata.co.id/berita/2018/03/13/ruptl-2018-2027-disetujui-jonan-pangkas-jumlah-pembangkit-listrik 

[2] https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/fact-sheet-rencana-usaha-penyediaan-tenaga-listrik-ruptl-2018-2027-yang-disetujui-pemerintah 

Kontak media :

  • Hindun Mulaika, Jurukampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Tel 0811 8407 113, email [email protected]
  • Rahma Shofiana, Jurukampanye Media Greenpeace Indonesia, Tel 0811 1461 674, email [email protected]