Ringkasan Eksekutif: Polusi industri adalah ancaman serius bagi sumber-sumber air di seluruh dunia terutama di negara-negara dalam transisi ekonomi seperti Indonesia. Pandangan bahwa pencemaran adalah harga yang wajar untuk sebuah kemajuan masih berlaku kental. Pandangan ini biasanya berhubungan dengan ide bahwa mengatasi pencemaran membutuhkan biaya yang terlalu mahal, bahwa mencegah terjadinya polusi terlalu sulit dan tidak praktis, dan bahwa dampak lingkungan dan sosial dapat diatasi di masa depan. Kesalahpahaman umum bahwa Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dapat mengatasi semua jenis polutan, tidak peduli tingkat toksisitasnya, juga memperburuk masalah.

Water Sampling in Citarum Tributary. © Yudhi Mahatma

Para aktivis mengambil sampel air untuk menguji toksisitasnya di Sungai Cikijing, anak sungai Sungai Citarum, dekat Jalan Pancasila Dalam, Rancaekek, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat.

Pandangan pendek ini berujung pada pembuangan limbah kimia beracun berbahaya yang masif dan tertutup ke dalam sungai-sungai kita. Bagaimanapun, bila kita tidak mengidentifikasi atau mengabaikan pembuangan bahan-bahan kimia beracun berbahaya (B3) yang bersifat persisten dan bioakumulatif ke dalam sungai-sungai kita, maka akan berakibat pada masalah lingkungan dan kesehatan jangka panjang yang tidak dapat dipulihkan. Hingga saat ini kita tampaknya belum berhasil memetik pelajaran dari kesalahan masa lalu negara-negara maju, bahwa pencemaran bahan kimia berbahaya telah menimbulkan biaya ekonomi, lingkungan, dan sosial yang sangat besar.

Kawasan Rancaekek di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, merupakan lokasi  pencemaran ratusan hektar lahan persawahan oleh limbah industri. Pencemaran yang telah terjadi selama lebih dari dua dekade dapat menjadi potret bahwa kita gagal dalam memetik pelajaran tersebut. Berbagai penelitian telah mengungkap akumulasi pencemaran bahan berbahaya di sedimen sungai dan bahkan di tanaman padi di lahan persawahan yang tercemar, membawa kerugian nyata bagi masyarakat dan lingkungan.

Berapakah biaya sebenarnya dari puluhan tahun pencemaran tersebut? Berapa kerugian yang diderita masyarakat yang sumber kehidupan dan penghidupannya tercemar? Apa saja sumber kerugian tersebut? Berapa kerugian yang diderita oleh lingkungan?  Berapa estimasi biaya yang dibutuhkan untuk membersihkan pencemaran tersebut? Bagaimana tanggungjawab pencemar dan pemerintah? Dan pada akhirnya, bagaimana kita dapat mengambil pelajaran dari kasus ini serta mencari jalan keluar untuk menuju masa depan yang terbebas dari bahan kimia berbahaya.

Sebagai bagian dari Koalisi Melawan Limbah, yang terdiri dari Walhi Jawa Barat, Pawapeling dan LBH Bandung, Greenpeace Indonesia bekerja sama dengan tim peneliti dari Institute Of Ecology Universitas Padjadjaran untuk mengidentifikasi kerusakan lingkungan dan dampak yang diderita masyarakat serta menghitung total kerugian ekonomi akibat pencemaran di kawasan Rancaekek dengan fokus sekitar aliran sungai Cikijing.

Temuan Penelitian

Total kerugian ekonomi akibat pencemaran di kawasan Rancaekek dengan pendekatan Total Economic Valuation (tanpa mengikutsertakan biaya abai baku mutu) mencapai angka Rp. 11.385.847.532.188 (± 11,4 Triliun).

Angka ini terdiri dari perkiraan biaya remediasi yang dibutuhkan untuk pemulihan 933,8 Ha lahan tercemar sebesar Rp.8.045.421.090.700 dan total kerugian masyarakat sejak tahun 2004 hingga 2015 sebesar Rp 3.340.426.441.488. Kerugian multisektor ini meliputi  sektor pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kesehatan, kerugian karena kehilangan jasa air, penurunan kualitas udara, dan kehilangan pendapatan.

Unduh Laporan:

Laporan Melawan Limbah