Primary Forest in Papua. © Ulet  Ifansasti / Greenpeace
Fog on primary forest near the river Digul in southern Papua. © Ulet Ifansasti / Greenpeace

Sudah lima tahun pemerintah memiliki peraturan presiden tentang penerima manfaat atau beneficial owner, yakni Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat Korporasi Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Di satu sisi, ini aturan yang penting untuk mendorong keterbukaan informasi oleh korporasi di Indonesia.

Namun setelah lima tahun berlalu, keberadaan Perpres Penerima Manfaat tersebut ternyata tak cukup kuat memastikan transparansi oleh industri. Hasil studi Greenpeace menemukan, korporasi masih dapat ‘menyembunyikan pemilik manfaat akhir mereka kendati menjalankan kewajiban pelaporan tentang penerima manfaat. Tiga studi kasus terkait dengan akurasi informasi pemilik manfaat yang dilaporkan Grup DTK Opportunity, Grup Digoel Agri, dan Grup FAP Agri mengkonfirmasi hal tersebut. 

Mengetahui penerima manfaat korporasi penting bukan hanya demi keterbukaan informasi, tapi sekaligus untuk meminta pertanggungjawaban manakala terjadi pelanggaran atau kerusakan lingkungan. Beberapa perusahaan di bawah tiga grup usaha yang menjadi contoh kasus dalam laporan ini memiliki sejarah kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak-hak masyarakat.

Keterbukaan informasi tentang penerima manfaat korporasi tersebut makin krusial jika menyangkut politically exposed person (PEP), sebab bisa jadi bersinggungan dengan konflik kepentingan. Dalam kasus kriminalisasi Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar, misalnya, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mulanya membantah ‘bermain tambang emas’ di Papua lewat PT Tobacom Del Mandiri. 

Dalam putusannya, hakim menyatakan bahwa Luhut adalah penerima manfaat dari PT Tobacom Del Mandiri, lewat perusahaan yang bernama PT Toba Bara Sejahtera. PT Toba Bara, yang 99 persen sahamnya dimiliki Luhut, adalah penerima manfaat dari PT Tobacom Del Mandiri.

Luasnya cakupan definisi penerima manfaat korporasi membuat korporasi leluasa untuk tidak melaporkan seluruh pemilik manfaat atau hanya melaporkan yang memenuhi salah satu kriteria yang paling mudah. Praktik pinjam nama atau nominee agreement juga ditengarai sering digunakan untuk mengelabui norma pelaporan pemilik manfaat.

Di sisi lain, belum ada kewajiban bagi pemerintah untuk melakukan uji akurasi dari sumber informasi yang relevan. Ini juga menjadi kelemahan mekanisme pelaporan penerima manfaat yang ada sekarang. Maka dari itu, pemerintah perlu memperkuat kebijakan deklarasi penerima manfaat yang berlaku saat ini. Misalnya dengan membuat aturan pelaksana yang secara teknis dapat memverifikasi nama-nama yang diajukan sebagai penerima manfaat, hingga menjalin kerja sama antar-kementerian/lembaga dan masyarakat agar bisa menutup celah-celah yang selama ini digunakan korporasi ‘nakal’.

Selengkapnya dalam laporan Pura-Pura Buka Data.