Kualitas Udara yang Buruk di Jabodetabek: Dampak Kesehatan dan Pentingnya Pemantauan Kualitas Udara yang Memadai.

Jakarta under Pollution Protest. © Jurnasyanto Sukarno

Udara Jakarta dan sekitarnya telah tercemar oleh polusi yang membahayakan kesehatan warga dan meningkatkan risiko kematian dini. Hasil pemantauan udara secara global menunjukkan tingginya polusi udara di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) dibandingkan wilayah lainnya. Pemantauan kualitas udara yang dilakukan oleh Greenpeace juga menunjukkan bahwa polusi udara di wilayah Jabodetabek berada jauh di atas ambang batas kesehatan WHO dan Baku Mutu Udara Ambien Nasional. Di sisi lain, masyarakat Jabodetabek masih memiliki pemahaman yang terbatas mengenai polusi udara dan bahayanya, terutama karena akses terhadap informasi mengenai kualitas udara yang sangat minim. Sebagai langkah awal, pemerintah harus menyediakan informasi kualitas udara yang memadai dan selanjutnya mengimplementasikan beragam kebijakan untuk memenuhi hak warga terhadap udara yang berkualitas.

Kualitas udara di Jakarta dan sekitarnya sangat membahayakan kesehatan warga. Pemantauan kualitas udara yang dilakukan Kedutaan Besar Amerika Serikat (Kedubes AS) dengan mengukur konsentrasi PM2.5 menunjukkan kualitas udara yang sangat buruk dan berbahaya bagi kesehatan manusia. Kualitas udara yang tidak sehat, misalnya, terjadi di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan, khususnya pada bulan Mei-Juli 2017 (Lampiran 1). PM2.5 merupakan partikel berukuran sangat kecil dan berbahaya yang dihasilkan, antara lain, dari pembangkit listrik, transportasi, dan aktivitas industri.

Pemantuan kualitas udara yang dilakukan Greenpeace sejak Januari 2017 di 21 lokasi di Jabodetabek menunjukkan hasil serupa dengan hasil pemantauan Kedubes AS. Kualitas udara di Jabodetabek selama enam bulan terakhir terindikasi telah memasuki level tidak sehat (unhealthy) bagi manusia dan akan menimbulkan dampak kesehatan yang lebih serius bagi kelompok sensitif, seperti anak-anak, ibu hamil, dan kelompok lanjut usia (lansia). Angka PM2.5 harian di lokasi tersebut jauh melebih standar yang dapat ditoleransi, seperti standar WHO yaitu 25µg/m3 dan juga Baku Mutu Udara Ambien Nasional, yaitu 65µg/m3.

PM2.5 dapat terhirup dan mengendap di organ pernafasan. Jika terpapar dalam jangka panjang, PM2.5 dapat menyebabkan infeksi saluran pernafasan akut -terutama bagi anak-anak- hingga kanker paruparu. Selain itu, PM2.5 dapat meningkatkan kadar racun dalam pembuluh darah yang dapat memacu stroke, penyakit kardiovaskular dan penyakit jantung lainnya, serta dapat membahayakan ibu hamil karena berpotensi untuk menyerang janin. Dengan menggabungkan analisis risiko dari Global Burden of Disease Project yang dilaksanakan the Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) dan tingkat PM2.5 tahunan, Greenpeace dapat menghitung meningkatnya resiko kematian karena penyakit tertentu pada berbagai tingkat PM2.5 tahunan. Berikut data perhitungan dengan menggunakan tingkat rata-rata PM2.5 bulan Januari hingga Juni 2017.

Unduh:

Briefing Paper – Kualitas Udara yang Buruk di Jabodetabek