Jakarta 23 April 2025. Krisis plastik merupakan ancaman global yang semakin mendesak untuk segera ditangani. Data dari United Nations Environment Programme (UNEP, 2023) mencatat bahwa lebih dari 430 juta ton plastik diproduksi setiap tahunnya. Namun, hanya sebagian kecil yang dikelola secara berkelanjutan. Menurut laporan OECD (2022), hanya 9% limbah plastik global yang berhasil didaur ulang, sementara 12% dibakar dan hampir 80% sisanya berakhir mencemari lingkungan, dari daratan hingga lautan.
Di tengah urgensi tersebut, penahanan berkepanjangan terhadap lima aktivis Greenpeace di Korea Selatan sejak November 2024 menimbulkan keprihatinan mendalam terhadap kebebasan sipil dan nilai-nilai demokrasi. Hampir lima bulan berlalu sejak mereka melakukan aksi damai, namun hingga kini kelima aktivis tersebut masih dikenakan larangan bepergian dan belum dapat meninggalkan Korea Selatan.

Greenpeace bekerja sama dengan #WeAreWatching oleh seniman Dan Acher untuk menuntut tindakan berani.
Dari 25 November hingga 1 Desember 2024, para pemimpin dunia akan bertemu di Busan, Korea Selatan untuk putaran negosiasi kelima dan terakhir Perjanjian Plastik Global – kesempatan sekali dalam satu generasi untuk menyelesaikan krisis plastik. © Greenpeace / Sungwoo Lee
Kelima aktivis ditahan usai melakukan aksi damai di kapal tanker yang akan mengangkut propylene, salah satu bahan utama pembuatan plastik yang terbuat dari bahan bakar fosil, di kompleks penyulingan Hyundai Daesan, Korea Selatan pada 30 November 2024. Aksi ini merupakan bagian dari tur Rainbow Warrior bertajuk “Sailing for Change: The Plastic Free Future Tour”, yang menyerukan penghentian produksi plastik sekali pakai serta mendesak para pemimpin dunia untuk mengambil langkah nyata dalam menghentikan polusi plastik.
Aksi tersebut dilakukan bersamaan dengan sesi kelima Komite Negosiasi Antarpemerintah (INC5) di Busan, Korea Selatan, yang tengah merumuskan Perjanjian Global PBB untuk Mengakhiri Polusi Plastik. Alih-alih didengar, para aktivis justru dibatasi kebebasannya hingga hari ini.
Sikap pemerintah Korea Selatan ini mencederai semangat demokrasi dan melukai hak publik untuk menyuarakan kepedulian terhadap krisis iklim dan lingkungan.
Sebagai bentuk solidaritas, Greenpeace Indonesia menggelar aksi damai pada Rabu pagi (23/04) di depan Kedutaan Besar Korea Selatan di Jakarta. Aksi ini membawa pesan tegas: bebaskan para aktivis, dan hormati hak kebebasan berekspresi sebagai bagian tak terpisahkan dari demokrasi. Dalam aksi tersebut, Greenpeace juga menyerahkan surat resmi yang ditujukan untuk Duta Besar Korea Selatan untuk Indonesia beserta perwakilannya yang berisi tuntutan pencabutan larangan perjalanan dan pemulangan segera kelima aktivis ke negara asal mereka.
“Menahan aktivis lingkungan selama berbulan-bulan karena aksi damai adalah sinyal bahaya bagi demokrasi. Ini bukan hanya soal keadilan individu, tapi juga tentang bagaimana kebebasan berekspresi, terutama untuk isu iklim dan lingkungan, secara ironis diperlakukan di salah satu negara dengan indeks demokrasi tertinggi di dunia,” ujar Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia.
“Memperjuangkan masa depan yang bersih dan adil bukanlah kejahatan. Korea Selatan harus segera membebaskan mereka, dan menunjukkan bahwa komitmennya terhadap demokrasi dan hak asasi manusia bukan sekadar retorika,” tegas Leonard.
Narahubung:
Ibar Akbar – Juru Kampanye Isu Perkotaan dan Sampah (081225723998)
Rahka Susanto – Juru Kampanye Komunikasi (08111098815)
Tentang Greenpeace
Greenpeace adalah organisasi masyarakat sipil yang berkampanye secara independen dan fokus pada perjuangan lingkungan hidup dan keadilan sosial. Sebagai lembaga yang tidak menerima sumbangan dari perusahaan atau pemerintah mana pun, Greenpeace mempertahankan kebebasan dan integritasnya untuk bertindak tanpa adanya pengaruh eksternal. Semua pendanaannya berasal dari dukungan individu dan donor yang memiliki komitmen untuk melindungi planet ini. Greenpeace berjuang untuk mengatasi isu-isu lingkungan besar, seperti perubahan iklim, polusi plastik, dan pelestarian keanekaragaman hayati, dengan cara-cara yang kreatif dan berdampak, serta selalu mengedepankan prinsip non-kekerasan dalam setiap aksinya.