Sehari setelah Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia yang jatuh pada 9 Agustus, Greenpeace meluncurkan seri buku cerita untuk anak-anak. Ada kisah tentang kelana anak-anak untuk mengenal hutan Indonesia, tentang kabut asap yang mengganggu aktivitas, tentang perjuangan menjaga hutan adat, dan lainnya.

Mengapa kami menulis buku cerita untuk anak-anak?

Mendefinisikan Ulang Makna Kecil dan Besar

“Manusia itu kecil, dan karena itulah kecil itu cantik. Raksasa-isme berarti kehancuran.”

Ekonom sekaligus ahli statistik Inggris berdarah Jerman, Ernst Friedrich Schumacher  (1911-1977), menulis dua kalimat di atas sekitar setengah abad lalu. Saat itu, ia mengkritik keras industrialisasi di sektor pangan yang cenderung merusak lingkungan. Pohon ditebang, laut tercemar, polusi meningkat, hanya demi akumulasi kapital.

Padahal, menurut Schumacher, urusan bahan pangan seharusnya “diproduksi oleh massa” ketimbang “diproduksi secara massal”. Urusan perut semestinya dilakukan swasembada yang mandiri dan demokratis, bukan digerakkan oleh mesin yang memusatkan kekuasaan produksi di tangan segelintir orang. Mesin rentan menggerogoti tali persinggungan antara manusia dan alam.

Kami menemukan dua kalimat di atas saat membuka dan membaca kembali halaman demi halaman buku Kecil itu Indah: Ilmu Ekonomi yang Mementingkan Rakyat Kecil (1979), yang ditulis oleh Schumacher. Ragam argumen dalam buku itu kian relevan untuk dibaca hari ini karena masalahnya nyaris tidak berubah. Lewat buku itu, kami ingin kembali merefleksikan apa artinya menjadi “kecil” dan “besar”, seperti yang disinggung oleh Schumacher di atas.

Mari ambil contoh soal pangan. Sepanjang sejarah republik ini berdiri, nyaris semua penguasa meneken kebijakan penyediaan pangan berbasis industri. Bagi mereka, cara-cara “besar” lebih penting diprioritaskan dan dianggap selesaikan masalah.

Proyek lahan gambut (PLG) satu juta hektare-nya Soeharto? Merauke Integrated Rice Estate (MIREE) milik Susilo Bambang Yudhoyono? Megaproyek food estate yang dijagokan Joko Widodo dan Prabowo di Kalimantan dan Sumatera? Semuanya gagal. Hasil investigasi Greenpeace menemukan program food estate yang tak jelas juntrungannya itu justru hanya menghasilkan penggundulan hutan secara masif. Apakah ini artinya menjadi “besar”?

Di sisi lain, kami juga mencoba belajar apa artinya menjadi “kecil”—secara figuratif—dari Korok, seorang anak dari suku Gondi yang putus sekolah dan berakhir menjadi tukang kebun, yang mengorganisir penolakan karena bukit tempat sukunya berada terancam korporasi tambang bauksit. 

Lewat Korok yang menjadi tokoh sentral dalam novel anak Tahun Penuh Gulma (2019) karya Siddhartha Sarma itu, kami belajar bahwa “kecil” tak melulu bisa diremehkan. Langkah-langkah “kecil” perlawanan bisa menjadi harapan masa depan yang lebih baik. Lewat kisah-kisah para anak “kecil” ini, termasuk Korok, kesadaran atas hak untuk masa depan yang layak ditempati bisa dipupuk sejak dini.

Membersamai Anak-anak  Merebut Masa Depannya

Dari sini, kami belajar untuk memahami pentingnya menghargai dan memprioritaskan hal-hal “kecil” di tengah dunia yang bergerak cepat sembari mengglorifikasi hal-hal “besar”.

Atas ragam refleksi mengenai “kecil” dan “besar” ini, kami sebagai organisasi lingkungan menyadari betapa pentingnya mengajak anak-anak untuk belajar bersama tentang usaha melindungi lingkungan. Kami merasa perlu untuk melibatkan dan membangun kesadaran anak-anak tentang Bumi yang akan mereka tempati puluhan tahun mendatang. Semacam upaya “mempersenjatai imajinasi” anak-anak atas masa depan dunia yang lebih lestari.

Untuk mewujudkan langkah ini, kami mengajak seorang penulis dan seorang ilustrator asal Yogyakarta, Titah AW dan Sekar Bestari, untuk membangun bersama kisah-kisah bergambar untuk anak-anak. Dengan ini, kami ingin sekali membuat bacaan pengantar tentang hutan, masyarakat adat, hingga pelindungan ekologi yang mudah dimengerti anak-anak.

Segendang-sepenarian, ternyata Titah dan Sekar memiliki perspektif dan imajinasi yang sama dengan kami. Kata mereka, tantangannya lebih rumit karena kerap harus menyederhanakan hal-hal besar dan kompleks menjadi kisah-kisah kecil namun tetap bertenaga..

“Ternyata mencoba menjelaskan hal-hal kompleks seperti litigasi, konflik lahan, perjuangan masyarakat adat, kabut asap, dan jalinan biodiversitas ke anak-anak itu menantang sekali. Aku harus menyederhanakan hal-hal rumit dan data itu ke kalimat yang mudah dipahami anak-anak. Ini pengalaman pertamaku menulis buku anak-anak,” kata Titah.

“Selain ke hutan Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan Tengah untuk bisa dekat dengan suasana hutan, kami juga riset kecil dan melakukan diskusi dengan psikolog tentang bagaimana otak anak usia 5-10 tahun memahami isi buku. Baru setelah itu kami mulai proses kreatif dengan menuliskan teks yang kemudian diterjemahkan menjadi bentuk ilustrasi,” tambah Sekar.

Kami menyiapkan lima seri buku bergambar anak dengan lima tema berbeda: biodiversitas hutan, kebakaran hutan dan lahan, masyarakat adat, tradisi melindungi hutan, hingga langkah kecil yang berdampak besar dari para pencegah api di hutan.

Lewat lima seri buku bergambar ini, kami ingin mengajak anak-anak untuk berkenalan dengan Terra dan Tori yang berkeliling hutan untuk bertemu ragam flora dan fauna, serta mencari alasan mengapa hutan harus tetap lestari. Anak-anak juga akan berkenalan dengan ayah Terra yang menempuh jalur hukum agar hutan adat mereka tidak hilang.

Ada juga cerita tentang Rinai yang tidak bisa berangkat sekolah karena kabut asap yang bikin sulit berkegiatan sehari-hari. Kami juga akan mengajak anak-anak berkenalan dengan Danum yang melihat kebakaran hutan di dekat tempat tinggalnya dan menjadi bagian dari Tim Cegah Api untuk menyelamatkan hutan.

Kami sadar bahwa pelbagai persoalan lingkungan hidup dan krisis iklim bukan hanya masalah orang-orang dewasa. Anak-anak juga menanggung beban itu. Mereka bahkan lebih rentan karena Bumi makin tidak baik-baik saja. Orang-orang dewasa meminjam planet ini dari anak-anak dan berutang memastikan keadilan antargenerasi bagi mereka.

Di sisi lain, kami juga percaya mereka bisa menjadi pejuang lingkungan hidup. Bukan cuma di masa depan tatkala mereka dewasa, tapi juga saat ini, atau sesaat lagi, di usia muda. Lima buku cerita litigasi iklim ini adalah upaya kami menggandeng dan mengajak anak-anak, serta lebih banyak orang dewasa, untuk bersama-sama menyuarakan penyelamatan Bumi.***

Naskah disiapkan oleh Haris Prabowo, Tim Komunikasi Greenpeace Indonesia