Bayangkanlah pesona matahari terbenam di cakrawala, memancarkan sinar keemasan di atas luasnya samudera, seakan menari dalam harmoni dengan angkasa. Pemandangan laut tanpa ujung yang bertemu dengan matahari terbenam itu seperti demonstrasi alam yang menyihir indra kita dengan keindahannya. Namun, di balik keindahan panorama laut ini, tersembunyi tragedi mengerikan yang telah berlangsung selama bertahun-tahun terakhir: hilangnya keanekaragaman hayati laut pada tingkat yang mengkhawatirkan. Momen ketika hal ini memantik kesadaran manusia, situasi sudah genting, hingga hampir tiba di titik tidak ada harapan lagi untuk memperbaikinya.

Mengapa fenomena ini awalnya tidak terdeteksi? Manusia terlalu sibuk membangun peradaban dengan struktur yang mengutamakan sistem ekonomi dan politik global, sering kali mengesampingkan lingkungan. Kesuksesan seorang pemimpin negara kini diukur dari seberapa besar mereka dapat meningkatkan pendapatan negara, yang biasanya berarti seberapa cepat mereka mengeksploitasi alam untuk keuntungan ekonomi, tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kualitas lingkungan hidup.

‘Ocean Treaty Now’ Banner outside the UN in New York. © Stephanie Keith / Greenpeace
Aktivis Greenpeace AS membentangkan spanduk raksasa bertuliskan ‘Perjanjian Laut Sekarang!’ untuk mengirimkan pesan yang jelas kepada delegasi PBB di New York pada awal minggu kedua dimulainya kembali perundingan IGC5.
Tanpa perjanjian yang kuat yang disepakati pada putaran perundingan ini, hampir mustahil untuk melindungi 30% lautan di dunia pada tahun 2030. Ini adalah jumlah minimum yang menurut para ilmuwan diperlukan agar lautan dapat pulih dari polusi, penangkapan ikan berlebihan, dan polusi selama beberapa dekade. kegiatan industri lainnya.

Beberapa upaya untuk menahan laju kerusakan ekosistem global dari hilangnya biodiversitas laut masih dilakukan. Nampaknya, masih ada alasan untuk berharap bagi pemulihan bumi kita. Pada Konferensi Keanekaragaman Hayati Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2022, negara-negara berkomitmen untuk melindungi setidaknya 30% lautan dunia pada tahun 2030, sebagai bagian dari Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global Kunming-Montreal. Para ilmuwan menilai bahwa target ini adalah minimum yang diperlukan untuk memperlambat hilangnya keanekaragaman hayati laut dan menghindari runtuhnya perikanan global.

Keberhasilan komitmen ini bergantung pada perlindungan keanekaragaman hayati laut tidak hanya di perairan pesisir dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di bawah yurisdiksi nasional, tetapi juga di laut lepas, wilayah perairan internasional yang dikelola oleh organisasi perikanan regional atau Regional Fisheries Management Organizations (RFMOs). Laut lepas, yang mencakup sekitar setengah permukaan bumi dan 64% wilayah lautan global, memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Ikan laut dalam, kelompok invertebrata berumur panjang, serta berbagai spesies unik lainnya hidup di perairan ini. Laut lepas juga menjadi habitat penting bagi hiu, paus, penyu, dan tuna yang bermigrasi untuk mencari makan dan pasangan. Singkatnya, laut lepas punya peran signifikan dalam konteks keanekaragaman hayati laut dan fakta ini tidak bisa dihiraukan..

Perikanan Ilegal dan Perbudakan di Laut

Meskipun keanekaragaman hayati laut lepas ini tidak terlihat oleh banyak orang, wilayah ini tidak bebas dari bahaya antropogenik—justru menjadi kawasan yang paling tidak terlindungi. Sebuah laporan investigasi oleh Environmental Justice Foundation menemukan bahwa kapal penangkap ikan Tiongkok masih marak menangkap spesies yang dilindungi [1]. Dari 119 awak kapal yang diwawancarai, 95% mengaku melakukan pemotongan sirip hiu hidup-hidup (shark finning), 22% membunuh lumba-lumba, 38% membunuh paus pembunuh palsu, dan 34% menangkap serta membunuh satwa dilindungi lainnya.

Peningkatan kapasitas upaya penangkapan ikan di laut lepas dan praktik penangkapan ikan ilegal menjadi masalah utama yang menyebabkan penangkapan berlebih dan hilangnya keanekaragaman hayati di laut lepas. Temuan dari ODI mengungkap bahwa kapal ikan Tiongkok berperan besar dalam melakukan penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (Illegal, Unreported and Unregulated fishing) di laut lepas [2]. Pada tahun 2020, daftar kapal secara global yang terlibat dalam praktik IUU fishing yang dikumpulkan dari berbagai RFMOs dan INTERPOL didominasi oleh kapal penangkap ikan Tiongkok, sebanyak 311 kapal.

Aktivis Greenpeace mengejar kapal penangkap ikan purse seine ilegal, tidak terdaftar dan tidak berlisensi (IUU) di laut lepas, dekat perbatasan dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Kapal penangkap ikan bajak laut,
yang tidak memiliki tanda atau nama yang terlihat di lambung kapal, dilukis dengan kata ‘bajak laut’ oleh para aktivis. Greenpeace sebelumnya menangkap kapal tersebut melanggar hukum internasional dengan melakukan trans-shipping tuna dalam jumlah besar ke kapal reefer, atau kapal cold-storage, di perairan internasional. Penangkapan ikan di laut lepas adalah tindakan ilegal sejak perjanjian ditandatangani tahun lalu.
Selain melanggar hukum internasional, penangkapan ikan tuna sirip kuning remaja juga tidak berkelanjutan. Spanduk bertuliskan “Bajak Laut Pasifik”.

Selain itu, laporan investigasi Greenpeace East Asia juga mengungkapkan bahwa banyak kapal dari Taiwan yang memasok tangkapan tuna kepada salah satu perusahaan seafood terbesar di Amerika Serikat, Bumble Bee, terlibat dalam praktik IUU fishing [3]. Kapal-kapal ini terlibat dalam kegiatan shark finning, penangkapan ikan tanpa izin, dan melakukan bongkar muat (transshipment) secara ilegal. Menurut FAO, jika transshipment tidak dikelola dan dipantau dengan baik, hal ini memungkinkan ikan yang ditangkap secara ilegal masuk ke dalam rantai pasok perikanan, serta mengabaikan prinsip-prinsip keberlanjutan dan perlindungan keanekaragaman hayati laut.

Hal ini yang mendorong Greenpeace International merilis sebuah laporan yang menunjukkan bahwa RFMOs telah gagal mengelola penangkapan ikan di laut lepas sejak didirikan pada tahun 1923 [4]. Dalam 70 tahun terakhir, 35.4% dari total stok ikan global telah ditangkap secara berlebihan, belum termasuk banyak jenis ikan dan biota laut non-target yang juga tereksploitasi. Kegagalan RFMOs disebabkan oleh sistem pengelolaan yang kurang transparan, dengan ruang partisipasi organisasi masyarakat sipil yang terbatas dibandingkan dominasi perwakilan industri perikanan di meja pertemuan-pertemuan selama ini. Selain itu, pengambilan keputusan di RFMOs dilakukan melalui konsensus, sehingga penerapan kebijakan konservasi cenderung lambat dan reaktif daripada proaktif.

Kendati kapal-kapal ikan berbendera Tiongkok dan Taiwan menjadi aktor utama dalam penggerusan biodiversitas laut akibat IUU fishing, nyatanya, praktik ini dapat dilakukan oleh kapal ikan berbendera manapun. Oleh karena itu, setiap negara bendera, termasuk pemilik kapal atau selaku pemilik manfaat (beneficial owner), harus didorong untuk berkomitmen melakukan pencegahan dan penindakan terhadap IUU fishing. Inisiatif untuk memperkuat pengesahan dan pelaksanaan Agreement on Port States Measures (PSMA) secara efektif juga krusial untuk mendukung tanggung jawab dan kerjasama seluruh negara.

Mengingat sifat operasi kapal penangkap ikan laut lepas yang terisolasi dan sulit dipantau, kapal-kapal ini tidak hanya melakukan praktik IUU fishing, tetapi juga kejahatan yang berkaitan, seperti kerja paksa pada awak kapal atau bahkan praktik perdagangan manusia. Laporan investigasi Greenpeace dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mencatat pengaduan dari 62 awak kapal yang bekerja di kapal penangkap ikan berbendera asing yang mengalami pemotongan gaji yang tidak wajar (87%), kondisi kerja dan kehidupan yang mengerikan (82%), serta menjadi korban penipuan (80%) [5].

Dewasa ini, kita cenderung melihat tekanan antropogenik terhadap lingkungan global sebagai masalah terpisah, seperti perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan peningkatan populasi manusia. Pendekatan ini memang valid dalam konteks perencanaan strategis dan penyelesaian masalah secara praktis. Namun, pendekatan ini saja tidak cukup karena mengabaikan interaksi non-linear dari masalah-masalah tersebut yang, secara kolektif, menghasilkan efek agregat terhadap keadaan sistem Bumi secara keseluruhan. Maka, IUU fishing dan kerja paksa yang terkait harus dilihat sebagai masalah besar yang tidak terpisahkan dalam industri perikanan global.

Perjanjian Global Perlindungan Hayati di Laut Lepas dan Ancaman Penambangan Laut Dalam

Keanekaragaman hayati memiliki peran besar dalam menopang kehidupan manusia. Jika keanekaragaman hayati laut lepas terus tergerus oleh perikanan tangkap yang ekstraktif, ketahanan pangan dari sektor perikanan akan terancam. Saat ini, produk perikanan masih menjadi sumber protein utama bagi miliaran orang di bumi. Menurunnya stok ikan tuna, misalnya, akan memaksa manusia mencari sumber protein alternatif untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Hiu paus di Taman Nasional Teluk Cenderawasih. Greenpeace berada di Indonesia untuk mendokumentasikan salah satu lingkungan dengan keanekaragaman hayati paling tinggi – dan terancam – dan menyerukan tindakan segera untuk memastikan bahwa lautan dan hutan di negara ini terlindungi.

Organisme laut juga dikenal sebagai sumber utama senyawa baru untuk obat-obatan. Banyak spesies laut memiliki sifat biokimia yang sedang dieksplorasi untuk pengobatan berbagai penyakit, termasuk kanker dan infeksi. Beberapa biota laut juga mendukung kegiatan ekonomi signifikan seperti pariwisata dan memiliki nilai serta makna budaya bagi kelompok masyarakat tertentu.

Mengakui pentingnya keanekaragaman hayati laut, terutama di laut lepas, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi perjanjian global mengenai konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati laut di wilayah di luar yurisdiksi nasional yang disebut BBNJ Agreement [6]. Salah satu pilar dalam perjanjian tersebut, atau yang sering disebut sebagai High Seas Treaty, adalah penetapan kawasan perlindungan laut di luar yurisdiksi nasional. Rencana ini mengusulkan adanya “taman nasional” di laut lepas, untuk membatasi atau melarang kegiatan perikanan komersial yang dapat berdampak pada keanekaragaman hayati di kawasan tersebut.

Bagai pucuk dicinta ulam pun tiba, High Seas Treaty ini juga mengatasi tantangan penambangan bawah laut yang meningkat beberapa tahun terakhir. Meskipun penambangan bawah laut terbukti berdampak buruk dan permanen, beberapa negara tetap mendukung industri ini. Aktivitas ini menyebabkan kebisingan, polusi cahaya, dan pembuangan sedimen yang merusak populasi ikan dan makhluk laut lainnya. Dampak negatifnya juga meningkatkan risiko ketahanan pangan, terutama di negara berkembang yang sangat bergantung pada stok ikan.

Menyepakati perjanjian ini tidak hanya memungkinkan pemerintah untuk menciptakan suaka laut di seluruh lautan global dan melindungi kehidupan laut dari berbagai aktivitas ekstraktif, namun juga menerapkan peraturan global dan standar tinggi untuk melindungi kehidupan laut dari aktivitas industri yang paling merusak yang berupaya menjarah lautan dunia [7].

Riset oleh Richardson et al. (2023) mengidentifikasi status terkini dari kerangka batasan planet (planetary boundaries framework), yaitu sembilan proses yang penting untuk menjaga stabilitas dan ketahanan sistem Bumi secara keseluruhan [8]. Riset ini juga menemukan bahwa enam dari sembilan proses itu telah terganggu melebihi batas, menunjukkan bahwa Bumi kini berada jauh di luar ruang operasi yang aman bagi manusia. Ini menuntut kita untuk mempertimbangkan dampak antropogenik terhadap laut, lingkungan hidup, dan sistem bumi dalam konteks sistemik. Melindungi keanekaragaman laut lepas tentu akan sangat mempengaruhi keberlanjutan hidup manusia dan bumi secara keseluruhan.

Manusia diberikan Tuhan mandat untuk menguasai Bumi dan segala ciptaan lainnya. Namun, ini tidak berarti manusia bebas menjalankan wewenangnya seperti seorang tiran yang sembrono yang melakukan apapun yang ingin dilakukannya meski hal itu membawa konsekuensi buruk. Sebaliknya, manusia harus menjalankan kekuasaan atas Bumi sebagai penatalayan yang merefleksikan kemuliaan Tuhan melalui aktivitas pemanfaatan dan pemeliharaan ciptaan-Nya yang indah.

Sihar Silalahi adalah Jurukampanye Laut Greenpeace Indonesia

Referensi: 

[1] https://ejfoundation.org/reports/the-ever-widening-net-mapping-the-scale-nature-and-corporate-structures-of-illegal-unreported-and-unregulated-fishing-by-the-chinese-distant-water-fleet

[2] https://cdn.odi.org/media/documents/chinesedistantwaterfishing_web.pdf

[3] https://www.greenpeace.org/usa/reports/gpea-report-fake-my-catch/

[4] https://www.greenpeace.org/international/press-release/67569/greenpeace-report-shocking-failures-global-fisheries-management/

[5] https://www.greenpeace.org/southeastasia/publication/44492/forced-labour-at-sea-the-case-of-indonesian-migrant-fisher/

[6] https://www.greenpeace.org/international/publication/62121/30×30-from-global-ocean-treaty-to-protection-at-sea/ 

[7] https://www.greenpeace.org/international/publication/45835/deep-sea-mining-exploitation/ 

[8] Richardson et al. 2023. Earth beyond six of nine planetary boundaries. Sci. Adv. 9, eadh2458, https://www.science.org/doi/10.1126/sciadv.adh2458