Saat-saat penting bagi komitmen iklim

Pada tahun 2010, anggota Consumer Goods Forum (CGF) berjanji untuk menunaikan bagian mereka untuk melindungi hutan dan menghambat perubahan iklim, dengan komitmen yang jelas untuk membersihkan rantai pasok komoditas global pada tahun 2020. Pemerintah negara-negara di dunia, dengan dukungan janji ini dan pemahaman bahwa menghentikan deforestasi adalah cara termudah dan paling hemat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, kemudian menyertakan tindakan untuk mengatasi perusakan hutan ke dalam Kesepakatan Paris mengenai perubahan iklim sebagai bagian kunci dari strategi mereka untuk mencegah kenaikan suhu global. Target untuk menghentikan deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati dan untuk memulihkan hutan yang terdegradasi di tahun 2020 juga menjadi bagian penting dari Sasaran Pembangunan Berkelanjutan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang akan dilaksanakan oleh ‘semua negara dan semua pemangku kepentingan, dengan cara bahu membahu’ untuk mengentaskan kemiskinan dan ‘memulihkan dan mengamankan planet kita’.

Namun, dalam waktu yang tersisa kurang dari dua tahun menjelang tahun 2020, penggundulan hutan untuk menghasilkan komoditas seperti minyak sawit tidak menunjukkan tanda-tanda perlambatan.[1] Komitmen dan kebijakan perusahaan berkembang luas, namun sebagian besar perusahaan gagal menerapkannya. Akibatnya, produsen barang-barang konsumsi, termasuk mereka yang memiliki kebijakan ‘tidak ada deforestasi, tidak ada pengembangan lahan gambut, tidak ada eksploitasi’ (NDPE), masih menggunakan minyak sawit dari produsen-produsen yang menghancurkan hutan hujan, mengeringkan lahan gambut yang kaya karbon dan melanggar hak asasi manusia para pekerja dan masyarakat setempat – membuat para pelanggan mereka secara tidak langsung turut terlibat dalam perusakan hutan, perubahan iklim dan pelanggaran hak asasi manusia.

Di awal 2018, Greenpeace Internasional menantang 16 anggota CGF terkemuka untuk menunjukkan kemajuan yang mereka hasilkan menuju rantai pasok minyak sawit yang bersih. Kami meminta agar mereka mengungkapkan secara terbuka pabrik-pabrik yang menghasilkan minyak sawit untuk mereka, serta nama-nama kelompok produsen yang mengendalikan pabrik-pabrik tersebut. Jika diungkapkan, maka informasi tersebut akan menunjukkan produsen barang-barang konsumsi manakah yang memiliki perusak hutan dalam rantai pasok mereka. Delapan produsen barang-barang konsumsi anggota CGF –  Colgate-Palmolive, General Mills, Mars, Mondelēz, Nestlé, Procter & Gamble (P & G), Reckitt Benckiser dan Unilever – siap untuk mengungkapkannya sebelum penerbitan laporan ini. Yang lainnya – Ferrero, Hershey, Kellogg’s, Kraft Heinz, Johnson & Johnson, PepsiCo, PZ Cussons dan Smucker’s – menolak untuk mengungkapkan siapa yang menghasilkan minyak sawit untuk mereka, sehingga menutupi tingkat keterlibatan mereka dalam penghancuran hutan hujan.[2]

Produsen barang-barang konsumsi telah gagal membersihkan rantai pasok mereka – dan masyarakat serta lingkungan dari negara-negara penghasil minyak sawitlah yang menanggung akibatnya. Beberapa dekade penggundulan hutan untuk perkebunan telah menciptakan kondisi ideal untuk kebakaran hebat hutan dan lahan gambut – yang seringkali sengaja direncanakan oleh perusahaan yang membuka lahan – yang terus mengancam kesehatan orang-orang di Asia Tenggara dan membahayakan iklim global kita.[3] Eksploitasi pekerja, termasuk penggunaan pekerja anak, tetap endemik di sektor ini.[4] Sementara itu, Indonesia yang berada di jantung perluasan industri, memiliki spesies yang lebih terancam dan hampir punah daripada negara lain di planet ini, dalam banyak kasus sebagai akibat dari hilangnya habitat mereka;[5] para pelaku konservasi terkemuka kini bicara tentang kapan, bukan apakah, orangutan dan spesies ikonik lainnya akan punah.[6]

Minyak sawit merupakan komoditi berisiko tinggi. Para pedagang minyak sawit (biasanya perusahaan yang juga memiliki perkebunan) terus membiarkan minyak dari perusak hutan hujan masuk ke pabrik-pabrik, kilang-kilang dan sistem distribusi mereka, dan baik pemerintah maupun badan industri utama – Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) – saat ini tidak dapat diandalkan untuk mencegah produsen melakukan penggundulan hutan atau pembukaan lahan gambut. Oleh karena itu, produsen barang-barang konsumsi harus menerapkan kebijakan NDPE, jika mereka belum melakukannya, dan mengambil tanggung jawab untuk memastikan agar kelompok-kelompok produsen[7] di rantai pasok minyak sawit mereka sesegera mungkin mematuhi kebijakan tersebut paling lambat tahun 2020. Kebijakan NDPE yang setara harus ditegakkan di semua komoditas mereka.

Langkah pertama untuk mewujudkan hal ini adalah agar setiap produsen barang-barang konsumsi menerbitkan rencana yang jelas dan berjangka waktu, termasuk sebuah komitmen yang jelas bahwa pada tahun 2020, di mana 100% minyak sawit yang digunakannya akan berasal dari produsen yang seluruh operasinya telah diverifikasi sesuai dengan kebijakan NDPE-nya – bahkan walaupun itu berarti menggunakan minyak sawit dalam jumlah yang lebih sedikit daripada yang digunakan saat ini.

Selanjutnya, produsen barang-barang konsumsi harus membuka diri terhadap pengawasan publik dengan menerbitkan daftar lengkap pabrik dan kelompok produsen dalam rantai pasok mereka. Kemudian mereka harus bertanggung jawab untuk menyelidiki kelompok-kelompok produsen ini untuk mengidentifikasi kelompok-kelompok yang membuka hutan hujan atau lahan gambut, atau mengeksploitasi pekerja atau masyarakat setempat. Produsen barang-barang konsumsi harus bekerja sama dengan pedagang untuk menempatkan peta-peta konsesi, dan data-data lain yang diperlukan untuk mewujudkan keberhasilan pemantauan dalam domain publik. Pada akhirnya, produsen barang-barang konsumsi dan pedagang harus menyingkirkan produsen manapun yang menolak untuk melakukan reformasi, meskipun minyak sawit yang mereka pasok berasal dari konsesi yang berbeda dengan konsesi yang mereka buka.

Pada tahun 2020, produsen barang-barang konsumsi yang bertanggung jawab harus dapat menunjukkan bahwa semua minyak sawit yang digunakannya berasal dari kelompok produsen terpercaya yang operasinya telah diverifikasi sesuai dengan kebijakan NDPE-nya. Di saat yang sama, produsen barang-barang konsumsi harus mendukung transformasi keseluruhan industri ini dengan hanya mengambil pasokan dari pedagang dan pemasok lainnya yang dapat menunjukkan bahwa semua minyak sawit yang mereka jual berasal dari produsen yang telah diverifikasi sesuai dengan standar NDPE.

Hitung mundur menuju 2020

Untuk menghindari dampak terburuk dari perubahan iklim, pemerintah negara-negara di dunia telah menandatangani Kesepakatan Paris di tahun 2015. Hal ini bertujuan untuk membatasi kenaikan suhu global rata-rata di akhir abad ini sampai secara signifikan kurang dari 2°C di atas tingkat pra-industri. Komitmen tersebut mencakup pengakuan yang tegas atas peran hutan sebagai penyerap, penyimpan dan sumber karbon, dan dengan demikian potensi mereka untuk membantu membatasi atau menambah emisi gas rumah kaca, tergantung pada apakah mereka dilindungi atau dirusak.

Tonggak sejarah yang paling mungkin dapat dicapai, dan pada saat yang sama tidak dapat dinegosiasikan lagi, untuk mewujudkan tujuan Kesepakatan Paris bergantung pada tindakan bersama oleh perusahaan untuk mengurangi kaitan antara deforestasi dan komoditas yang diperdagangkan secara global seperti minyak sawit dan kedelai paling lambat tahun 2020. Sampai saat ini, perusahaan gagal mewujudkannya. Ini bukan hanya tentang pohon dan orangutan, ini tentang kelangsungan hidup planet bumi.

Seiring dengan meningkatnya suhu global, dan seiring dengan semakin berkurangnya populasi spesies yang terancam punah, perusahaan yang menggunakan minyak sawit dapat memperkirakan akan mendapat tekanan yang semakin kuat untuk memastikan bahwa minyak sawit yang digunakan tidak berasal dari pengusaha yang terlibat dalam pembukaan hutan dan lahan gambut. Memang, opini publik di banyak pasar utama sudah berbalik menentang minyak sawit seluruhnya. Dalam jajak pendapat di seluruh dunia, responden secara konsisten menilai minyak sawit sebagai minyak nabati yang paling merusak lingkungan,[8] meskipun minyak lain seperti minyak kedelai juga sama-sama bermasalah.[9] Seruan agar perusahaan berhenti menggunakan minyak sawit akan semakin keras gaungnya kecuali produsen barang-barang konsumsi dan pedagang membuktikan bahwa mereka dapat mereformasi industri minyak sawit dengan bekerja bersama-sama untuk menyingkirkan produsen yang merusak dari pasar global.

Di saat yang sama, semua kondisi telah ada untuk menjadikan NDPE suatu praktik yang wajar bagi industri minyak sawit. Mayoritas minyak sawit Indonesia dan Malaysia melewati perusahaan-perusahaan yang berkomitmen terhadap perlindungan lingkungan dan hak asasi manusia: analisis terbaru oleh Chain Reaction Research menunjukkan bahwa perusahaan yang memiliki kebijakan NDPE mengoperasikan 74% dari total kapasitas kilang di Indonesia dan Malaysia.[10] Ini berarti bahwa reformasi industri minyak sawit yang efektif dan langgeng sangatlah mungkin – jika saja produsen barang-barang konsumsi, pedagang dan produsen siap untuk bertindak di antara masa kini dan tahun 2020.

Ada banyak alasan bisnis bagi produsen barang-barang konsumsi untuk menggunakan minyak sawit, di antaranya hasil panen per hektar, dan sifatnya yang serba guna. Namun, upaya mereka untuk mereformasi industri ini telah gagal. Perusahaan minyak sawit telah menyimpulkan bahwa produsen barang-barang konsumsi lebih peduli untuk menjaga keamanan pasokan minyak sawit, bahkan meskipun sebagian di antaranya dihasilkan secara tidak berkelanjutan, daripada memenuhi komitmen NDPE mereka. Produsen barang-barang konsumsi perlu melawan persepsi ini dengan menegaskan bahwa mulai 2020 dan seterusnya, mereka hanya akan menggunakan minyak sawit yang telah diverifikasi berasal dari produsen yang bertanggung jawab – bahkan meskipun itu berarti mereka harus menggunakan minyak sawit lebih sedikit dari sebelumnya.

Cara yang paling efisien untuk memenuhi komitmen ini adalah agar semua sektor yang terlibat dengan minyak sawit, termasuk produsen, pedagang dan produsen barang-barang konsumsi, untuk bertindak bersama-sama. Namun, para pedagang dan perusahaan lain belum menunjukkan kecenderungan ke arah itu. Dengan demikian, produsen barang-barang konsumsi harus memelopori dan mendorong perubahan di seluruh sektor minyak sawit dengan mengendalikan dan bertanggung jawab atas rantai pasok mereka sendiri.

Waktu untuk bertindak

Setiap produsen barang-barang konsumsi harus:

Mengadopsi standar-standar yang kuat

  • Mempublikasikan kebijakan NDPE yang kuat yang mewajibkan kepatuhan terhadap toolkit Pendekatan HCS (HCSA),[11] panduan Penilaian NKT-HCSA terpadu,[12] dan standar hak asasi manusia dan tenaga kerja yang terpercaya.
  • Mengadopsi dan memberlakukan tanggal penghentian konversi paling lambat 31 Desember 2015.[13]
  • Mempublikasikan protokol keterlibatan untuk menangani produsen yang tidak patuh, termasuk pembatasan dan penangguhan perdagangan, bersama-sama dengan tonggak sejarah berjangka waktu yang menyatakan bahwa produsen yang tidak patuh harus mematuhi ini agar pembatasan dan penangguhan ini bisa dicabut.

Menghentikan masalahnya

  • Mempublikasikan dan menerapkan rencana untuk memastikan rantai pasok minyak sawit bersih pada tahun 2020, dengan semua produsen diverifikasi secara independen sesuai dengan standar NDPE di seluruh operasi mereka.
  • Memantau produsen dalam rantai pasok di tingkat kelompok untuk mengidentifikasi adanya deforestasi dan pelanggaran kebijakan lainnya.
  • Melaporkan produsen yang tidak patuh kepada pemasok terkait, dan mewajibkan mereka menyelesaikan setiap kasus sesuai dengan protokol keterlibatan produsen barang-barang konsumsi atau untuk tidak menyertakan produsen tersebut sama sekali.
  • Mendukung dan mendanai inisiatif-inisiatif konservasi dan restorasi hutan, bersama-sama dengan pengakuan atas hak serta penyediaan mata pencaharian bagi masyarakat setempat.

Memverifikasi hasil

  • Mewajibkan verifikasi independen bahwa produsen yang tidak patuh telah mematuhi standar NDPE di seluruh operasi mereka, termasuk memulihkan semua area yang telah dibuka sejak tanggal penghentian konversi lahan oleh produsen barang-barang konsumsi.
  • Pada tahun 2020, mewajibkan pedagang dan pemasok lainnya untuk memberikan verifikasi independen bahwa semua kelompok produsen dalam rantai pasok mereka telah mematuhi standar NDPE.

Transparan

  • Mempublikasikan dan mempertahankan daftar lengkap semua pabrik dan kelompok produsen yang minyak sawitnya memasuki rantai pasok di tahun sebelumnya.
  • Membuka setiap tahun informasi tentang persentase minyak sawitnya yang berasal dari kelompok produsen yang seluruh operasinya telah diverifikasi secara independen sesuai dengan standar NDPE.
  • Pada akhir 2018, mewajibkan para pemasoknya untuk mempublikasikan peta-peta semua konsesi yang dikuasai oleh kelompok-kelompok produsen dalam rantai pasok mereka
  • Mempublikasikan dan mempertahankan daftar semua produsen yang tidak patuh dalam rantai pasoknya, termasuk tindakan-tindakan berjangka waktu yang masing-masing diwajibkan untuk mengatasi ketidakpatuhannya.

Melaporkan setiap tahun tentang hasil-hasil inisiatif-inisiatifnya untuk mewujudkan konservasi dan restorasi hutan, dan untuk mendukung hak dan sumber penghidupan masyarakat.

Laporan dalam bahasa Inggris dapat dilihat disini.


[1] Weisse M & Dow Goldman E (2017)

[2] Korespondensi antara Greenpeace International dan anggota-anggota CGF, Januari dan Februari 2018. Salinan korespondensi berada pada Greenpeace. Lihat Lampiran 1 untuk informasi rinci tentang informasi terakhir yang diungkapkan perusahaan.

[3] Harris N et al (2015)

[4] Amnesty International (2016)

[5] Situs The IUCN Red List of Threatened Species ‘Mammals: Analysis of data’

[6] Johnston I (2016)

[7] Konsep akan sebuah kelompok melampaui relasi induk perusahaan-anak perusahaan formal. Di Indonesia, banyak industri perkebunan dikuasai oleh kelompok perusahaan yang kompleks yang dimiliki oleh perorangan atau keluarga. Dalam banyak kasus, tidak ada satu induk perusahaan akhir (ultimate parent company) dan kelompok bersangkutan terdiri sebagian besar dari perusahaan-perusahaan swasta, yang tidak terdaftar di bursa efek. Berbagai anggota keluarga mungkin adalah pemegang saham akhir (ultimate shareholders) di berbagai perusahaan, atau bagian-bagian dari kelompok tersebut berada di luar negeri, menjadikan pemilik akhirnya tidak diketahui. Pentng untuk melihat secara luas unsur-unsur pembentuk suatu kelompok – termasuk hubungan kendali – finansial, manajerial, operasional atau lainnya – dan kepemilikannya, untuk menyiarkan perusahaan-perusahaan tidak bermoral yang ‘sengaja mengaburkan kepemilikan mereka agar tidak kehilangan akses pasar untuk produk-produk mereka’. Mulai bulan Maret 2017, seluruh anggota RSPO diwajibkan mendaftarkan keanggotaan mereka di tingkat kelompok, yang ditetapkan bukan hanya dalam hal kepemilikannya namun juga manajemen atau kendali operasionalnya. Lihat RSPO (2017a) hal. 6-7, Klausul 5.2.

[8] Lihat contohnya TNS (2015).

[9] Lihat contohnya Bellantonio M et al (2017), Mighty Earth (2017) dan Harvey F (2017).

[10] Chain Reaction Research (2017)

[11] Situs High Carbon Stock Approach ‘The HCS Approach toolkit’

[12] High Conservation Value Resource Network and High Carbon Stock Approach (2017)

[13] Tanggal penghentian konversi adalah praktik umum dalam skema-skema sertifikasi; apabila ditegakkan dengan benar, ini akan menghambat upaya deforestasi dengan memastikan bahwa produsen tidak akan dapat memperdagangkan produknya jika mereka terus membuka hutan. Perdagangan dengan produsen yang telah membuka hutan atau mengembangkan lahan gambut lewat tanggal ini harus ditangguhkan kecuali produser berkomitmen untuk memulihkan area terkait (dan mendapatkan verifikasi independen pihak ketiga bahwa seluruh perkebunannya kini sudah sesuai dengan NDPE).