Sektor pariwisata Indonesia memiliki peran besar bagi perekonomian Indonesia, di mana sektor ini merupakan lima besar penyumbang devisa negara selama tiga tahun terakhir. Bali sebagai ikon pariwisata Indonesia telah menarik 5.6 juta wisatawan mancanegara atau lebih dari 50% dari wisatawan mancanegara yang masuk ke Indonesia pada tahun 2017[1]. Provinsi Bali sangat bergantung pada sektor ini.

Open Boat Rainbow Warrior in Bali. © Jurnasyanto Sukarno

Sektor pariwisata menyumbang 67% dari total pendapatan domestik regional bruto (PDRB) Provinsi Bali dengan 70% masyarakatnya bergantung pada industri pariwisata. Pemerintah Provinsi Bali juga memiliki visi menjadikan Bali sebagai tempat eco green tourism, mengutamakan konservasi alam dan nilai budaya masyarakat sebagai penunjang utama sektor pariwisata Bali. Bali juga telah dinobatkan menjadi center for the development of clean energy di Indonesia oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada tahun 2015. Bali akan dijadikan proyek percontohan bagi provinsi lainnya sebagai pusat penelitian energi terbarukan dan diharapkan dapat menjadi provinsi pertama yang memproduksi energi bersih rendah emisi karbon.

Dibanding sektor ekonomi lainnya, sektor pariwisata memerlukan daya dukung lingkungan secara langsung. Kualitas udara yang baik, misalnya, merupakan hal mendasar yang harus dipenuhi untuk perkembangan pariwisata Bali. Salah satu hal yang harus dilakukan adalah mengembangkan penggunaan energi bersih dan terbarukan dalam memenuhi kebutuhan listrik untuk menggantikan energi fosil, seperti batubara, yang merusak dan mencemari lingkungan. Lebih jauh lagi, penggunaan energi bersih dan terbarukan ini dapat menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat Bali dan menjadi nilai tambah dalam promosi pariwisata Bali.

Bali memiliki potensi energi bersih yang sangat besar, terutama energi matahari, untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakatnya. Berdasarkan beberapa penelitian, Bali memiliki potensi energi surya yang sangat tinggi dikarenakan letak geografis dan kondisi cuacanya.

Kondisi kelistrikan Provinsi Bali

Berdasarkan data RUPTL 2018 – 2017, beban puncak sistem tenaga listrik provinsi Bali tertinggi pada tahun 2017 mencapai 825 MW, yaitu pada bulan November. Daya yang dipasok dari kabel laut Jawa-Bali yang berasal dari PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) batubara Paiton sebesar 400MW. Sedangkan daya sebesar 1,042 MW dipasok untuk pembangkit 150kV berasal dari pembangkit BBM 408 MW, pembangkit LNG/BBM 208 MW, dan PLTU batubara Celukan Bawang eksisting, yaitu sebesar 426 MW. Dengan daya mampu dari pembangkit eksisting sebesar 1,284 MW.

Selain itu, sumber listrik Provinsi Bali saat ini masih sangat bergantung pada brown energy, yaitu bahan bakar fosil yang mencemari lingkungan. Sementara itu, hanya ada dua pembangkit listrik di Provinsi Bali yang memanfaatkan energi bersih dan masih dalam kapasitas yang sangat kecil, yaitu PLTB (pembangkit listrik tenaga bayu) dengan kapasitas 0.75 MW dan PLTS (pembangkit listrik tenaga surya) dengan kapasitas 0.03 MW[2].

Proyeksi kebutuhan listrik Provinsi Bali

Berdasarkan perhitungan PLN, proyeksi kebutuhan listrik Provinsi Bali akan mengalami pertumbuhan sekitar 6.83% per tahun (dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 5.78% per tahun), atau mencapai 10,014 GWh per tahun pada tahun 2027. Sedangkan, beban puncak Provinsi Bali, yaitu titik tertinggi dari permintaan listrik yang dipetakan PLN pada jam 17.00 hingga 22.00, diperkirakan akan mencapai 1,679 MW pada tahun 2027.

Potensi energi surya di Provinsi Bali

Bali telah dinobatkan menjadi center for the development of clean energy di Indonesia oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada tahun 2015. Bali akan dijadikan proyek percontohan bagi provinsi lainnya sebagai pusat penelitian energi terbarukan dan diharapkan dapat menjadi provinsi pertama yang memproduksi energi bersih rendah emisi karbon dalam waktu tiga tahun.

Berkaitan dengan energi surya sebagai salah satu alternatif energi bersih, PLN telah mengidentifikasi beberapa potensi pembangkit tenaga surya yang dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan sistem kelistrikan di Provinsi Bali, yaitu PLTS Negara, PLTS Amlapura, dan PLTS Kubu, dengan kapasitas masing-masing pembangkit adalah 100 MW[3].

Namun di luar potensi yang telah dipetakan oleh PLN, Provinsi Bali ternyata memiliki potensi energi surya yang sangat tinggi dan dapat mencukupi kebutuhan listrik penduduknya. Berikut beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk mengidentifikasi potensi energi surya di Provinsi Bali.

  • Bali termasuk wilayah bagian timur Indonesia yang memiliki potensi energi surya tertinggi dan sangat potensial untuk dijadikan sistem pembangkit energi listrik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Rumbayan, M., et al. (2012) [4], Bali memiliki cuaca cerah selama 12 jam di siang hari dan stabil sepanjang tahun dengan radiasi matahari rata-rata yang tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya, yaitu sebesar 5,3 kWh/m2 per hari.
  • Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sah, B.P. dan Wijayatunga, P. (2017) dalam Asian Development Bank Sustainable Environment Working Paper Series[5], Bali memiliki iradiasi solar berkisar 1,490 hingga 1,776 kWh/m2/tahun, atau melebihi standar yang diberlakukan di Eropa untuk kelayakan proyek energi surya, yaitu 900 kWh/m2/tahun. Dengan menggunakan sistem permodelan pemetaan, dapat diketahui bahwa total potensi energi surya di Provinsi Bali dapat mencapai 113,436.5 GWh per tahun, di mana jauh melebihi jumlah permintaan energi penduduknya pada tahun 2027, yaitu 10,014 GWh per tahun.
  • Dibandingkan energi bersih lainnya, energi solar di Provinsi Bali memiliki potensi yang paling tinggi, yaitu sekitar 98% dari total potensi energi bersih yang terdapat di Bali. Terdapat dua kabupaten yang dinilai paling potensial untuk mengembangkan energi surya, yaitu Kabupaten Buleleng dan Kabupaten Klungkung yang memiliki 52% dari total potensi energi surya di Bali, dengan kapasitas mencapai 59,000 GWh per tahun.
  • Selanjutnya, dengan menggunakan metode perhitungan guna lahan dan pertimbangan ekonomis lebih rinci yang dilakukan oleh Syanalia, A. (2018)[6], terdapat dua skenario pemanfaatan lahan di Provinsi Bali untuk pemasangan energi surya, yaitu dengan skenario minimum dengan pemanfaat lahan seluas 273 km2 dan skenario maksimum dengan pemanfaat lahan seluas 453 km2. Dengan luas lahan tersebut, Bali memiliki potensi energi surya sebesar 32,000 GWh hingga 53,300 GWh per tahun dengan menggunakan solar PV jenis thin-film silicon sebagai opsi termurah. Dengan kata lain, potensi energi surya tersebut telah jauh melebihi kebutuhan listrik di Provinsi Bali pada tahun 2027, yaitu 10,014 GWh per tahun.

Penggunaan energi surya pada masing-masing skenario tersebut untuk mencapai kebutuhan listrik di tahun 2027 akan mengurangi emisi karbon sebesar 6 hingga 8 juta ton CO2.

Potensi listrik surya atap di Provinsi Bali

Pemasangan panel surya atau solar PV dapat dilakukan melalui sistem solar farm atau pembangkit skala besar, baik on-grid maupun off-grid, dan pemasangan listrik surya atap pada bangunan komersial atau perumahan. Di daerah perkotaan seperti Denpasar, pemasangan listrik surya atap memiliki potensi besar, terutama untuk dipasang pada bangunan industri dan komersial dengan atap beton, seperti bangunan hotel, gudang, pabrik, sekolah, dan bangunan publik lainnya.

Dengan luas area perumahan dan komersial di Bali mencapai 488 km2, dan asumsi bahwa pemasangan surya atap dilakukan pada 10% luas wilayah tersebut, yaitu 48.8 km2, maka energi surya yang dapat dihasilkan adalah 5,700 GWh per tahun[7]. Atau dengan kata lain, hampir 40% kebutuhan listrik Provinsi Bali di tahun 2027.

Perbandingan harga listrik energi surya dengan energi konvensional

Secara global, biaya pembangkitan (levelized cost of electricity: LCOE) energi terbarukan, khususnya energi surya, telah mengalami penurunan secara signifikan, yaitu sebesar 73% dari tahun 2010[8]. Saat ini, biaya pembangkitan energi terbarukan sudah dapat menyaingi biaya pembangkitan batubara, bahkan dengan mengabaikan subsidi yang selama ini diberikan pada energi batubara (Gambar 3). Dengan menggunakan teknologi yang sudah matang, maka biaya pembangkitan batubara tersebut tidak akan menurun secara signifikan ke depannya. Di sisi lain, teknologi energi terbarukan yang masih berkembang hingga saat ini dapat menekan biaya pembangkitan menjadi lebih rendah di masa yang akan datang.

Di Indonesia sendiri, harga energi listrik yang dihasilkan oleh energi surya dan energi konvensional, seperti energi batubara, saat ini makin bersaing. Dengan melakukan perhitungan biaya amortisasi per kWh energi yang dihasilkan oleh energi surya selama lebih dari 20 tahun, maka harga listrik yang dihasilkan adalah Rp 800/kWh. Harga ini 45% lebih murah dibandingkan tarif dasar listrik (TDL) yang diberlakukan PLN saat ini dan diperkirakan akan mengalami kenaikan di kemudian hari.

Potensi penciptaan lapangan kerja dari listrik energi surya

Studi secara global telah membuktikan bahwa industri energi surya memberikan dampak ekonomi dan penciptaan lapangan kerja cukup signifikan. Berdasarkan hasil studi, bagian hilir dari industri energi surya, seperti aspek teknik, instalasi, operasi, dan pemeliharaan panel surya, akan menciptakan lebih banyak lapangan kerja dan memiliki dampak ekonomi yang lebih tinggi daripada bagian hulu industri panel surya.

Panel surya telah menciptakan jumlah pekerjaan terbanyak dibandingkan dengan sumber energi terbarukan lainnya, mencapai sekitar 3.1 juta pekerjaan di seluruh dunia (Gambar 4). Hal ini merupakan peningkatan 12 persen dari penciptaan lapangan kerja pada tahun 2015 dan akan terus meningkat (IRENA, 2017). Panel surya menciptakan sebanyak 10 pekerjaan/MW, jauh lebih tinggi daripada tenaga batubara yang hanya menciptakan 1 pekerjaan/MW. Dengan kata lain, untuk memenuhi seluruh kebutuhan listrik Bali pada tahun 2027, akan tercipta lebih kurang 10,000 pekerjaan baru jika penambahan kapasitas listrik tersebut akan dipenuhi dengan menggunakan energi surya. Pemerintah Provinsi Bali tentunya akan dapat mengurangi angka pengangguran yang saat ini mencapai 22,345 orang[9].

Mekanisme pendukung yang dibutuhkan untuk energi surya di Provinsi Bali

Penggunaan energi matahari sebagai salah satu energi bersih dan terbarukan akan mendorong pembangunan berkelanjutan di Bali, yang pada akhirnya akan menumbuhkan sektor pariwisata dan perekonomian Bali. Lebih jauh lagi, energi surya dan energi terbarukan lainnya, seperti energi angin, dapat menjadi daya tarik pariwisata tambahan untuk Bali.

Untuk memanfaatkan potensi energi surya untuk Bali, terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan:

Oleh Pemerintah Pusat:

  • Membuat kebijakan dan peraturan yang mendukung pengembangan energi surya

Saat ini, peraturan nasional untuk pemanfaatan listrik surya masih sangat sedikit dan belum dapat menunjang pengembangan energi surya. Di antaranya adalah Permen ESDM No. 1/2017 yang memberlakukan pembatasan kapasitas maksimum, yaitu 30 kWp, sebelum dikenai biaya operasi paralel. Selain itu, Permen ESDM No. 50/2017 juga dinilai sebagai penghambat karena memberlakukan ketentuan harga beli yang menggunakan referensi biaya pokok pembiayaan (BPP) sehingga menyebabkan proyek energi terbarukan tidak bankable. Oleh karena itu, dukungan Pemerintah sangat dibutuhkan melalui pembuatan kebijakan dan peraturan yang mendukung penggunaan energi surya sehingga dapat menciptakan iklim investasi dan pasar yang lebih baik.

  • Mempersiapkan mekanisme finansial dan insentif untuk mendukung pemanfaatan energi surya

Masyarakat sebagai konsumen memerlukan dukungan kebijakan pemerintah, terutama untuk biaya awal pemasangan atap surya. Hal ini selanjutnya akan menciptakan pasar baru dan skala keekonomian bagi produsen atap surya, misalnya dengan menciptakan kebijakan yang memfasilitasi pinjaman bank dengan bunga rendah yang dapat diakses oleh pengembang dan pengguna energi surya.

Oleh pemerintah provinsi, kabupaten dan kota:

  • Membuat peraturan di tingkat daerah, misalnya dalam bentuk peraturan daerah (perda) dan peraturan gubernur (pergub), untuk menciptakan permintaan dan pasar energi surya

Pemerintah Provinsi Bali dapat membuat peraturan pendukung untuk mewujudkan Bali sebagai center for the development of clean energy di Indonesia, seperti perda atau pergub mengenai bangunan hijau yang mewajibkan bangunan komersial untuk memanfaatkan sebagian area atapnya untuk pemasangan solar panel dengan pemberian insentif. Peraturan seperti ini telah diterapkan oleh Perancis dan beberapa kota di US, seperti San Francisco, California, Santa Monica, Culver City, Lancaster, dan Sebastopol.

Oleh pemerintah pusat bersama pemerintah provinsi, kabupaten dan kota:

  • Bersama para pemangku kepentingan lainnya, mengelola pusat energi terbarukan untuk mengeksplorasi potensi dan menginisiasi pemanfaatan energi surya di Bali

Untuk mewujudkan Bali sebagai center for the development of clean energy di Indonesia, pemerintah dapat membuat pusat energi terbarukan di Bali yang berfungsi menyediakan data dan informasi mengenai potensi energi terbarukan di pulau ini sekaligus menginisiasi pemanfaatan energi terbarukan tersebut. Selain itu, institusi ini juga dapat melakukan penelitian pengembangan energi terbarukan, seperti memastikan kesiapan interkoneksi grid di Bali, serta membantu persiapan proyek-proyek energi terbarukan di Bali. Pemerintah harus melakukan hal ini bersama pemangku kepentingan lainnya, seperti sektor swasta, organisasi masyarakat sipil, lembaga penelitian, dan universitas.

Unduh Briefer:

https://www.greenpeace.org/static/planet4-indonesia-stateless/2019/02/b0555cbf-b0555cbf-draft-briefer-matahari-untuk-bali-final.pdf


[2] RUPTL 2018-2027.
[3] RUPTL 2018-2027.
[4] Rumbayan, M., Abudureyimu, A. and Nagasaka, K., 2012. Mapping of solar energy potential in Indonesia using artificial neural network and geographical information system. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 16(3), pp.1437-1449.
[5] Sah, B.P. and Wijayatunga, P., 2017. Geographic Information System-Based Decision Support System for Renewable Energy Development: An Indonesian Case Study.
[6] Syanalia, A. and Winata, F., 2018. Decarbonizing Energy in Bali with Solar Photovoltaic: GIS-Based Evaluation on Grid-Connected System. Indonesian Journal of Energy1(2), pp.5-20.
[7] Ibid.
[8] International Renewable Energy Agency (IRENA). 2017. Renewable Power Generation Costs in 2017.
[9]https://www.beritabali.com/read/2018/05/08/201805080009/Jumlah-Pengangguran-di-Bali-Menurun-086-Sebanyak-22345-Orang.html