Dari sisi hukum, pelindungan terhadap pelaut awak kapal dan pelaut perikanan yang bekerja atau dipekerjakan di luar negeri masih jauh dari harapan. Sejauh ini, mereka hanya dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI). UU tersebut belum memiliki peraturan turunan.

Keberadaan peraturan yang lebih detail terkait penempatan dan pelindungan terhadap Pekerja Migran Indonesia pelaut awak kapal dan pelaut perikanan sangat penting, untuk menjadi tolok ukur bagi mereka mulai dari proses perekrutan, ketika bekerja di atas kapal, hingga pasca melaut. Apabila mereka menemui adanya kondisi yang tidak sesuai dengan prosedur, mereka pun tahu jalur pengaduan dan pihak yang bisa memberikan solusi.

“Sesuai UU 39/2004 yang kini telah diganti oleh UU PPMI dan mengacu pada Pasal 19 ayat (6) PP No. 7/2000 tentang Kepelautan, Kementerian Ketenagakerjaan sebenarnya telah diberikan mandat untuk menerbitkan peraturan atau keputusan menteri terkait dengan tata cara penempatan tenaga kerja pelaut yang bekerja di kapal berbendera asing di luar negeri, baik di sektor kapal niaga maupun di sektor kapal penangkap ikan. Akan tetapi mandat-mandat tersebut tidak dilaksanakan oleh kementerian hingga saat ini,” ujar Annisa Erou, Legal Researcher Greenpeace Indonesia, dalam acara diskusi bertajuk Perbudakan Modern Dalam Industri Perikanan Kita yang diadakan dalam rangka peluncuran legal briefer ‘Memahami Kerangka Undang-Undang 18 Tahun 2007 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia’. [1][2].

“Kami sangat prihatin dan menyesalkan pemerintah lagi-lagi lalai, sehingga gagal dalam mengesahkan tepat waktu sejumlah aturan pelaksana yang dimandatkan oleh UU 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI). Seharusnya semua aturan turunan, termasuk yang mengatur lebih rinci tata laksana pelindungan awak kapal sudah disahkan pada November 2019, yaitu dua tahun sejak UU PPMI ditetapkan. Kami menduga kuat hal ini dikarenakan adanya hambatan birokrasi dan ego lembaga yang sangat serius, sehingga mengakibatkan molornya penerbitan peraturan pelaksanaan UU PPMI itu,” ujar Hariyanto, Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI).

“Kami menghimbau kepada Pemerintah khususnya Kemenaker untuk secara masif mensosialisasikan UU PPMI jo Permenaker 10/2019 kepada setiap P3MI khususnya Keagenan Awak Kapal (Ship Manning Agency) agar mereka mematuhi regulasi tersebut demi pelindungan terhadap PMI Awak Kapal. Selama ini, bila terjadi sengketa industrial banyak kasus yang tidak selesai (hak awak kapal tidak dibayar) akibat tidak kooperatifnya perusahaan, serta tidak adanya deposito perusahaan yang bisa dijadikan jaminan untuk membayar hak-hak PMI yang telah dirugikan,” ucap Imam Syafi’i, Ketua Advokasi, Hukum & HAM DPP SP Pergerakan Pelaut Indonesia.

Imam menambahkan, peran dari perwakilan pemerintah Indonesia di luar negeri juga perlu diperkuat, untuk memberitahukan kepada setiap perusahaan di luar negeri yang berniat untuk merekrut dan mempekerjakan PMI pelaut awak kapal dan pelaut perikanan agar bisa menunjuk perusahaan penempatan pekerja migran (P3MI) di Indonesia yang telah memenuhi atau melaksanakan ketentuan UU PPMI jo. Permenaker 10/2019.

Demi melindungi PMI pelaut awak kapal dan pelaut perikanan, maka hal terdekat dan terpenting yang perlu dilakukan pemerintah adalah segera menyusun peraturan turunan UU PPMI khususnya PP Penempatan dan Pelindungan Pelaut Awak Kapal dan Pelaut Perikanan. Penyusunan beleid tersebut harus dilakukan secara terbuka dan partisipatif dengan melibatkan masyarakat, serikat buruh dan organisasi Pekerja Migran Indonesia di masing-masing sektor.

Unduh laporan

Catatan:

[1] Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2000 tentang Kepelautan (PP Kepelautan).

Briefer ini adalah rangkaian dari laporan Ketika Laut Menjerat: Perjalanan Menuju Perbudakan Modern di Laut Lepas yang dirilis akhir tahun 2019.